Mengadili Jokowi (Foto: Monitor Indonesia)

Oleh: Helmi Hidayat, M.Si

Setiap bertadarrus Al-Quran lalu sampai pada surat An-Nisaa ayat 105 – 106, saya lebih sering berhenti sejenak. Saya mengagumi kedua ayat ini karena kedua pesan langit itu diturunkan Allah SWT justru untuk mengkritik Nabi Muhammad Saw. Rasulullah saat itu lebih pro kepada seorang lelaki Arab beragama Islam yang berbuat salah ketimbang membela seorang Yahudi korban fitnah.

Ceritanya begini: Seorang lelaki Arab bernama Thu’mah suatu hari tepergok mencuri baju perang di sebuah pasar di Madinah. Dia lalu membuang barang bukti tindak pidana itu ke halaman rumah seorang Yahudi. Masyarakat antusias mengepung rumah si Yahudi sambil berteriak-teriak, sementara Thu’mah bersembunyi mencari perlindungan di ketiak kabilahnya.

Rasulullah, yang saat itu tengah tidur siang, terbangun. Setelah mendengar laporan, Nabi kontan memberi vonis bersalah kepada si Yahudi. Tapi, begitu vonis dijatuhkan, ada yang tidak rela dengan vonis itu. Dialah Allah Swt, Hakim paling Bijak, yang dari langit tertinggi segera memerintahkan Jibril AS terbang ke Bumi membawa kedua ayat itu. Ayat 105 memerintahkan Nabi berpegang teguh pada Al-Quran yang mengajarkan keadilan  tanpa pandang bulu, ayat 106 memerintahkan Rasulullah beristighfar.

Kedua ayat ini mengajarkan umat manusia sebuah peradaban tinggi tentang proses pengadilan yang berwibawa dan adil. Allah menjadi Hakim, Nabi menjadi saksi, Jibril menjadi panitera, dan si lelaki Yahudi menjadi tersangka. Apa yang terjadi kemudian? Subhaanallah, ternyata pengadilan langit itu bukan hanya membuat si tersangka divonis bebas, tapi bahkan namanya direhabilitasi.

Setiap Anda, baik Muslim maupun non-Muslim, membaca kedua pesan langit itu, setiapkali itu pula Anda tahu bahwa Islam turun ke dunia membawa pedang keadilan yang  tanpa pandang bulu. Inilah agama yang nabinya bersabda, ’’Demi Allah, seandainya Fatimah putri Muhammad mencuri, aku sendiri yang akan memotong tangannya.” (HR Bukhari dan Muslim)

Berdasarkan kisah nyata ini bisa disimpulkan, sebenarnya proses pengadilan bukanlah hal tabu dan memalukan. Proses pengadilan justru sebuah peradaban tertinggi yang pernah diciptakan umat manusia, yang di dalamnya teriakan mereka termarginalkan bisa didengar, kuasa para pejabat bisa dijatuhkan. Karena Allah tak mungkin turun ke Bumi, maka untuk menggantikan peran Allah menjatuhkan vonis di antara sengketa umat manusia dipilihlah para hakim.

Tidak ada profesional yang lebih mulia di kolong langit ini kecuali hakim karena saat menjalankan profesinya, seorang hakim mengenakan jubah Allah. Itulah sebabnya mereka dipanggil ‘’Yang Mulia!’’ Sebagai wakil Allah di muka Bumi, para hakim karenanya mustahil disogok. Masa wakil Allah berjubah Allah mempan disogok?

Karena itu, di tengah tuntutan yang massif secara nasional agar Joko Widodo diadili, mantan Presiden ketujuh Republik Indonesia itu seharusnya gembira dan orang-orang di sekitarnya harus memberi dukungan penuh.  Menjadi tersangka sebuah proses peradilan belum tentu bersalah atau terhina seperti yang dialami lelaki Yahudi di masa Rasulullah itu. Tanpa proses peradilan yang fair dan adil, sangat mungkin dia sudah bonyok bahkan mungkin tewas dikeroyok massa, sementara Thu’mah tersenyum lebar.

Sebagai contoh, sebuah video terus beredar di tengah jutaan rakyat Indonesia yang mempertontonkan pengakuan eks Ketua KPK Agus Rahardjo bahwa Jokowi sebagai presiden pernah marah dan memintanya menghentikan kasus e-KTP yang melibatkan mantan Ketua DPR RI Setya Novanto. Di sisi lain, Jokowi membantah sambil berdalih buktinya Setya Novanto sudah dihukum berat 15 tahun penjara.

