Pendukung Tim Jepang itu beramai-ramai membersihkan sampah. (Foto: Liputan6.com)

Oleh: Renville Almatsier*

Minggu lalu di media sosial beredar video, penonton asal Jepang memungut sampah di stadion utama GBK.  Bubar menonton pertandingan sepakbola antara Indonesia vs  Jepang, para pendukung tim Jepang itu beramai-ramai membersihkan sebagian tribune penonton. Mereka memunguti sampah yang ditinggalkan penonton lain. Mereka melakukannya bukan karena timnya menang, tetapi lebih kepada kesadaran terhadap lingkungan. Aksi seperti itu, pernah dilakukan penonton asal Jepang dalam Kejuaraan Dunia di Qatar tahun lalu.

Atas perilaku kawan-kawan Jepang  di Senayan itu, apa yang bisa kita lakukan ? Saya bertanya pada diri sendiri, dipermalukankah kita ? Atau cukup kita kagumi, beri apresiasi, lal .arigato, arigato…?

Soal harus menjaga kebersihan, saya kira semua orang sudah tahu. Bahkan dalam  ajaran Islam, hal itu diistilahkan dengan thaharah (suci). Ada hadist yang mengatakan “kebersihan adalah sebagian dari iman”.  Mungkin juga ada di agama-agama lain.

Bangsa Jepang, dan  juga orang Singapura, dikenal kedisiplinannya. Di Singapura, orang kita yang berkunjung ke sana sampai-sampai tersinggung dan sinis melihat peraturan-peraturan di tempat umum lengkap dengan sanksinya. Tetapi, apa boleh buat, di negeri orang kita harus patuh dengan peraturan setempat. Jadilah orang Indonesia terkenal atas kepatuhannya,  kalau bukan di negeri sendiri.

Nah, bagaimana tanggapan orang-orang di Jepang sendiri tentang apa yang dilakukan warganya di luar negeri itu?  Apa yang terjadi di Senayan, meski ramai di media sosial kita, ternyata tidak diberitakan di negeri matahari terbit itu. “Saya tahu dari berita Kompas”, kata ipar saya warga Jepang, Shigeru lewat WA dari Tokyo.  Tetapi perbuatan supporter Jepang di Qatar menjadi berita cukup besar di negerinya. Meskipun “bawa pulang sampah” sudah tidak dianggap berita lagi di sana, tetapi masyarakat Jepang merasa bangga dengan pemberitaan media asing itu.

Dengan kesadaran seperti itu, lalu apakah tong sampah dan petugas kebersihan tidak diperlukan lagi di Jepang? Rupanya di tempat-tempat umum jumlah tong sampah kini sudah sangat dibatasi. Para pengguna dianjurkan membawa pulang sampah masing-masing. Di mana-mana terlihat poster yang menganjuran hal itu.

Menurut Shigeru, kebiasaan itu sudah lama dan kebanyakan orang di sini menjalankannya. Tapi diakuinya, seperti juga di mana-mana, ada saja segelintir orang yang tidak mematuhinya. “Jadi petugas kebersihan tetap dibutuhkan. Poster-poster pun tetap diperlukan”, tuturnya.

Apakah agama mereka Shinto, memang lebih ketat dari pada agama-agama lain. Agaknya bukan itu sebabnya. Disiplin itu konon diajarkan sejak mereka kecil, termasuk dalam membersihkan rumah  peturasan di sekolah, sabar menunggu lampu lalulintas, berbaris menyeberang jalan dan sebagainya. Hal mana sebetulnya juga diajarkan di sekolah-sekolah kita.

Menjaga lingkungan, pelestarian alam, khususnya bahaya plastik, juga orang-orang kita sebenarnya juga sudah tau. Tapi soal melakukannya, nanti dulu. Belajar disiplin sesudah besar terbukti juga bisa. Lihatlah bersihnya kendaraan umum kita kini seperti kereta api, MRT dan bus. Sangat berbeda dengan kondisi 10 tahun lalu. Jadi apa salahnya dengan masyarakat kita ?

Sebagian kita masih dengan enaknya membuang puntung rokok atau kulit kacang dari jendela mobil, membuang botol plastik atau kresek ke saluran got. Loh, kalau got mampet dan mengakibatkan banjir, gimana ?  Cuek, saja emang gue pikirin.

Nah agaknya itulah penyebab utama. EGP alias bukan urusan saya. Sikap egois tanpa memikirkan dampak terhadap orang lain, apalagi terhadap lingkungan, itulah sumber utamanya. Ini yang membedakan kita dengan orang Jepang.

*Pengamat Sosial dan Mantan Wartawan Majalah Tempo

Editor: Jufri Alkatiri