Jus - Sang Jurnalis Pembajar Semangat. (Foto: Renville Almatsier)

Oleh: Renville Almatsier*

Ketika dia mengundang saya lewat japri (jaringan pribadi) untuk hadir dalam peluncuran bukunya,   saya senang banget. “Hebat lu, bro…”, kata saya yang sudah lama menganjurkannya membuat biografi. Tetapi balasannya malah mengagetkan. “Hebat apanya?”,  tanyanya balik, “..bukan prakarsa gua.. .” Dia mengungkapkan bahwa sejak 1978 -- dia tidak pernah menulis lagi. “Gua protes, dan harus konsisten sampai hari ini”, tulisnya di WA. Waktu itu saya bayangkan mimiknya yang selalu bersemangat kalau bercerita, apa lagi bila membahas tentang “ketidak-beresan”di negeri ini.

Begitulah, saya hadir pada peluncuran bukunya “Jus Soema di Pradja, Sang Jurnalis  Pembakar Semangat”  di Citos, tepat pada hari ulang tahunnya ke-78, 14 Februari 2025. Buku itu ditulis dan atas inisiatif seorang wartawan muda, Aendra Medita sebagai “penghormatan terhadap wartawan senior tiga zaman ini”. Ada banyak teman dan tokoh yang hadir. Antara lain, mantan pimpinan mahasiswa “Era Malari” Gurmilang Kartasasmita dan Yudil Herry Justam; mantan wartawan Albert Kuhon dan mantan Direktur BAIS Jend (Purn) Jacky Makarim.

Sobat saya yang satu ini memang unik. Dia berhenti dari profesi wartawan pada usia 31 tahun. Sejak itu dia  tidak pernah menulis, namun “hanya mau bicara saja”. Itulah Jus (dibaca Yus) yang sudah lama saya kenal. Bermula ketika rumahnya di kawasan Menteng, menjadi “sarang” berkumpulnya penggiat Ikatan Mahasiswa Djakarta (Imada). Dia sendiri tidak begitu aktif dalam organisasi mahasiswa independen itu. Kami sama-sama bergerak menentang Orde Lama.

Kami berjumpa kembali ketika sama-sama menjadi wartawan di awal tahun 1970an. Saya di Majalah TEMPO, Jus di Indonesia Raya. Bekerja di koran pimpinan Mochtar Lubis itulah agaknya yang membuat dia sangat peka pada ketidak-adilan dan kesewenang-wenangan. Mochtar Lubis selalu jadi role-modelnya. Jus sangat menentang adanya  “budaya amplop” yang bagi sebagian teman-teman wartawan dianggap rejeki. Tetapi selepas dari Indonesia Raya yang mati karena dibredel,  Jus kemudian bekerja di Kompas. Kami sudah berjauhan, tetapi tetap menjaga komunikasi. Dia bahkan membantu sebagai fotografer pada hari pernikahan saya.

Lanjut kisah, dia mengabarkan keluar dari Kompas. Alasannya, dia memprotes kebijakan tujuh pemimpin redaksi media, termasuk Kompas, yang mengambil sikap kompromistis dengan Pemerintah cq Kopkamtib yang sebelumnya melarang koran-koran itu terbit. Dia menempatkan idealisme di atas segalanya. Itulah yang menjadi inti isi bukunya.

Selanjutnya sejak sama-sama tidak berprofesi  sebagai jurnalis lagi, saya tidak pernah tau apa kerja Jus.  Dia bergabung dengan berbagai aktivitas mahasiswa dan bergaul dengan berbagai kalangan. Dia selalu berada di tempat-tempat kumpul mereka antara lain di Jalan Guntur atau Jalan Lautze -- karena itu sumber infonya tidak pernah habis. Kami satu front  lagi ketika sama-sama mendemo Orde Baru. Saking sama-sama gembira, kami saling bertelepon pagi 21 Mei 1998. “Vil, si Babe udah jatoh”, katanya berteriak gembira ketika Soeharto akhirnya lengser.

Waktu berjalan. Ketika kami, kawan-kawan lamanya, sudah mulai kendor, semangat Jus tetap 100 Watt.  Dia tetap garang dan lantang. Tidak pernah ada pemerintahan yang benar di matanya, semua salah. Setiap kali ada ketidakberesan, Jus selalu muncul dengan info-info classified, yang entah dia dapat dari mana. Sumbernya  tidak terbatas dan tidak pernah kering.  Daya ingatnya pun luar biasa. Begitu pula, ketika saya masih terpukau pada kehebatan Jokowi, Jus sudah muncul dengan info-info yang waktu itu tidak masuk akal. Kami sering juga berbeda pendapat dan adu argumentasi lewat japri. Tapi ketika apa yang dia ungkapkan itu ternyata benar, saya harus kembali salut pada kawan saya ini.

Di masa lansianya, Jus banyak membina wartawan-wartawan muda. Dia memilih tidak lewat organisasi resmi seperti PWI, tetapi melalui pendekatan-pendekatan caranya sendiri. Baginya tidak ada kompromi dalam menegakkan kebenaran. Ini pula mungkin yang dimaksud dalam judul “Sang Jurnalis Pembakar Semangat”. Sebetulnya masih banyak kisah untold story yang bisa digali dari Jus. Sayang tidak terurai jelas dalam buku itu. Saya mendoakan semoga kawan saya -- Jus selalu sehat dan terus bersemangat memperjuangkan ketidak-adilan. Saya tidak tahu sampai kapan semangat terus membakarnya. (*)

* Pengamat Masalah Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo

  Editor: Jufri Alkatiri