Rahasia Penciptaan Manusia (Foto: tuturkata.com)

Oleh: Anwar Rosyid  Soediro*

Hijab Allah Swt

Apa yang dimaksud dengan hijab yang menutupi atau menyembunyikan?  Dia (Allah) tidak dapat dicapai oleh penglihatan mata (dipersepsi)  -- sedang Dia dapat melihat (mempersepsi) segala penglihatan itu dan Dialah Yang Maha Halus lagi Maha Mengetahui. [Al An’aam/6 :103]

Dan tidaklah patut bagi seorang manusia bahwa Allah akan berbicara kepadanya kecuali dengan perantaraan wahyu atau dari belakang tabir/hijab atau dengan mengutus utusan (Malaikat) lalu diwahyukan kepadanya dengan izin-Nya -- apa yang Dia kehendaki. Sungguh, Dia Maha Tinggi, Maha bijaksana.( QS asy Syura:51)

Apa yang maksud hijab dalam firman Allah SWT di atas? hal ini mengacu pada seseorang yang terus-menerus tertutup/terhijab  tidak dapat melihat gambaran utuh tentang Allah Swt. terjadi ketika seseorang mengevaluasi peristiwa dan keadaan hanya melalui lensa Nama-Nama Ilahi yang terwujud (Asma al-Husna) yang tersedia bagi individu (parsial) --  sementara mereka tetap tidak menyadari perspektif yang lebih besar. Keterbatasan manusia tersebut tidak dapat memahami hikmah di balik hijab atau memahami seluruh realitas Asma al Husna, sehingga secara efektif justru mengaburkan kebenaran.

Imam Al-Ghazali mengutip hadist Nabi SAW mengenai hijab Allah kepada makhluk-Nya. “Allah mempunyai 70.000 hijab (tirai penutup) cahaya dan kegelapan. Seandainya Dia menyibakkannya niscaya cahaya-cahaya Wajah-Nya akan membakar siapa saja yang memandangnya.”

Hijab berarti penghalang atau penutup sesuatu agar tidak terlihat, tidak tersentuh, dan tidak terjangkau. Hijab juga berarti batas-batas yang bisa dicapai. Hijab adalah pembatas yang tidak bisa dilewati kecuali telah mendapat ijin untuk melewatinya. Hijab itu berupa cahaya dan kegelapan.

Allah itu sangat dekat tapi kita tidak dapat mencapai-Nya karena terhalang hijab yang berlapis-lapis. Kita tidak mengenal Allah karena terhalang hijab. Doa tidak terkabul karena ada hijab. Kita malas beribadah karena ada hijab. Kita tidak bisa bekerja sama dengan orang lain karena ada hijab di hati.

Jika kita melakukan kebaikan (amal shalih), hijabnya adalah cahaya. Jika melakukan keburukan (kejahatan) maka hijabnya adalah kegelapan. Terbukanya hijab-hijab itu adalah salah satu rahmat terbesar yang dapat kita per oleh di bulan Ramadhan. Suatu hijab yang sangat besar dalam diri kita adalah hawa nafsu.

Untuk menguraikan, ketika seseorang cenderung pada nama-nama Ilahi tertentu dan tidak dapat memahami yang lain, mereka menganggap Nama-Nama yang tidak diakui itu tidak valid atau tidak relevan. Hal ini menyebabkan konflik batin. Dalam kasus seperti itu, pikiran bertindak sebagai tabir, mencegah seseorang melihat keseluruhan. Akibatnya, kita terus-menerus membuat penilaian berdasarkan keberagaman, menilai dari perspektif pluralitas daripada keesaan. Akibat kerancuan persepsi tentang keberagaman ini, kita gagal mengenali kesatuan (Ahadiyya), kesatuan (Wahdaniyya), dan keterhubungan. Akibatnya, kebijaksanaan eksistensi tetap tersembunyi dalam dirinya.

Bahkan hal ini dialami para Malaikat, berdasarkan kodrat mereka, tidak dapat sepenuhnya memahami kebenaran semua Nama-nama Ilahi dan mengakui keterbatasan mereka di hadapan Allah. Mereka tidak dapat memahami rahasia Adam atau kebijaksanaan di balik penciptaannya. Namun, mereka segera tunduk dan menaati Perintah Ilahi: "Ketika Kami berkata kepada para Malaikat, 'Sujudlah kepada Adam,' mereka semua sujud kecuali Iblis, yang menolak, menjadi sombong, dan termasuk orang-orang yang tidak percaya." (Surat Al-Baqarah, 34).

Salah satu poin penting di sini adalah peran hati dalam proses ini -- dengan menciptakan manusia sebagai khalifah-Nya, Allah menyempurnakan ciptaan-Nya dan berkata: "Aku tidak cocok dengan langit dan bumi, tetapi aku cocok dengan hati orang yang beriman."

Allah, Yang Esa (Ahad), terwujud dalam hati dalam semua aspek-Nya. Kesatuan sejati (Tauhid) hanya dapat dialami di hati, Ia tersembunyi di dalam diri manusia. Meskipun manusia sendiri tidak dapat sepenuhnya mendefinisikan atau menamainya, seorang salik ketika sampai menyaksikan keutuhan tajalli Tuhan dengan rasa kenikmatan spiritual. Tuhan tidak terhijab dari sang salik; sebaliknya, Tuhan  menarik manusia lebih dekat, melalui visi holistik dan proyeksi Muhammad (mi’raj), manusia sempurna dapat memahami dan mengalami kesatuan ini. (Bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM  Yogyakarta

  Editor: Jufri Alkatiri