Kondisi Kita yang Tidak Baik- Baik Saja. (Foto: Google.com)

Oleh: Renville Almatsier*

Tampaknya kita harus menutup tahun 2024 ini dengan kesan yang buruk. Begitu kompleksnya masalah yang kita hadapi sehingga sulit untuk memisahkan satu yang berkelindan  dengan yang lain. Halaman koran, berita televisi, maupun media sosial tidak pernah sepi dari informasi atau liputan tentang hal itu.

Kalau mau diusut dengan kepala dingin, sebetulnya rentetannya bermula di tahun sebelumnya ketika keputusan curang ketua MK diamini oleh semua kita. Dampaknya begitu besar bagi perkembangan bangsa sampai ke tahun 2024 ini.

Meskipun Pilpres dan Pilkada telah berlangsung lancar,  pesta demokrasi itu sendiri banyak menyisakan hal yang perlu diklarifikasi. Berbagai pengaduan masuk dari TPS di pelosok negeri, mulai dari  “politik uang”, intimidasi,  pembagian sembako yang diberinama bansos, kertas suara yang hilang, sampai pada manipulasi data daftar pemilih.

Pihak yang merasa dirugikan sudah mengajukan gugatan, mengikuti prosedur. Tetapi tampaknya, apa yang sebenarnya terjadi  tidak akan terbuka selamanya. Kita lebih membutuhkan persatuan ketimbang mengungkap kebenaran. Peraturan dibuat belakangan, disesuaikan dengan target yang disasar. Begitu praktik wakil-wakil kita di DPR yang gampang sekali bersepakat. Apalagi para akademisi dan kaum intelektual kita tidak terdengar suaranya. Entah, zaman yang nanti akan membongkarnya.

Hmm, maaf, masih ada lagi yang terkait pemilu, tetapi agak menyimpang dan memalukan.  Ketua KPU, lembaga terhormat dan berwibawa itu,  terpaksa dicopot karena tidak mampu mengontrol syahwatnya.  Orang kini tampaknya gampang lupa pada tanggungjawab dan harga dirinya. Maunya sukses dengan cara gampang. Orang ingin kaya tanpa kerja keras. Kalau bisa, menduduki jabatan penting dengan menyogok sana-sini. Setelah jabatan tercapai, ini dipakai kesempatan untuk memperkaya diri. Hak-hak sebagai pejabat dikejar, sedangkan kewajibannya tidak pernah dipedulikan.

Academic misconduct pun merajalela. Penulisan jurnal ilmiah sebagai persyaratan promosi guru besar ikut dipermainkan  -- yang calon pejabat berupaya keras untuk mengangkat gengsinya. Dengan cara apapun, kalau bisa, di depan namanya  dibubuhi gelar S-3.

Rusaknya moral para pejabat atau orang-orang yang tadinya kita hormati, akhirnya merembet merusak moral masyarakat. Atau sebaliknya, ya ? Kita lihat berturut-turut kejadian, PNS rame-rame mengelola judol, lalu ada anak membunuh ayah dan neneknya, pengasuh balita menyiram air panas ke bayi, senior menyiksa adik-didiknya, pasukan tentara mengobrak-abrik kampung  penduduk, polisi menembak bawahannya, guru digiring ke Polres. Ada macam-macam lagi.

Apa yang sebenarnya sedang terjadi di negara kita ini?  Secara sederhana sebenarnya semua ini terkait dengan hukum dan segala perangkat penegakan peradilan. Ya, masalah ini memang merupakan titik kelemahan kita.

Saya terperangah melihat duit hampir 1 trilyun teronggok di dalam kamar seorang pejabat MA. Baru kali itu saya menyaksikan, itu pun lewat layar kaca, uang sebanyak itu. Apalagi bermimpi memilikinya.  Ternyata buat banyak hakim itu bukan mimpi. Mereka sudah lama terlibat kasus mafia peradilan. Lalu bagaimana nasib perkara yang keputusannya diambil setelah uang masuk kantong mereka? Sahkah keputusan itu ? Akan adakah peninjauan kembali ? Atau kita serahkan lagi pada zaman yang akan membongkarnya ?

Last but not lease, kita harus menyorot lembaga kepolisian. Apa yang terjadi akhir-akhir ini terkait polisi agaknya sudah di luar batas toleransi kita sebagai sesama warga negara. Saya tidak tahu apa yang dirasakan oleh anggota  Korps Bhayangkara dengan citra korpsnya yang anjlog drastis akibat perbuatan anggota-anggotanya sendiri.

Tahun lalu, Kapolri sendiri menyatakan bahwa peristiwa kasus Sambo dan Minahasa merupakan pukulan keras pada polri. Pembunuhan Brigadir J dan penyelundupan narkoba itu sangat bertolak-belakang dengan tugas-tugas mereka. Karena itu Kapolri waktu itu bertekad menuntaskan kasus tersebut agar kepercayaan publik kembali menguat.  Tekad bersih-bersihnya itu tersebar melalui pernyataan bahwa “ikan busuk mulai dari kepala. Kalau tidak bisa kita perbaiki ya, kita potong kepalanya”.

Para biang kerok dua kasus itu sudah masuk kerangkeng. Empat petinggi Polri dicopot dengan tidak hormat. Vonnis sudah jatuh, meskipun beberapa hal masih meninggalkan pertanyaan yang tidak seluruhnya terkuak. Itu kejadian dua tahun lalu.  Tidak tuntasnya “potong kepala ikan” yang dilakukan Kapolri muncul dalam berbagai kasus belakangan ini. Agaknya “berbenah di dalam” itu tidak seluruhnya memuaskan. Naa.. buktinya di level “buntut ikan” keadaan masih, kalau tidak mau dibilang makin, amburadul. Tindak kekerasan dan pelanggaran HAM oleh anggota polisi terus meningkat.  

Ada polisi membunuh rekannya yang membongkar kejahatan tambang illegal di Solok, Sumatera Barat. Sebaliknya, ada polisi rendahan yang berani membongkar kejahatan malah diberhentikan di  Kupang, NTT  -- yang paling gres adalah berita polisi merampok dan menembak kurir ekspedisi di Palangka Raya, Kalteng serta memeras turis di Jakarta.

Kalau soal menembak, selain sasarannya sesama rekan, anggota korps yang  menjunjung TriBrata ini sudah menembak demonstran,  tetangga, mahasiswa, anak sekolah, selingkuhan, istri, dan bahkan diri sendiri. Tetapi Ketua KPK yang juga anggota Polri sampai kini belum diapa-apakan. Janji Kapolri  itu ternyata baru sampai tingkat omdo (omong doang).

Itulah kenyataan. Mau tidak mau, apa yang menjadi guyonan Gus Dur bahwa di Negara kita  hanya ada tiga polisi jujur yakni patung polisi, polisi tidur,  dan Hoegeng, harus kita terima dengan ketawa pahit.

Tidak pelak lagi, negeri kita yang dari dulu selalu diguyur pujian sebagai  lemah ripah loh jinawi, perlu membereskan hukumnya. Inilah faktor yang menyebabkan kita tidak baik-baik saja  - dari dulu sampai sekarang!

*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo

Editor: Jufri Alkatiri