Wacana meliburkan siswa selama Bulan Ramadhan 2025. (Foto: Kompas.com)

Oleh : Prof. Dr. Murodi al-Batawi*

Salah satu wacana yang disampaikan oleh Menteri Agama (Menag)  Kabinet Merah Putih, Prof. Dr. KH.Nasaruddin Umar, MA, adalah meliburkan anak sekolah selama Bulan Ramadhan. Wacana ini mungkin dikhususkan untuk murid Madrasah dan Pesantren, yang memang lembaga pendidikan di bawah koordinasi Kementerian Agama. Tetapi, bagaimana murid yang bersekolah di lembaga pendidikan Kemendikdasmen. Apakah mereka juga akan libur. Sejauh ini -- saya belum mendengar langsung dari Mendikdasmen, Prof. Abdul Mukti, MPd,PhD. jika ada wacana libur di bulan Ramadhan.

Setahu saya, saat ini, Kemendikdasmen belum mengambil keputusan terkait libur selama bulan Ramadhan 2025. Meski Menag mempertimbangkan libur sekolah Ramadhan, terutama untuk Madrasah dan Pondok Pesantren. Untuk sekolah umum, kebijakan libur serupa masih dalam pertimbangan. Anggota Komisi X DPR RI, Habib Syarief Muhammad Alaydrus, mendukung rencana libur tersebut, karena dapat memberikan kesempatan bagi siswa untuk fokus pada ibadah dan belajar agama. Menurutnya, libur selama Ramadhan dapat meningkatkan sisi spiritualitas siswa.

Libur di saat Ramadhan 1446 H/2025 M

Dahulu, sekitar 1970-an, pada saat Ramadhan, semua sekolah libur. Baik Madrasah atau sekolah umum --  semuanya diliburkan. Bahkan full sebulan penuh mereka libur semuanya. Alasannya, mereka supaya lebih fokus beribadah selama Ramadhan. Sekolahpun tidak menyiapkan program akademik selama Ramadhan. Praktis semua kegiatan di lembaga pendidikan tidak ada sama sekali. Ketika sekolah libur, guru, tetutama yang PNS hanya datang untuk absen secara manual, belum seperti sekarang harus setor wajah dan sebagsinya.

Kalau sampai wacana libur Ramadhan, apalagi sebulan penuh, maka Madrasah dan Pesantren, khususnya harus menyiapkan program akademik unggulan, seperti  Program Tahfidzul Qur’an dan Muraja’ah al-Qur’an. Selain itu, juga bisa dibuatkan Program Bahasa, terutama bahasa asing, Arab dan Inggris. Bahkan harus ada hari bahasa satu atau dua hari dalam seminggu. Mereka berkomunikasi dengan menggunakan Bahasa Arab atau Inggris dan bahasa asing lainnya, sehingga usai libur Ramadhan, mereka semakin mampu berkomunikasi dengan menggunakan bahasa asing tersebut.

Selain itu, para siswa juga belajar ilmu bantu bahasa, seperti Nahwu Sharaf, Balaghah, Mani’ dan Badi’, bagi mereka yang memperdalam bahasa Arab. Grammer dan Vocabulary, bagi yang memperdalam Bahasa Inggris.  Tetapi pertanyaannya, bisakah Madrasah dan Pesantren membuat dan melaksanakan program tambahan tersebut?. Karena sangat terkait dengan SDM dan Budget yang mesti disediakan. Bagi saya, sepertinya bisa saja asal ada kemauan.

Bagaimana dengan siswa-siswi Madarasah di luar pesantren?. Apa yang akan mereka lakukan selama libur Ramadhan, terlebih mereka sudah terbiasa menggunakan gadget. Bisakah mereka memanfaatkan waktu itu sebaik mungkin untuk hal positif? Apakah saat mereka libur malah membuat orang tua mereka semakin panik, karena anak mereka selalu bermain gadget dan tidak terkontrol. Terlebih kedua orang tua mereka bekerja dan hanya bisa mengawasi anak mereka sekembalinya bekerja. Hal inilah yang juga mesti jadi bahan pertimbangan untuk membuat kebijakan pada libur selama Ramadhan. Jika wacana ini benar terealisir, mohon ada juklak dan juknis dari Direktorat terkait agar,  Madrasah dan Pesantren membuat Program terbaik saat Libur Ramadhan.

*Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN  Syarif Hidayatullah Jakarta

 Editor: Jufri Alkatiri