
Renungan Dino Jemuwah : Proposal Cinta (Foto: Jawaban.com)
Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Kedua, Cinta Spiritual-Psikologis (al-hubb ar-ruhani)
Cinta spiritual adalah cinta yang berusaha meraih ridha yang dicintai, tanpa memiliki tujuan dan keingingan tertentu terhadap yang dicintai. Dalam tataran cinta spiritual, yang dicintai pada kakekatnya adalah realitas dari segala realitas yang ada. Ketika realiatas itu berupa manusia yang suci dari kehendak/keinginan (ir?dah), sang pencinta akan mencintai realitas tersebut dengan kemurnian. Akan tetapi apabila sang pencinta masih memiliki kehendak pada realitas yang dicintai, maka sebenarnya ia hanya mencintai dirinya sendiri.
Apabila yang dicintai abstrak/ma’d?m ketika dihadirkan ke dalam realitas hakiki, kemudian sang pencinta mencintai realitas tersebut dengan kemurnian, maka cintanya tidak lain adalah bagian dari cinta kudus. Karena sang pencinta tidak menginginkan apa-apa dari yang dia cintai -- dia hanya mencintai apa yang dicintai oleh kekasihnya, dia senantiasa dalam naungan cinta kekasihnya. Namun jika realitas tersebut ma’d?m, dan mustahil untuk menghadirkannya dalam alam nyata, maka bukan menjadi kuasa sang pencinta untuk menghadirkan realitas yang dicintainya (al-ma?b?b).
Cinta spiritual-psikologis tidaklah bisa dibatasi, jauh dari ukuran dan bentuk. Hal itu karena energi rohaniah mengalami ketertarikan yang bersifat nisbi. Kecuali dengan kehendak dan pertolongan-Nya, dia akan dianugrahi oleh-Nya penciptaan (at-takw?n) -- seperti Nabi Isa yang dianugrahi oleh Allah kemampuan menciptakan burung dari tanah melalui pancaran nama dan sifat al-Kh?liq.
Adapun cinta spiritual-spikologi, berbeda, dan terpisah dari proporsi dan bentuk (fisik) -- itu karena kemampuan spiritual memiliki kedekatan relasional (tertentu). Jadi kapan pun hubungan kedekatan antara pencinta dan yang dicintai itu berlaku baik dari melihat atau mendengar atau mengetahui maka cinta (spiritual) itu ada. Dan jika hubungan itu tidak ada atau tidak lengkap, maka tidak ada cinta.
Sekarang realitas/makna dari hubungan (kedekatan spiritual) itu adalah bahwa roh-roh yang sifat dan tugasnya adalah memberi dan menganugerahkan dengan cuma-cuma selalu mencari roh-roh yang sifat dan tugasnya adalah menerima dan mengambil. Kelompok pertama menderita karena kurangnya penerimaan (terhadap apa yang mereka upayakan untuk diberikan), dan kelompok kedua menderita karena kurangnya pemberian yang murah hati (fayz).
Jadi masing-masing dari kedua roh itu berusaha untuk memenuhi kemampuan khususnya melalui mencintai yang lain. Maka, ketika cinta semacam ini telah terjalin erat dalam diri dua insan yang saling mencintai, maka insan yang mencintai tidak akan merasa khawatir akan terpisah dari yang dicintainya, karena (cinta mereka) bukanlah cinta dunia (material) atau dunia imajiner, sehingga kedua insan itu dapat terpisah atau terpengaruh oleh kedekatan yang berlebihan, seperti yang terjadi pada cinta alamiah.
Sebab, hakikat spiritual (ma'?n?) tidak dibatasi dan dikekang (oleh bentuk, ruang, atau waktu). Hanya orang yang kekurangan anugerah dasar kemanusiaannya yang akan mencoba membayangkan hakikat spiritual tersebut, dengan mencoba memberi bentuk pada apa yang bukan bentuk. Inilah cinta para Ulama sejati (hubb al-'?rif?n), yang membedakan mereka dari orang-orang biasa, orang-orang yang “bersatu” (secara fisik).
Karena kekasih (yang berpengetahuan spiritual) itu lebih menyerupai kekasihnya dalam kebutuhannya, bukan dalam keadaan dan ukuran sesaatnya (haal/miqd?r). Maka, pencinta (spiritual) ini mengetahui nilai sejati (qadr) sang kekasih, yang terhadapnya dia dicintai. (Insyaallah bersambung besok dengan cinta ilahi)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri