Tafsir Misogini (Foto: mubadalah.id)

Oleh: Anwar Rosyid  Soediro*

Hangat pernyataan bernuansa  Misogini dari paslon dalam kampanye pilkada Oktober-November 2024 ini, Misogini adalah kebencian atau tidak suka terhadap wanita atau anak perempuan. Misogini dapat diwujudkan dalam berbagai cara, termasuk diskriminasi seksual, fitnah perempuan, kekerasan terhadap perempuan, dan objektifikasi seksual perempuan.

Legitimasi kekerasan terhadap perempuan dalam bentuk memojokkan, merendahkan, bahkan membenci perempuan yang mana perkembangannya tidak terlepas dari sejarah kemunculannya.  Misogini kemungkinan besar muncul bersamaan dengan patriarki sekitar tiga hingga lima ribu tahun yang lalu pada awal Zaman Perunggu namun Misogini memperoleh kekuatan di abad pertengahan terutama di masyarakat Kristen.

Sejalan dengan perkembangan tersebut, kebencian terhadap wanita juga dipraktikkan dalam masyarakat seperti suku-suku di Lembah Amazon dan Melanesia yang tidak menganut agama monoteistik. Hampir setiap budaya manusia mengandung bukti Misogini.

Wacana Misogini menyebar secara online dan semakin agresif dari waktu ke waktu. Misogini online mencakup upaya individu untuk mengintimidasi dan merendahkan perempuan, penyangkalan terhadap ketidaksetaraan gender (neosexisme). Dalam sebuah makalah yang ditulis untuk Journal of International Affairs, Kim Barker dan Olga Jurasz membahas bagaimana Misogini online dapat menyebabkan perempuan menghadapi hambatan ketika mencoba untuk terlibat dalam ranah publik dan politik di internet.

Perempuan juga kerap menerima sikap kasar dari platform online, hal ini sudah jamak terjadi di grup-grup WA, mengeploitasi bentuk tubuh wanita, keseksian, kencantikan,  bahkan gosip-gosip miring wanita. Meskipun wanita-wanita seperti selebgram dan dunia artis juga mengekploitasi keindahan tubuhnya sendiri dengan selfie bikini di pantai, kolam renang, dan di arena gym. Yang kemudian di share di platform media online.

Fenomena ketidakadilan gender yang sekarang banyak diisukan antara lain; Pertama, marginalisasi perempuan baik di rumah tangga, tempat kerja, maupun bidang bermasyarakat lainnya yang berakibat pada pemiskinan ekonomi perempuan; Kedua, subordinasi perempuan karena muncul anggapan bahwa perempuan bersifat irrasional emosional, sehingga kepemimpinannya diragukan;

Ketiga, stereotype yang dinilai merugikan perempuan, misalnya asumsi bahwa perempuan senang berdandan demi menarik perhatian lawan jenis hingga timbul kekerasan seksual;  Keempat, berbagai kekerasan menimpa perempuan baik fisik maupun psikologis karena adanya anggapan lemahnya perempuan; dan  Kelima; pembagian kerja secara seksual yang merugikan kaum perempuan, seperti misalnya perempuan hanya cocok dengan pekerjaan domestik, tidak untuk melakukan pekerjaan publik seperti laki-laki sehingga perempuan terkurung dalam ruang dan wawasan yang sempit.

Kajian  masalah  Tafsir Misogini (bias gender)  menjadi  topik  yang  masih  hangat,  seiring  dengan  pembahasan  hak-hak asasi manusia yang tidak hanya berimplikasi pada permasalahan wanita itu sendiri tetapi masuk dalam  dataran  politik,  ekonomi,  hukum, dan  bahkan  berimbas  pula  pada  pembahasan  agama    yakni hukum  Islam. 

Salah  satu  implikasi  yang  tidak  terelakkan  adalah  isu  kaum feminis yang berusaha  membongkar dogma-dogma  agama,  menentang  sebagian  ayat-ayat  al-Qur’an,  menghujat  hadits-hadits  dan melawan  setiap  ide  penerapan  hukum  Islam  dengan  alasan  ketidak-layakan  hukum  itu  dalam membentengi  hak-hak  wanita,  bahkan  jelas-jelas  dianggap  meminggirkan  wanita. (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan dan Filsafat

  Editor: Jufri Alkatiri