Memperingati Hari Ibu Nasional (Foto: detik.com)
Oleh: Renville Almatsier*
Minggu besok, kita merayakani Hari Ibu. Seperti biasa setiap tahun, harus dijelaskan bahwa Hari Ibu 22 Desember di negeri kita lebih dirayakan untuk memperingati jasa kaum ibu Indonesia dalam perjuangan pergerakan bangsa. Bukan seperti Mother's Day di Barat.. Begitu juga, kali ini saya mau mengenang Hari Ibu dari lebih universal, dari sisi peran keibuan kaum ibu.
Zaman memang sedang berganti. Loncatan budaya juga merembet kepada kaum ibu. Kalau doeloe dari buku pelajaran di sekolah kita selalu ingat frasa: Bangun pagi ibu menanak nasi di dapur, ayah ke ladang. Kini hal itu tidak berlaku lagi.
Generasi ibu kita, yang kini berangsur punah mungkin adalah generasi perempuan yang sebagian besar waktunya didedikasikan sebagai ibu rumah tangga, memasak untuk keluarga. Selanjutnya generasi baby boomers adalah generasi dimana peluang terbuka untuk bersekolah dan berkarier sesuai profesi dan ilmu masing-masing. Tapi generasi berikutnya, yang disebut Generasi X, sudah lebih maju lagi. Generasi ini mulai aktif bekerja, jadi orang kantoran. Mereka merintis karier jadi pakar di berbagai bidang.
Saya tidak mempersoalkan pilihan kaum wanita maju ini. Saya cuma, mungkin agak romantis, menyayangkan, sekarang tidak banyak lagi kaum ibu yang mampu membuat makanan-makanan orde lama seperti klepon, getuk atau kolak pisang, dan lain-lain. Produk kuliner itu tetap hadir. Kini -- ketidakmampuan membuat sendiri dinilai lebih praktis dan lebih gampang. Sebagai gantinya orang kini tinggal pilih di layar hape, mau makan apa dan. Klik! Muncul macam-macam Ada Semua. Mulai dari masakan Cina fuyunghay, Eropa Chili con carne, dan Pasta . Dari makanan lokal pun muncul aneka ragam versi barunya. Ada ayam geprek, ayam penyet, ayam setan -- sampai ke berbagai kue yang namanya dulu tidak dikenal. Tetapi bukan itu yang ingin saya bahas.
Zaman memang sedang berganti. Soal masak-memasak cuma salah satu dampaknya. Saya juga tidak komplen. Revolusi internet apalagi ditambah era Pandemi yang berkepanjangan ini agaknya telah mengubah berbagai tatanan. Tidak dapat dipungkiri bahwa teknologi sangat membantu kehidupan kita. Wanita karier bisa tinggal di rumah tapi tetap bekerja sesuai profesinya.
Kita berbelanja, mengucapkan selamat, bermain, mengobrol, juga memasak, bertukar resep pun bisa melalui internet . Namun kita harus menyadari bahwa ada hal-hal mendasar dan sangat penting yang hilang. Semakin besarnya porsi kehidupan manusia yang dihabiskan di ranah digital tampaknya juga berujung pada makin banyak hilangnya sentuhan manusiawi.
Pada Hari Ibu ini pun saya tidak komplen. Bermain gawai atau bersosialisasi sah-sah saja bagi para ibu, bahkan bisa jadi pelepas stres atau kepenatan setelah bekerja atau beraktivitas seharian. Ibu juga butuh jeda dari kesibukannya. Zaman yang bergegas, gerak jempol melebihi kecepatan pikiran, dengan kata lain manusia berucap tanpa berpikir. Kita diingatkan sejak lahir sampai menjadi tua, manusia memerlukan suatu lingkungan hidup yang segar, nyaman dan tenteram. Bukan lingkungan yang menyebabkan pikiran menjadi jenuh atau membuat sudut pandang menjadi mumet. Meninggalkan teknologi itu sepertinya tidak mungkin karena banyak bagian dari aktivitas belajar dan bekerja kita yang memerlukan teknologi.
Hidup diperantarai internet membuka cara berada yang baru, yang seperti tidak terbatas. Tetapi di sisi lain kita kehilangan banyak kesempatan untuk berhubungan dengan sesama manusia karena hampir semua bagian aktivitas didup dijalani dengan perantaraan internet. Internet sekaligus mengubah perilaku ekonomi. Semua hal dapat dilaksanakan dengan efisien, cepat, dan murah.
Pada akhirnya kita ingin menghadirkan suasana yang membahagiakan untuk diri dan orang-orang terdekat, termasuk anak-anak dan orang muda di lingkungan kita. Bila kita dapat mempertahankan kedekatan langsung dan menampilkan hidup yang seimbang itu akan menjadi contoh bagi generasi yang lebih muda. Banyak ibu memilih memegang hape, tidak perlu lagi memasak. Fenomena ibu yang seperti ini yang makin banyak ditemukan di masyarakat.
*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo
Editor: Jufri Alkatiri