Tafsir Misogini (Sumber Foto: rahma.ID)

   Al-Qur`an adalah petunjuk sekaligus pedoman bagi umat manusia untuk kesejahteraan  hidup  di  dunia  dan  kebahagiaan  di  akhirat.  Di dalam  al-Qur`an  terkandung seluruh aspek yang dibutuhkan bagi kehidupan semesta.

   Al-Qur`an sendiri menyatakan diri sebagai kitab yang menjelaskan segala hal (tibyaan li kulli syai-in). Sadar   akan   hal   itu, terlintas bagaimana pelak-pelik kehidupan   yang senantiasa  berubah  dan  terus  berkembang, hal ini  sesuai dan  sejalan dengan  al-Qur`an likulli zaman (pedoman hidup sepanjang zaman). Dus,  bagaimana  seharusnya manusia menyikapi  dinamika  hidup  yang sarat    dengan    pergolakan-pergolakan sosial, budaya, ekonomi, dan    juga pemikiran, yang  secara  langsung  atau  tidak  langsung  akan  mempengaruhi  cara pandang kaum muslimin.

 Sebagai sumber otoritatif, al-Qur`an memilki kelenturan dengan mengemukakan; sumber ide-ide inspirasi,  prinsip-prinsip  dasar,  nilai-nilai  moral,  dan  ketentuan-ketentuan  umum yang UpTo Date sehingga mampu menjawab tantangan zaman.

 Para ahli genetika menyimpulkan bahwa nenek moyang lewat garis matrilineal (garis ibu) mundur ke masa lampau sampai semua garis keturunan bertemu pada satu orang yang disebut Hawa Mitokondria. Dan bertemu pada "Adam kromosom Y", nama yang diberikan kepada moyang manusia bersama lewat garis menuju ke MRCA (most recent common ancestor) patrilineal (garis ayah)

 Para peneliti kemudian menggunakan metode  jam molecular untuk menentukan umur manusia pertama di dunia, Nenek moyang manusia, menurut para ilmuwan hidup sekitar 250 ribu tahun lalu.  Drama kosmis yang di kisahkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarah ayat 30 s.d. 38 bukan merupakan kisah historis sebagaimana ilmu pengetahuan yang menelusuri hingga ke Hawa Mitokondria dan Adam kromosom Y.

 Tafsir kisah hitoris dengan merujuk riwayat (hadits) dari ulama-ulama terdahulu (klasik) selain mengandung tafsir Misogini (bias gender), juga berseberangan dengan ilmu dan teknologi dan juga menyisakan banyak teka-teki antara lain:  mengapa Allah memberitahukan rencana-Nya kepada para Malaikat untuk menciptakan khalifah di bumi?; bagaimana para malaikat tahu bahwa keturunan Adam akan membuat kerusakan ? Mengapa mereka boleh mempertanyakan kehendak dan kebijaksanaan Allah?; bagaimanakah khalifah Allah itu diciptakan?, dan mengapa dia begitu cepat melanggar aturan Allah untuk tidak mendekati syajarah?; siapakah syaitan atau Iblis itu dan bagaimana dia bisa masuk ke dalam Jannah itu dan menjerumuskan Adam dan Zauj-nya? Interpretasi kisah Adam dalam tafsir klasik justru semakin rumit daripada menemukan benang merah.

 Beberapa pemikir Barat mutaakhir mengakui bahwa al-Qur’an penuh dengan simbol atau tanda-tanda. Salah satu yang mengatakan hal ini adalah Karen Amstrong. Dia mengatakan bahwa al-Qur’an banyak menggunakan perumpamaan (misal) untuk menjelaskan suatu kenyataan bayangan/imajinasi, karena kenyataan itu sulit untuk diterangkan, sehingga perlu diverbalkan dalam bentuk simbol-simbol.

Muhammad ‘Abduh dalam tafsir al-Manar, menunjukkan suatu pergeseran interpretatif dari anggapan kisah drama kosmis sebagai suatu peristiwa yang benar-benar terjadi secara historis berubah menjadi anggapan bahwa dia hanyalah kisah simbolik semata. Bagi ‘Abduh dalam kisah Adam itu telah ditetapkan suatu tamsil oleh Tuhan mengenai pesan tertentu yang lebih mendasar dan hakiki. Taqrir at-tamsil dari kisah ini adalah bahwa Allah hendak menjadikan manusia sebagai khalifah di muka bumi ini.

Dalam drama kosmis tamsil tiga kata kunci yakni; Adam adalah manusia, Malaikat, dan Iblis. Dalam interpretasi  Abduh tampak jelas bahwa manusia adalah substansinya, sementara Malaikat dan Iblis adalah aksidensialnya, atau kualitas-kualitas yang melekat dan inheren dalam diri manusia. Jadi drama kosmik itu lebih bermakna metaforis. Para aktor yang terlibat di dalam kisah tersebut seolah-olah bukan figur, tetapi lebih bermakna simbolis, sehingga drama tersebut lebih merupakan majasi pelajaran daripada sebuah kisah sebagaimana dipahami selama ini.

Mencermati logika ‘Abduh ini dipengaruhi oleh filsafat Aristoteles yang mengajarkan pembedaan antara substansi dan aksidensi dalam memahami suatu realitas. Substansi mengacu pada benda itu sendiri atau thing in itself, sedangkan aksidensi mengacu pada kualitas-kualitas atau sifat-sifat yang mendefinisikan thing in itself tersebut. Misalnya, melihat kucing, maka kita sebenarnya hanya bisa memahami kucing dari kualitas-kualitas yang melekat pada kucing itu sendiri seperti mengeong, berkaki empat, berbulu, berkumis, dan lain sebagainya. Sementara kucing itu sendiri sebagai independent thing tidak mungkin untuk bisa diverbalkan, kecuali secara demonstrative kita tunjuk. (Bersambung)

 *Pemerhati Keagamaan dan Filsafat

  Editor: Jufri Alkatiri