
Shalat Media M’raj bagi Orang Beriman (Foto: Suara Muhammadiyah)
Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Rasulullah SAW telah mendaki tangga Mi'raj -- sebuah perjalanan spiritual (suluk) nan agung. Nabi Muhammad merupakan sosok puncak percapaian perjalanan (spiritual) umat manusia sepanjang sejarah kehidupan, simbol Insan Kamil wujud kesempurnaan kemuliaan manusia dan hal ini salah satu mukjizat terbesar yang diberikan Allah kepada kekasih-Nya -Muhammad SAW.
Kita sebagai umatnya dan para wali sekalipun tidak mungkin melakukan perjalanan sebagaimana Isra dan Mi'raj Nabiyullah Muhammad SAW, namun, sebagai wujud perhatian dan kasih sayang Nabi Muhammad kepada umatnya, maka Nabi menjadikan shalat sebagai media untuk bermi’raj bagi umatnya yang beriman. Rasulullah bersabda: Shalat itu merupakan media Mi’rajnya orang yang beriman (ash-shalatu mi’rajul mukmin).
Melalui ibadah shalat, seorang hamba bermi’raj, mencari tangga untuk menggapai Tauhid. Jangan mencoba-coba menggoyang-goyang akar (tauhid), karena hal itu (menyebabkan) murka (Tuhan). Kebiasaan menggoyang akar (tauhid) adalah tanda orang-orang pendusta dan pendurhaka. Serahkan seluruh urusanmu kepada pemilik langit, maka engkau akan tahu hakikat asma dan sifat-nya.
Tetapi jangan serahkan (kepada-Nya) karena engkau bukan orang kedua melainkan engkau ruh-Nya disini arti laku suluk mendaki tangga langit. Jangan sampai engkau terhijab oleh makna berpasang-pasangan (al-Matsani).
Jangan cari jubah selain diri-Nya, barang siapa bertawakkal kepada-Nya maka dia akan diberi kecukupan. Carilah jubah (asma dan sifat-Nya) dari yang sejenis denganmu. Sebab Dia ingin sekali menjadi lebih kuat untuk dirimu. Meskipun engkau lemparkan tabutmu ke laut. Perjanjian itu pasti menjumpaimu kembali, maka jangan engkau lempar tabut itu di dunia ini. Dan tulus ikhlaslah demi Tuhanmu.”
Tuhan Menyingkap diri-Nya sendiri dengan memanifestasikan sejumlah asma-asma dan atribut-atribut-Nya baik dalam mikrokosmos (diri manusia) maupun makrokosmos (alam semesta). Telah dipahami bahwa manusia tidak dapat mengenal dzat Tuhan (yang transcendent) dikarenakan tidak ada sama sekali keserupaan antara dzat Tuhan dan dzat manusia. Tetapi, dilain sisi ketika berbicara tentang sifat-sifat Tuhan (asma al-husna), maka kita akan menemukan beberapa karakteristik keserupaan dengan-Nya, yang memungkinkan manusia untuk mengenal Tuhan secara positif.
Misalnya, manusia bisa, sampai pada taraf tertentu, melihat sifat tahu (al-‘aliim) Tuhan karena manusia-pun, pada tingkat yang lebih rendah, memiliki sifat tahu/al-‘aliim tersebut. Demikian juga kita bisa memahami sifat Tuhan, karena kita (manusia) juga hidup, meskipun hidup kita sementara hidup Tuhan abadi. Keserupaan ini tidak berhenti secara statis, tetapi bersifat dinamis dengan kemampuan manusia untuk menyerap atau menyerap sifat-sifat Tuhan ke dalam dirinya.
Para ilmuwan dan teolog maupun filosof dengan nalarnya dapat dengan mudah membuktikan ketidak sebandingan Tuhan (transcendence), namun mereka tidak mampu memahami keserupaan-Nya (immanent). Imajinasi kreatif para salik (pelaku suluk) yang mendaki tangga langit akan mampu melihat Tuhan dalam penyingkapan diri-Nya (tajalli) dan keserupaan-Nya.
