Nyepi di Gelombang Sarmada (Foto: parisada.or.id)

Oleh: Helmi Hidayat, M.Si*

Aku tidak tahu pasti apakah aku masih menggunakan kain kafan ketika terbangun dari tidur panjang itu. Aku hanya tahu kain kafanku dulu hancur bersama tubuhku yang lebur, tidak lama setelah keluargaku meninggalkanku di liang lahad.

Ketika pada akhirnya bumi hancur, matahari meleleh, planet-planet bertabrakan lalu lumat, aku yakin bukan hanya aku dan semua umat manusia yang mati total akibat huru-hara itu --  tetapi juga semua Jin dan Malaikat, termasuk Izrail sang pencabut nyawa.  Setelah itu, hanya Zat Maha Suci yang terus hidup. Dia yang semula sendiri kembali sendiri lagi, untuk kemudian menghidupkan lagi semua makhluk yang semula mati. Narasi di atas adalah imajinasi yang paling sering lewat dalam benakku setiapkali aku menyepi, berkontemplasi menembus gelombang sarmada.

Diksi  sarmada  dua kali disebut oleh Allah dalam buku suci Al-Quran, masing-masing dalam surat Al-Qashash (28) ayat 71 dan ayat 72.  Diksi ini menjelaskan tentang keberadaan waktu absolut, waktu abadi, yang sama sekali berbeda dengan ''waktu''. Jika kesadaran akan waktu,  mulai dari detik, menit, sampai jam, atau pagi, siang, sore sampai malam, tercipta akibat peredaran matahari, bumi dan bulan, sarmada adalah waktu absolut yang keberadaannya tidak bergantung pada kesadaran akan peredaraan benda-benda langit itu.

Sarmada inilah yang dulu pernah dilewati umat manusia sebelum mereka masuk ke alam rahim untuk kemudian menjalani hidup sangat sementara di alam dunia ini. Dari sarmada itu manusia menembus barzah rahim, lalu menembus barzah alam dunia, kemudian menembus barzah kubur sambil menunggu kiamat, untuk kemudian mati bersama di hari kiamat lalu masuk kembali ke dalam gelombang sarmada.

Kata lain untuk  sarmada  adalah  dahr.  Kata  dahr  juga disebut dua kali dalam Al-Quran, masing-masing di surat Al-Jaatsiyah (45) ayat 24 dan surat al-Insaan  (76) ayat 1.  Dalam bahasa Inggris, kata  sarmada dan  dahr  disebut  duration, sedangkan  waktu  disebut  time.

Seperti dalam ajaran Hindu, dalam Islam juga ada ajaran nyepi alias kontemplasi menembus sarmada ini. Setiap hari, minimal lima kali sekali umat Islam diwajibkan menyepi  dalam arti  menembus sarmada dalam salat-salat wajib mereka. Jadi, saat berdiri dalam salat, ruku, sujud, juga duduk di antara dua sujud, umat Islam sejatinya diminta berkonsentrasi penuh untuk keluar sejenak dari  waktu  alias time,  lalu menembus sarmada guna menyapa Tuhan mereka yang Maha Tinggi dan Suci.

Inilah yang disebut  khusyuk  dalam salat. Tentu saja ini sangat sulit. Dari 1000 kali salat, belum tentu seseorang mampu menikmati kesyahduan alam sarmada tadi, apalagi jika salat dilakukan siang hari. Tetapi manusia bukan tidak mampu melakukannya. Inilah yang pernah terjadi pada Ali Bin Abi Thalib.

Alkisah, punggung Ali suatu ketika tertembus anak panah. Saat panah ini ditarik, menantu Rasulullah Saw itu menjerit kesakitan. Ali lalu meminta para sahabat menarik anak panah itu justru saat dia salat.

Usai salat Ali gusar kepada para sahabat, mengapa mereka tidak menjalani arahannya agar mencabut anak panah dari punggungnya saat dia salat. Sebelum Ali tambah kesal, seorang sahabat buru-buru memperlihatkan anak panah yang di ujungnya ada darah yang masih menempel.  ‘’Sudah, wahai Ali. Ini anak panah yang tadi menembus punggung Anda’’ – saat salat, Ali bin Abi Thalib tidak mendengar apa-apa, tiak merasakan apa-apa, kecuali keasyikannya yang luar biasa menembus gelombang sarmada.

