Secuplik Kisah 11 Maret 1966  (Foto: Global Institut)

Oleh : Renville Almatsier*

Tanggal 11 Maret  1966 tercatat sebagai hari bersejarah --  lahirnya Surat Perintah Presiden,  atau  populer dengan sebutan Super Semar (Surat Perintah Sebelas Maret). Surat penting itulah yang mengubah perjalanan sejarah negeri ini. Tetapi  buat saya yang berkesan adalah keesokan harinya, tanggal 12. Hari itu  saya  merasakan pengalaman luar biasa, puncak segala aktivitas kami  selama hari-hari yang mencekam sejak meletusnya Peristiwa G30S.

Menyusul dideklarasikannya Tritura pada 10 Januari 1966, pada hari-hari berikutnya berlangsung beragam aksi demontrasi menentang Pemerintah, diprakarasi oleh KAMI (Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia).  Mogok kuliah sudah dihentikan, tetapi kegiatan demo berjalan terus termasuk dalam bulan Puasa. Pada hari dimana  tidak ada kuliah, atau sesudah pulang, kami terus bergabung dengan berbagai  aksi di berbagai tempat. Beberapa hari menjelang Idul Fitri pada tanggal 23 Januari,  gelombang demo mereda.  Tetapi begitu Lebaran berlalu, kita pun turun ke jalan lagi.

Tanggal 21 Februari Presiden Soekarno mereshuffle kabinet. Beberapa orang Menteri seperti Nasution dan Martadinata dicopot. Hal ini membuat berang mahasiswa. Rabu, 23 Februari berlangsung apel siaga di Lapangan Banteng. Usai apel, kami  bergerak ke Sekneg lewat Gereja Kathedral dan pintu kereta api Pintu Air.  Sepanjang jalan itu berderet tentara bersenjata lengkap. Ada pula panser Saladin.  Insiden pun tidak terelakkan.   Ketika di Jalan Veteran itu terjadi penembakan, kami serempak tiarap.  Sesudah itu suasana hening  -- lalu terdengar sirene ambulans. Baru belakangan kami tahu ada mahasiswa yang terluka.

Janji bertemu Presiden sudah lebih tiga jam tidak ada kabarnya, mahasiswa mulai resah  -- mereka mendobrak Gedung Sekneg. Sementara itu di Jalan Nusantara, di seberang  kali Ciliwung, anak-anak KAPPI sudah hadir bersama rakyat yang menonton. Suasana jadi makin tegang dan gemuruh oleh teriakan ejekan mereka kepada tentara pengawal.

Tanggal 24 Februari, mahasiswa disebar di seantero kota untuk menghambat acara pelantikan kabinet di Istana Merdeka.  Saya bergabung dengan barisan yang berada di Menteng Raya. Ternyata ketika akibat penembakan kemarin,  gugur mahasiswa  Arief  Rahman Hakim. Jam malam diperpanjang dari pukul 21.00 wib hingga pukul 06.00 wib. Dilarang berkumpul  lebih dari lima orang. Besoknya keluar pengumuman bahwa KAMI dibubarkan.

Tetapi segera terbentuk wadah penggantinya, Laskar Ampera Arif Rahman Hakim (ARH) dengan Markas di gedung bekas Konsulat RRC, Kramat Raya. Mahasiswa langsung mendaftar menjadi anggota Laskar yang dibagi menurut wilayah kota dan diberi nama sesuai nama Pahlawan Revolusi.  Saya masuk Yon Haryono  yang lokasi Markasnya  lebih dekat dari rumah, di Sekolah Al Irsyad, Jalan Kemakmuran.   Sejak 1 Maret,  KAPPI dan Laskar ARH, melanjutkan  perjuangan KAMI.

Situasi berkembang makin gawat.  Ada mobil tidak dikenal yang menembaki anggota Paspampres  Cakrabirawa. Selama demo, berjalan pula aksi-aksi menempel plakat di tembok, pada mobil yang lewat dan juga di gerbong kereta api. Sementara itu kuliah tetap berjalan.