Siapa di antara mereka yang benar? Tanpa proses peradilan yang berwibawa, jujur, dan penuh sumpah ke langit, mereka yang tidak suka Jokowi akan selamanya menuduh presiden ketujuh Republik Indonesia itu melanggar sumpah jabatan. Sedangkan mereka yang masih tergila-gila pada Jokowi akan terus marah karena tokoh idola mereka tidak habis-habis difitnah.

Ini tentu tidak baik buat sejarah bangsa. Apa yang mau ditulis para sejarawan tentang presiden ketujuh negeri besar ini? Benarkah seorang presiden yang sesuai sumpah jabatan seharusnya menegakkan hukum malah mengangkangi hukum? Jika Jokowi benar tidak pernah memerintahkan Ketua KPK menghentikan kasus Setya Novanto, mengapa Agus Rahardjo tidak ditangkap karena menebar fitnah dan merusak nama baik seorang Presiden?

Memagar laut adalah tindakan pidana, bahkan pelakunya melanggar Pasal 33 Ayat 3 Undang-Undang Dasar NRI 1945, ada atau tidak ada kasus korupsi di dalamnya. Kasus ini terjadi di era Jokowi. Betapa indah jika rumor negatif tentang Jokowi terkait kasus ini diselesaikan di sebuah peradaban tinggi bernama pengadilan! 

Demikian pula tentang tuduhan kanan-kiri atas-bawah bahwa ijazah Jokowi palsu, seharusnya Jokowi buru-buru menggunakan lembaga pengadilan sebagai tempat berlindung. Bukankah lelaki Yahudi di masa Rasulullah SAW pernah menikmati lembaga perlindungan pengadilan itu dan kisahnya diabadikan Al-Quran?

Jokowi tidak boleh takut menjadi tersangka. Lelaki Yahudi di era Nabi Muhammad SAW itu pernah terselamatkan dan berbahagia gara-gara jadi tersangka. Percayalah, jika Jokowi benar punya ijazah asli, hendaknya ia cepat datang ke pengadilan, buktikan kepada masyarakat Indonesia dan penduduk dunia bahwa ijazahnya asli. Tidak sulit buat Jokowi membawa selembar kertas ke pengadilan lalu kegaduhan nasional dengan sendirinya berhenti.

Saya adalah pendukung Jokowi di dua periode kepresidennya. Dua kali Jokowi menjadi calon presiden, dua kali itu pula saya memilihnya. Semuanya saya lakukan atas pertimbangan rasionalitas belaka. Pengakuan saya ini menjadi jejak digital saya sampai di akhirat nanti jika saya berbohong. Bahkan selama sembilan tahun periode kepresidenan Jokowi, saya termasuk orang yang membuat tulisan dan catatan di medsos, di grup-grup Whatsapp, yang semuanya membangun citra positif Jokowi.

Sebagai pendukung Jokowi, tentu saya tidak mau tokoh pilihan saya jadi bulan-bulanan fitnah. Saya yakin ada jutaan orang seperti saya. Karena itu, demi nama baik semua pihak, saya merindukan Jokowi segera menjadi tersangka sebuah pengadilan yang fair dan jujur. Hanya lewat peradaban tinggi dan mulia sajalah, sebuah kebenaran mampu dilahirkan umat manusia.

Satu hal penting dicatat: karena subjek yang bakal menjadi tersangka dalam proses pengadilan ini adalah seorang mantan presiden, maka mereka yang bakal jadi hakim pun harus diseleksi super ketat. Harus dipastikan mereka tak berpolitik, berintegritas tinggi, bermoral wali, hati mereka terus bergetar ke langit sebab dengan sumpah yang mereka lafalkan, mereka merasa sedang mengenakan jubah Allah saat menentukan vonis.

Bisakah? Mengapa tidak? Saya ingin anak cucu saya di kemudian hari membaca sejarah Indonesia dengan bangga, yang lembar demi lembarnya dicatat dengan pena kebenaran, ditulis dengan tinta kejujuran. (*)

*Dosen Ilmu Komunikasi FDIKOM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Filsuf,  dan Pengamat Sosial

Editor: Jufri Alkatiri