Selama hidup, minimal satu kali umat Islam wajib melaksanakan nyepi. Tempatnya di Gurun Arafah, Saudi Arabia, saat mereka menjalankan ibadah haji. Di bawah tenda di Arafah mereka diharuskan berkontemplasi, menembus sarmada, layaknya para resi dan begawan saat mereka melakukan tapabrata.  Gurun itu disebut  Arafah, artinya  tahu atau kenal. Seorang Muslim yang serius bertapabrata di Arafah saat berhaji akan mengenal dirinya, dan barangsiapa mengenal dirinya, dia akan mengenal Tuhannya.

Mau terus berselancar denganku menebus sarmada seperti yang kerap aku lakukan? Dengarkan, usai Kiamat yang menggegerkan itu, aku kerap membayangkan dari Tuhanku yang Maha Hidup aku dihidupkan kembali, terbangun dari tidur panjang bersama bermiliar-miliar manusia yang dulu pernah hidup bersamaku atau hidup sebelum dan setelah aku.

Banyak manusia di sekelilingku bergumam dengan nada menyesal: ‘’Siapakah yang membangkitkan aku dari tidur panjang ini?’’ Tapi kudengar juga suara-suara lain berbisik gembira:  ‘’Inilah yang dijanjikan Tuhan yang Maha Pengasih, benarlah apa yang dikabarkan para rasul Tuhan.’’

Di sini, di Padang Mahsyar yang legendaris ini, tidak ada cahaya sedikit pun. Satu-satunya cahaya datang dari Wajah Tuhanku yang Maha Teduh dan Berkilau. Waktu berlalu dalam senyap, menggigit dan menakutkan, inilah sejatinya sarmada itu! 

Di tempat aku berpijak semua terdiam, saling tatap tanpa tegur sapa. Dalam tapabrataku sering terlintas dalam benakku, aku menatap ayahku yang terdiam, ibuku yang membungkam, saudara-saudaraku yang terpaku, juga teman-temanku yang dulu akrab dan ceria kini membisu.

Aku paham, masing-masing kami sibuk dengan jejak digital kami ketika kami dibangkitkan lagi itu. Semua jejak itu diputar ulang untuk tidak bisa kami bantah sedikit pun, seperti yang dilukiskan buku suci yang aku imani: ‘’Tangan mereka berbicara, kaki mereka menjadi saksi atas apa yang mereka kerjakan.’’

Dalam  nyepi  aku kerap menangis tersedu-sedu, sampai basah sapu tangan di tanganku. Satu per satu dosa yang pernah aku lakukan muncul dalam benakku, banyak sekali, menakutkan sekali. Tentu saja di dunia ini aku hafal dosa-dosaku, dari yang terkecil terutama yang  terbesar. Aku tidak perlu menunggu Kiamat atau menanti pengakuan kaki dan tanganku untuk mengenal dosa-dosaku.

Jika aku saja yang bukan siapa-siapa -- yang tidak pernah diminta bersumpah jabatan lalu menikmati uang rakyat atas nama jabatanku -- begitu takut melihat diriku sendiri yang penuh dosa, dosa, dan dosa, dalam  nyepi dan tapabrataku, bagaimana mungkin mereka yang sudah disumpah jabatan akan serius menegakkan hukum dan keadilan masih saja terlihat tertawa-tawa bahagia dengan kekuasaan di tangan mereka.

Padahal, begitu terasa mereka mempermainkan hukum, menyandera lawan politik dengan dalih pelanggaran hukum, untuk kemudian tidak pernah tersentuh hukum meskipun bau bangkai dari mulut mereka sangat tercium dan sangat menyengat hidung. Di dunia mereka bisa melepaskan diri, tetapi di akhirat bahkan Ariel Sharon berdiri gemetar saat tangan kanannya serasa menggenggam tanah Sabra dan tangan kirinya mengepal tanah Shatila.

Selamat merayakan Nyepi dengan cara dan keyakinan masing-masing. Sekarang pun, dalam  sepi, aku terdiam. (*)

*Dosen Ilmu Komunikasi FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengamat Sosial Keagamaan

Editor : Jufri Alkatiri