Pengetahuan sempurna memerlukan pengenalan terhadap Tuhan melalui nalar dan melihat-Nya melalui imajinasi. Tabiat alamiah dari ketidaksebandingan dan keserupaan Tuhan tidak dapat dijangkau kecuali kedua kemampuan (nalar dan imajinasi) digunakan bersama-sama. Karena satu kemampuan hanya akan menunjukan gambaran realitas yang terdistorsi.
Penekanan secara eksklusif pada transcendence (ketidak sebandingan) akan memisahkan Tuhan dengan Kosmos. Sebaliknya penekanan khusus pada immanent (keserupaan-Nya) akan mengaburkan keesaan al-Haqq dan mengarah pada Politesisme atau tindakan mempersekutukan (syirik) dan paganisme (menyembah berhala).
Penyingkapan diri Tuhan merambah keseluruh hal yang eksis, manusia adalah mikrokosmos mengandung segala sesuatu yang eksis di dunia dalam dirinya sendiri. Oleh karena itu, tubuh adalah penyingkapan diri Tuhan yang dapat di indera, sebaliknya ruh adalah penyingkapan diri Tuhan yang tidak dapat di indera, sementara ruh juga merupakan penyingkapan diri yang berada di separo jalan terindera dan tidak terindra.
Persolan Mengenai Tuhan yang rumit di atas, secara filosofis telah diungkapkan dalam al- Qur’an dengan menyebutkan Huwa (Dia), dzat Tuhan yang tidak dapat disebandingkan, yang kemudian disebut dengan Allah atau nama-nama yang indah (al- asma al-husna) keserupaan.
Dalam salah satu firman-Nya, Allah mengatakan dalam al-Qur’an; Katakanlah (ya Muhammad), Huwa (Dia) yaitu (yang kamu dan orang- orang Arab biasa menyebutnya) Allah itu, adalah Maha Esa, Tempat Bergantung (bagi segala yang ada). Dia tidak beranak dan tidak diperanakkan. Dan tidak ada satupun yang menyerupai-Nya (QS. al-Ikhlas: 1-4).
Kedalaman makna narasi surat al-Ikhlas dalam filsafat dikenal apophatic theology, yang juga dikenal sebagai Teologi Negatif, adalah suatu bentuk pemikiran Teologis dan praktik keagamaan yang berupaya mendekati Tuhan, Yang Ilahi, melalui negasi, untuk berbicara hanya dalam kerangka apa yang tidak dapat dikatakan tentang kebaikan dan keagungan sang maha sempurna yaitu Tuhan.
Dalam surat al-Ikhlas dzat Tuhan yang transcendence disebut dengan Huwa (Dia), yang di imanenkan (diserupakan) dengan nama sebutan yang sudah di kenal oleh bangsa Arab ketika itu sebagai Allah yang kemudian di-derivasi menjadi asma-asma atau nama-nama: Maha Esa (ahad), tempat bergantung (ash-shamad) dan asma-asma yang lazim dikenal menjadi 99 nama-nama yang indah (asma al husna). Akan tetapi pada akhir ayat semua nama-nama dan sifat-sifat tersebut di negasikan bahwa tidak ada satupun yang serupa atau setara dengan Nya.
Pencarian Tuhan yang tidak dapat disebandingkan, dalam Laku-Suluk Tuhan diserupakan melalui asma dan sifatnya dan kemudian di negasikan, hal ini dilakukan literasi terus berulang-ulang tanpa berhenti sampai bertemu Tuhan nanti di alam akhirat. Wajah-wajah (orang-orang mu’min) pada hari itu berseri-seri. Kepada Rabb-nya mereka melihat. (Al Qiyamah [75]: 22-23).
Melalui penjelajahan spiritual, para salik berusaha keras untuk mengintegrasikan tubuh ke dalam jiwa dan jiwa kedalam ruh. [dalam terminology Alqur’an, manusia terdiri dari 3 komponen: tubuh fisik (basyar), jiwa (nafs) dan spiritual (ruh). Tujuannya adalah meneguhkan dominasi kesatuan sehingga manusia menjadi cermin sempurna yang memantulkan kesatuan wujud.
