Fenomena Tafsir Misogini (Foto: Kompasiana.com)
Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Fenomena Tafsir Misogini, dalam menafsirkan ayat-ayat alqur’an ada korelasinya dengan sejarah dimana Islam muncul, yakni ketika saat itu perempuan terdera dalam puncak keteraniayaan, dimana hak untuk hidup yang merupakan hak asasi setiap manusia tidak bisa mereka dapatkan.
Perempuan seringkali berada pada posisi yang sangat mudah untuk menjadi korban dari ketidakadilan. Meskipun ada juga penafsir yang secara filosofis sejalan dengan pandangan kaum feminis. Eksistensi laki-laki dan perempuan secara ontologis adalah sama, yaitu sama-sama dijadikan Tuhan dengan proses yang sama. Tafsir Misogini adalah sebuah aliran pemikiran yang secara zahir memojokkan, subordinat dan merendahkan derajat perempuan.
Dalam diskursus ini membahas satu ayat alqur’an sebagai pangkal awal tafsir Misogini yang sejatinya paradoks dengan teks alqur’an itu sendiri dan didalam nya mengandung logical fallacy (sesat fikir) Pangkal awal penciptaan manusia dalam al-Qur’an surat an-Nisa, melihat temanya (surat) menunjuk “an-Nisa” yaitu “Wanita” supremasi wanita sebagai pembawa keturunan (hereditas), didalamnya membincangkan seputar keluarga, sosial kemasyarakatan, dan lebih jauh membincang konstruk relasi antar keduanya pada masanya. Tafsir Ibn Katsir Qs. an-Nisa [4]: 1, “Wahai sekalian manusia, bertakwalah kepada Rabb kalian yang telah menciptakan kalian dari jiwa yang satu waninta, dari jiwa yang satu itu Dia menciptakan pasangannya, dan dari keduanya Dia memperkembangbiakkan laki-laki dan perempuan yang banyak”
Ayat di atas secara bahasa sesungguhnya telah jelas akan tetapi karena adanya tradisi penafsiran dengan riwayat (hadits), maka menjadi multi tafsir. Para mufasir berbeda pendapat, siapa sebenarnya yang dimaksud dengan diri yang satu, siapa yang ditunjuk pada kata ganti (dhamîr) “dari padanya” dan apa yang dimaksud ? “pasangan” pada ayat tersebut. Native bahasa, nafsin wahidah berarti diri yang satu perempuan, minhaa kata ganti perempuan, dan zauwjaha juga berarti pasangan dari perempuan.
Ulama terdahulu dengan latar belakang budaya patriarki pada masanya diwarnai dengan pola relasi yang tidak seimbang, sehingga perempuan dipandang sebagai makhluk sub-ordinat atas laki-laki, maka ketika menafsirkan ayat di atas menggunakan hadits budaya patriarki sehingga terjadi tafsir yang Misogini: “Sesungguhnya wanita diciptakan dari tulang rusuk. Dan sungguh bagian yang paling bengkok dari tulang rusuk adalah yang paling atasnya. Bila engkau ingin meluruskannya, engkau akan mematahkannya. Dan jika engkau ingin bersenang-senang dengannya, engkau bisa bersenang-senang namun padanya ada kebengkokan”. (HR. Al-Bukhari No. 3331 dan Muslim No. 3632)
Hadits di atas yang kemudian digunakan untuk menafsirkan wanita sebagai subordinat laki-laki karena tercipta dari tulang rusuk pria yang bengkok, hadits di atas diperkuat juga dengan hadits di bawah; “Saling wasiat mewasiatlah untuk berbuat baik kepada wanita. Karena mereka itu diciptakan dari tulang rusuk yang bengkok, kalau engkau membiarkannya dia tetap bengkok, dan bila engkau berupaya meluruskannya dia akan patah” (HR. at-Tirmidzi melalui Abu Hurairah).
Kedua hadits tersebut dipahami secara harfiah tidak berusaha mempelajari hadits- hadits yang lain yang berkaitan dengan penciptaan manusia, dari hadits tersebut maka min nafsin wahidah (dari diri yang satu perempuan) ditafsirkan menjadi bermakna Adam (pria), dalam al-Qur’an Departemen Agama ditulis diri yang satu (Adam).
Hadits ini dipahami oleh banyak ulama terdahulu secara harfiah sesuai budaya patriarki kala itu, namun, tidak sedikit ulama kontemporer yang memahaminya dalam artian metafora, bahkan ada yang menolak kesahihannya.
Ulama yang memahami secara metafora menyatakan bahwa hadits itu mengingatkan para pria agar menghadapi wanita dengan bijaksana, karena ada sifat dan kodrat bawaan mereka yang berbeda dengan pria, sehingga bila tidak disadarkan akan mengantar pria bersikap tidak wajar. Tidak ada yang mampu mengubah kodrat bawaan itu. Kalaupun ada yang berusaha, maka akibatnya akan fatal seperti upaya meluruskan tulang rusuk yang bengkok.
Sayyid Muhammad Rasyid Ridha Tafsir Misogini timbul dari apa yang termaktub dalam Perjanjian Lama (Kejadian II: 21-22) kisah israiliyat, yang menyatakan bahwa ketika Adam tidur lelap, maka diambil oleh Allah sebilah tulang rusuknya, lalu ditutupkannya pula tempat itu dengan daging. Maka, dari tulang yang telah dikeluarkan dari Adam itu, dibuat Tuhan seorang perempuan. Rasyid Ridha menuliskan, “Seandainya tidak tercantum kisah kejadian Adam dan Hawa dalam Perjanjian Lama, seperti redaksi di atas niscaya pendapat yang menyatakan bahwa perempuan diciptakan dari tulang rusuk Adam, tidak pernah akan terlintas dalam benak seorang muslim”. (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan dan Filsafat
Editor: Jufri Alkatiri