Al-Mu’tafikaat (Foto: IslamiCity)
Oleh : Helmi Hidayat, M.Si*

Bukan tanpa pesan yang kuat ketika Al-Quran dua kali menyebut kata  al-mu’tafikaat; pertama dalam surat At-Taubah ayat 70, kedua dalam surat al-Haaqah ayat 9. Al-mu’tafikaat adalah bahasa Arab, artinya negeri-negeri yang dihancurkan. Al-mu’tafikaat inilah yang menjadi judul khutbah saya pada Hari Raya Iedul Fitri 1446 H/2025 M di Masjid At-Taufiq, Lenteng Agung, Jakarta Selatan, Senin (31/3/25).

Sebelum menyebut kata al-mu’tafikaat di dua surat itu, Allah berturut-turut menyebut nama kaum Nuh, bangsa Ad, bangsa Tsamud, kaum Ibrahim, dan masyarakat Madyan di surat At-Taubah ayat 70 dan hanya menyebut Fir’aun dalam surat Al-Haaqah ayat 9. Pesan kuat apakah yang hendak disampaikan Allah?

Tafsir paling mudah atas kedua ayat itu adalah bahwa Allah menginginkan agar masyarakat moderen belajar dari sejarah kejatuhan bangsa-bangsa di masa lampau. Ini penting agar mereka tidak terjebak dalam lubang yang sama.

Pesan Allah begitu terasa sebab Zat Maha Perkasa itu -- secara total dalam buku suci umat Islam, menyebut nama Firaun 74 kali, bersama Jenderal Haman (enam kali), Qarun (empat kali), dan Samiri (tiga kali). Mereka adalah elite politik Mesir kuno. Sedangkan kaum Tsamud disebut 26 kali, kaum Madyan 10 kali, dan kaum Ad tujuh kali. 

Para ahli tafsir memahami al-mu’tafikat sebagai negeri yang tidak disebut secara denotatif oleh Al-Quran, misalnya Sodom Gomorah tempat Nabi Luth berdakwah atau Yudaea tempat Nabi Zakaria dan Nabi Yahya berkiprah. Jika Sodom Gomorah dihancurkan dua Malaikat -- akibat penduduk negeri itu mempraktekkan homoseksualitas dan lesbianisme, Kerajaan Yudaea dihancurkan akibat Herodes yang Agung, penguasa kerajaan itu, berkeras mengubah konstitusi demi kepentingan pribadinya hingga membunuh dua Nabi sekaligus.

Alkisah, Kaisar Herodes suatu hari menikah dengan Alexandra, seorang janda yang punya anak perawan bernama Mariamne. Herodes tidak tahu istrinya punya anak perawan. Mariamne datang ke resepsi pernikahan ibunya di malam hari. Terpukau pada kecantikan Mariamne, Herodes bermaksud menceraikan Alexandra.

Agar pernikahannya dengan Mariamne sah dan tidak menimbulkan gejolak sosial, Herodes meminta Fatwa  Nabi Yahya. Sesuai hukum Taurat yang juga diimani oleh Herodes meski dia bukan keturunan Bani Israel, seorang lelaki boleh menikahi anak bawaan istrinya jika dia belum bersetubuh dengan istrinya.

Sial, rupanya Herodes sudah bersetubuh dengan Alexandra. Menurut hukum Langit, otomatis Mariamne menjadi anak Herodes dan karena itu keduanya dilarang menikah selamanya. Nabi Yahya konsisten menjalankan hukum Allah, melarang pernikahan keduanya -- tetapi Herodes memaksa Nabi Yahya mengubah konstitusi demi kepentingan dirinya sendiri. Karena menolak perintah Herodes, menurut sebagian ulama, Nabi Yahya dipenggal dan kepalanya diserahkan kepada Mariamne.

Menurut salah satu versi, Kaisar Herodes juga membunuh Nabi Zakaria, ayah Nabi Yahya, lantaran dia menolak memberitahu posisi Nabi Yahya yang sedang diburu. Nabi Zakaria bersembunyi di Baitul Maqdis, lalu satu pohon besar membelah diri dan memanggilnya untuk bersembunyi. Saat pohon itu merapat kembali menghimpit Nabi Zakaria, Iblis yang berada di sisi pohon itu menarik ujung baju Nabi Zakaria. Ujung baju itulah yang dijadikan bukti oleh Iblis agar tentara Herodes mau menggergaji pohon yang di dalamnya Nabi Zakaria bersembunyi.

Tiga tahun setelah pembunuhan Nabi Zakaria dan Nabi Yahya, pada 40 SM Kerajaan Herodes diserang oleh Raja Antigonos dan orang-orang Patria. Yudaea hancur berkeping-keping, Herodes kabur ke Roma mencari suaka politik. Atas bantuan Roma, Herodes tiga tahun kemudian kembali berkuasa di Yudaea, tetapi rumah tangganya hancur berantakan.

Herodes sengaja melontarkan tuduhan palsu bahwa Mariamne berzina. Mariamne  akhirnya tewas dihukum gantung, Alexandra juga dibunuh. Di sisa hidupnya, Herodes dihantui ketakutan dibunuh oleh Alexandros dan Aristobulos, dua anak kandungnya sendiri dari pernikahannya dengan Mariamne. Inilah penderitaan Herodes akibat memaksa mengubah konstitusi dan membunuh dua Nabi.

Jika sejarah Yudaea demikian kelam, bagaimana dengan Tsamud? Kaum Tsam?d tinggal di kawasan bebatuan antara Hijaz dan Tabuk, tepatnya di Gunung Athlab, Mada'in Salih, sekitar 600 km dari Madinah. Mereka adalah para pengukir dan pemahat bukit dengan kehidupan yang mewah, menguasai teknologi pertanian, peternakan dan arsitektur yang maju.

Tetapi sayang -- roda ekonomi dan politik di negeri itu dikuasai oleh Oligarki. Al-Quran, dalam surat An-Naml ayat 48, menyebut ada sembilan kapitalis kaya-raya (di Indonesia terkenal Sembilan Naga) yang menguasai negeri itu secara sewenang-wenang demi kepentingan mereka sendiri.

Nabi Saleh yang diutus Allah kemudian menawarkan apa yang oleh masyarakat moderen disebut sosialisme sebagai antithesis. Dia punya Unta betina raksasa yang keluar dari gunung batu sebagai mukjizat. Unta ini setiap hari menyediakan susu yang tidak habis-habis. Nabi Saleh mengizinkan setiap rakyat, baik kaya maupun miskin, memerah susu Unta itu sepuas mereka dengan syarat mereka tidak boleh membunuh Unta itu. Pendek kata -- kekayaan terdistribusi secara merata.

Tetapi, rupanya Unta raksasa dengan suplai susu yang menyejahterakan penduduk Tsamud ini mengganggu stablitas Oligarki. Gara-gara Unta, para konglomerat itu tidak lagi leluasa mengatur distribusi pangan dan monopoli harga akibat masyarakat sosialis yang sudah terbentuk di negeri itu. Maka, tidak ada pilihan lain bagi kesembilan Oligarki  itu kecuali membunuh Unta Nabi Saleh, agar sistem perekonomian Kapitalis kembali terbentuk. Tetapi, akibat perbuatan mereka fatal. Allah memusnahkan negeri Tsamud lewat gempa bumi, petir, dan batu-batu besar yang menimpa mereka.

Jika di Negeri Tsamud bukit-bukti batu dipahat untuk perumahan mewah, di Babilonia batu-batu dipahat untuk disembah. Semua patung sesembahan itu dihancurkan dengan kapak oleh Ibrahim, kecuali patung terbesar. Kapak itu digantungkan di patung terbesar. Saat kaumnya marah, Ibrahim menyuruh mereka bertanya kepada patung terbesar itu. Saat itu terjadi dialog penting yang diabadikan Al-Quran dalam surat Al-Anbiya 63 - 65, ketika mereka katakan patung itu tidak bisa berbicara, Ibrahim balik bertanya, jika patung-patung itu tidak bisa berbicara, mengapa kalian menyembah mereka?

Al-Quran melukiskan betapa mereka awalnya mengakui ketololan mereka, tetapi kemudian bersikap gengsi. Allah kemudian mengazab rakyat sekaligus Raja Namrud dengan menurunkan jutaan ekor nyamuk dari langit.

Pelajaran apa yang bisa diambil agar negeri kita tidak menjadi bagian dari al-mu’tafikaat? Pertama, jangan ada pemimpin suka mengubah konstitusi demi kepentingan diri sendiri. Kedua, Oligarki tidak boleh dibiarkan jika kita mau tragedi Tsamud tidak melanda negeri ini. Ketiga, jangan ulangi ketololan penduduk Babilonia era Ibrahim. Sesaat kita sadari bersama ada ketololan di antara kita, buang jauh-jauh ketololan itu agar negeri ini tumbuh sejahtera. (*)

* Dosen Ilmu Komunikasi FDIKOM UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta, Filsuf,  dan Pengamat Sosial

Editor: Jufri Alkatiri