Malam hari, kami berjaga di markas masing-masing. Kegiatan itu diisi dengan begadang, main gaple atau sekedar bernyanyi-nyanyi. Dalam aksi-aksinya, mahasiswa dan pemuda menyerbu konsulat RRC. Saya ikut ke daerah Glodok dan kemudian menyerbu sebuah sekolah Cina di Petojo Selatan yang kemudian dijadikan markas baru Yon Haryono.

Tanggal 11 Maret  --  Laskar menggebrak dengan demo besar-besaran.  Ada kegiatan pengempesan ban mobil lagi karena hari Jumat itu direncanakan ada Sidang Kabinet di Istana. Saya mendapat tugas  di kawasan Jalan Hayam Wuruk dan Gajah Mada. Sempat tidak tega saya,  ketika harus mengempeskan ban mobil rombongan pengantin yang sedang menuju ke Gereja. Begitu juga, ketika kami menyerbu dan merusak semua papan nama atau signboard  beraksara Cina, hati saya sebetulnya tidak setuju aksi vandalis ini. Tetapi apa boleh buat, demi revolusi orang kadang-kadang harus membuang rasa iba atau cengeng. Tanpa saya ketahui, hari itu telah terjadi peristiwa penting di Bogor.

Sejak pagi tanggal 12 Maret -- terlihat pengawalan ketat dimana-mana.  Kami berkumpul lagi di Batalyon masing-masing dan bergerak ke Salemba. Di perempatan Salemba-Diponegoro, seberang St. Carolus, suasana sudah hiruk-pikuk.  Kacau balau akibat bus dan truk yang malang melintang,  memacetkan lalu lintas.  Di simpang itu  kami naik ke atas kendaraan besar apa saja yang bisa dipanjat.  Siapa di kiri-kanan, saya tidak kenal lagi. Sambil meneriakkan yel-yel dan menyanyikan lagu-lagu perjuangan, semua seolah bersatu. Beberapa waktu kemudian konvoi mulai bergerak. Ada ratusan truk berisi ribuan  orang beriringan seperti ular, berkeliling keluar masuk jalan sampai ke pelosok Jakarta. Ternyata seluruh kota sudah macet total.

Konvoi panjang itu didahului oleh Jeep dan Truk berisi pasukan RPKAD. Berdiri berdesakan di atas truk yang riuh itu saya masih tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.  Teman-teman berseru, “Kita sudah menang, kita menang”.  Apa maksudnya itu, saya belum juga mengerti. Dari keterangan sambung menyambung sambil bersorak-sorak di atas truk barulah saya tahu apa itu SP 11 Maret.  Terjadi pelimpahan wewenang dari Presiden Soekarno kepada Letjen Soeharto. Dan sebagai pemegang mandat Letjen Soeharto langsung mengeluarkan Pengumuman No. 1 yaitu pelarangan PKI (Partai Komunis Indonesia).

Begitu juga agaknya rakyat  yang kemudian mengerti dari siaran radio. Show of force itu betul-betul luar biasa. Rakyat bergembira di sepanjang jalan. Tukang buah-buahan membagikan  dagangannya, rambutan, duku, dan lain-lain. Nasi bungkus disebarkan  cuma-cuma. Jakarta benar-benar diliputi  suasana  pesta kemenangan. Ketika itu telah lahir Orde Baru. Suatu pengalaman luar biasa, merayakan jatuhnya pemerintah yang berkuasa. Surat Perintah yang jadi sumber  utama peristiwa ini, tidak pernah jelas fisiknya karena hilang seolah tertelan bumi.

Ternyata kemudian, gerakan yang kita dukung itu bertahan selama 32 tahun. Pada 1998 giliran Soeharto yang ditumbangkan. Begitulah sekelumit momen penting dalam perjalanan sejarah negeri ini.

*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo

  Editor: Jufri Alkatiri