Gerakan menuju integrasi ini berlangsung dalam dunia imajinal jiwa. Keadaan psikologis dan spiritual (ahwal) dari jiwa ini, tempat dimana Tuhan menyingkapkan-diri (tajalli) menjadi mikrokosmos manusia, tidak dapat dijelaskan secara memuaskan hanya dengan menggunakan katagori rasional, karena kecerdasan nalar terletak pada teori yang abstrak. Kecerdasan nalar mengisolasi Tuhan dari berbagai kualitas kosmis, seperti ditegaskan dalam Al-qur’an: Tidak ada yang menyerupai-Nya” (QS. [42]:11). Padahal pengetahuan sempurna menuntut pengetahuan tentang kehadiran-Nya dalam kosmos dan jiwa.
Dalam khazanah tradisi intelektual dikenal Sabda Nabi: “Barang siapa mengenal dirinya sendiri, maka dia mengenali Tuahannya”. Melalui pengenalan keesaan dirinya, seorang mengetahui penyingkapan diri Tuhan dalam satu tubuh satu jiwa dan satu ruh. Pada tingkat jiwa, imajinasi memungkinkan mengenali penyingkapan Tuhan dengan cara mengalami secara nyata melalui penglihatan batin yang mengkombinasikan spiritual (suprasensorik dan tidak dapat di indera) dengan jasmaniah (yang terasa dan dapat di indera).
Ibnu Arabi menyebutnya dalam istilah filosofis coincidentia oppositorum kesatuan transendensi dan imanensi Tuhan adalah merupakan prinsip, yang secara paralel terwujud pula dalam kesatuan Ontologis antara Yang Tersembunyi (al-Batin) dan Yang Tampak (al-Zahir), antara Yang Satu (al-Wahid) dan Yang Banyak (al- Katsir). Dilihat dari segi dzat-Nya, Tuhan adalah transenden, munazzah (tidak dapat dibandingkan dengan alam), dan dilihat dari segi asma- asma-Nya, Tuhan adalah imanen, musyabbah (serupa dengan alam), yang tampak dan Yang Banyak. Tuhan sebagai satu-satunya Wujud Hakiki, Dzat Mutlak yang Munazah Yang Tersembunyi dan Yang Satu, menampakkan Diri-Nya melalui asma-asma-Nya dalam banyak bentuk yang tidak terbatas dalam alam.
Menurut Ibn al-'Arabi, pengetahuan tentang Tuhan sebagaimana Dia sebenarnya, atau Tuhan pada diri-Nya, atau Dzat Tuhan, harus diperoleh dengan peniadaan pengetahuan. Ini berarti bahwa mengetahui Tuhan dengan tidak mengetahui-Nya; karena pengetahuan positif tentang Tuhan adalah mustahil. Ia berkata: "Orang yang tidak mempunyai pengetahuan membayangkan bahwa dia mengetahui Tuhan, itu tidak betul -- karena pengetahuan kita tentang Tuhan adalah mustahil. Orang yang mengetahui Tuhan tidak melampaui batas tingkatnya sendiri. Ia mengetahui apa yang ia ketahui bahwa ia adalah salah seorang di antara orang-orang yang tidak mengetahui.
Ibn al-'Arabi mengutip perkataan Abu Bakr ash-Shidiq r.a., bahwa: Ketidakmampuan mencapai persepsi adalah persepsi (Ketidak-mampuan mencapai pengetahuan adalah pengetahuan)] (Al-'ajz 'an dark al-idrak idrak). Ungkapan ini melukiskan tingkat tertinggi pengetahuan manusia tentang Tuhan dan segala sesuatu yang gaib yang tidak dapat diketahuinya. Orang yang mengetahui bahwa dia tidak dapat mengetahui Tuhan adalah orang yang secara benar mengetahui-Nya; itulah orang yang bijak. Orang yang menganggap bahwa dia mengetahui Tuhan adalah orang yang tidak mengetahui-Nya -- itulah orang yang bodoh. Bukankah Tuhan telah berfirman: "Penglihatan tidak dapat mempersepsi-Nya (yaitu Tuhan), tetapi Dia mempersepsi semua penglihatan" (QS al-An'am [6]: 103). WaAllahu a’lam.
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni FTP-UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri