
Renungan Malem Jemuwah : Proposal Cinta (Foto: Bola.com)
Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Al-hubbu dzauqun wa lâ tudrâ haqîqatuhu (Cinta adalah sejenis perasaan yang tidak diketahui apa esensinya). Insan yang dilanda cinta segera menyerah takluk di hadapan kuasa cinta. Meskipun demikian dia tidak mampu mendefinisikannya. Dan barangkali karena itulah cinta selalu tampak mempesona. Cinta dibiarkan hadir dengan kerumitannya, dengan ketakterdefinisiannya.
Proposal Cinta ini --terinspirasi dari Ibnu Abas yang menafsirkan kata “ibadah” dengan “makrifat” (mengenal/mengetahui Allah), Wa ma kholaktu al-Jina wa-al-Insa ilaa liya’budun. (Aku tidak menciptakan Jin dan manusia melainkan supaya mereka mengenal-Ku). ( QS. adz-dzariat ayat 56).
Proposal Cinta merupakan Kehendak Tuhan dalam konteks ini merupakan kerinduan-Nya untuk ber-tajall? (bermanifestasi/dikenal) pada alam melalui cinta yang bersumber dari Nafas Ar-Ra?m?n. Tujuan Tuhan menciptakan alam bukan hanya untuk melihat diri-Nya, tetapi juga untuk memperlihatkan diri-Nya.
Kehendak inilah yang turun dalam bentuk Nafas Ilahi (tanaffus) berupa kasih (Ra?m?n) dan peng-ada-an (ij?d) yang dalam alam misteri merupakan kasih dari Wujud Ilahi oleh dan untuk-Nya sendiri, yakni untuk nama-nama-Nya sendiri. Nafas ar- Ra?m?n menghasilkan segenap masa peng-ada-an primordial “halus” yang diistilahkan sebagai awan (‘am?). Atau dengan istilah lain, cinta merupakan asal-usul penciptaan, yang mengisyaratkan adanya gerak hasrat yang bergelora untuk dikenal. Sebagaimana Dia menciptakan makhluk untuk diri-Nya sendiri, supaya Dia dikenal oleh ciptaan-Nya.
Ma’rifah menuntut adanya cinta yang merupakan unsur dasar alam semesta dan sebab penciptaan. Dengan demikian, barang siapa yang mengenal Allah dengan pengetahuan yang luas, maka cintanya kepada Allah seluas pengetahuannya tentang diri-Nya. Dan barang siapa tidak mengenal Allah kecuali dengan pengetahuan yang sedikit -- maka cintanya kepada Allah sesuai dengan kadar pengetahuannya. Pengetahuan sebagai suatu bentuk cinta kepada Tuhan juga diungkapkan oleh Moses Maimonides seorang Filsuf, Teolog, dan ahli hukum dari Andalusia. Dia berpendapat bahwa ketika pikiran gagal menangkap hakikat Tuhan, maka pikiran dan akal budi akan mengalami getaran cinta yang membuatnya terus bergairah mencari Tuhan. Cinta adalah tahapan yang lebih tinggi daripada pengetahuan, dan melalui cinta seseorang mencapai kebijaksanaan
Minuman Cinta (Syarab al-Hubb)
Minuman cinta melampaui kata-kata, bahasa sudah tidak bisa menjamahnya. Satu-satunya pilihan, dalam mengungkapkan rasa cintanya melalui figur seorang wanita. Di luar penggambaran dalam figur wanita,sejatinya adalah menghasrati “Yang-Metafisik”: yang di luar jangkauan bahasa, “Yang Negatif”.
Maka, hal pertama dengan membuat metafora minuman cinta, yaitu pemahaman batin (ma?rifah) tentang Cinta. Kemudian, seseorang dapat memahami “minumannya” dan “cawan”, seperti dalam kata kunci dalam cinta, ketahuilah bahwa Minuman Cinta memiliki tiga tingkatan yaitu:
Pertama Cinta Alami (Natural)
Cinta Natural (al-?ubb a?-?abi’i). Cinta Natural adalah kecenderungan secara alami terhadap yang dicintai. Cinta ini tidak terikat pada unsur yang bersifat material, tidak juga terbatas pada bentuk fisik saja. Cinta ini memiliki sifat pada umumnya, seperti rindu dan kerinduan (asy-syauw wa al-isytiyaq), ekstase (al-wajd), senang melihat yang dicintai (al-?ubb ar-ru’yah), senang menyentuh yang dincintai (al-?ubb al-itti??l), dan senang bertemu dengan yang dicintai (al-?ubb al-liq?’).
Simbol cinta natural terdapat pada cinta Qays terhadap Laila. Hubungan di antara keduanya ibarat medan magnet yang saling tarik menarik, satu sama lain tidak ingin terpisahkan untuk selama-lamanya . Cinta natural juga disebut dengan cinta elemental. Akan tetapi cinta elemental (al-?ubb al-‘un?ur?), terbatas hanya pada bentuk fisik saja. Cinta ini tidak bisa terlepas dari unsur-unsur material. Apabila yang dicintai bersifat materi, seperti harta benda, sawah ladang, emas serta perak, keturunan, dan kedudukan, maka tujuan akhirnya adalah kesenangan dan kepuasan diri. Namun apabila yang dicintai adalah lawan jenis, maka tujuan akhirnya berupa persentuhan jasmani (seksualitas). Cinta seperti inilah yang kebanyakan difahami oleh orang di masa kini.
Pada hakikatnya cinta natural (al-?ubb a?-?abi’i) lebih mementingkan pada kesenangan dan kenikmatan fisik yang didasarkan atas kehendak kepuasan diri. Cinta ini memarjinalkan subtansi yang dicintai. Apabila seseorang tengah berada dalam derajat cinta ini, maka ia ingin selalu dekat dengan yang dicintai, dan juga merasa ingin berhubungan intim dengan yang dicintai.
Hasrat cinta seperti ini mengalir pada setiap diri manusia. Tujuannya hanya terfokus pada persentuhan antara raga dengan raga -- dan klimaksnya adalah penyatuan melalui perkawinan antara sang pencinta dengan subtansi yang dicintai. Karena dengan penyatuan tersebut diharapkan dapat menghadirkan kasih sayang serta ketenangan.
Socrates menggambarkan bahwa persahabatan (cinta) yang sejati selalu mengandaikan adanya “pihak ketiga”. Di luar dua orang yang saling bersahabat, yang saling mencintai, ada satu hal yang diinginkan bersama, yaitu “kebaikan”. Kebaikan itulah yang menjadi dasar persahabatan, dasar percintaan, dan dasar kasih sayang, menjelaskan bahwa cinta, hasrat selalu berbentuk segitiga, juga sekaligus menghasrati sesuatu yang di luar dirinya: keberanian, kekuatan, kejantanan, dan keperkasaan yang diidealkan. Sejenis “hasrat metafisik”.
Hasrat (hawa) ibarat bintang yang jatuh, hadir ke dalam hati manusia dari yang ghaib kepada yang kasatmata (syah?dah). Sedangkan karakter hasrat (al-hawaa) disaripatikan QS. Shaad/38: 26, jika hasrat cinta apabila tidak disandarkan kepada jalan Allah, maka cenderung bersifat ego diri dan nafsu manusiawi yang dapat menjauhkan, membutakan, dan menyesatkan dari jalan-Nya. Oleh karenanya, Allah memerintahkan untuk meninggalnya jika tidak sesuai dengan syar?’ah-Nya.
Hasrat kerinduan yang meluap-luap, bergelora, dan melampaui batas, menyalakan api cinta dan menumbuhkan ekstase (al-wajd) dalam hati sang pencinta. Seperti kerinduan Zulaikha terhadap Nabi Yusuf yang dinyatakan dalam Al-Qur’an surah Yusuf ayat 30; qad syaghafaha ?ubba -- yakni kerinduan dan kecintaan Zulaikha yang sangat mendalam terhadap Nabi Yusuf diumpamakan seperti syagh?f (selaput hati). Perumpamaan tersebut memiliki arti bahwa seseorang yang berada dalam keadaan al-`isyq, hatinya akan diselimuti oleh perasaan rindu serta cinta yang mengakar pada setiap aliran darahnya, dan pada setiap sendi dari anggota tubuhnya, sebagaimana selaput hati menyelimuti organ hati. Seperti kisah Zulaikha yang memotong urat tangannya sendiri, hingga darahnya mengalir membasahi bumi, lalu darah itu mengukir nama Yusuf di banyak tempat. (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri