
Renungan Malem Jemuwah : Proposal Cinta (Foto: Bola.com)
Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Ketiga, Cinta Ilahi (al-hubb al-ilahi).
Cinta Ilahi, berasal dari nama-nama-Nya Yang Indah yang bersifat Cahaya dari-Nya. Karena Cahaya mendekati hakikat-hakikat individu dari hal-hal yang mungkin (kehadiran Tuhan) dan mengusir kegelapan/bayangan (dzulmat) dari diri manusia, akibat perenungan mereka sendiri dan keadaan kontingen mereka.
Karena (Cahaya Tuhan) memunculkan di dalam diri manusia suatu kekuatan penglihatan (bashar) yang merupakan penglihatan-Nya, karena sejatinya tidak ada penglihatan tanpa Dia. Kemudian Dia memanifestasikan Diri-Nya kepada hakikat-hakikat individu itu melalui Nama Yang Indah, sehingga (hakikat-hakikat individu) ini menjadi penuh cinta kepada-Nya.
Jadi hakikat-hakikat individu dari hal yang mungkin itu menjadi tempat-manifestasi bagi-Nya (Yang Indah), sehingga hakikat-hakikat individu dari hal yang mungkin itu menjadi sepenuhnya di dalam-Nya dan tidak menyadari dirinya sendiri. Maka (esensi-individu itu) tidak menyadari bahwa dia mencintai-Nya atau bahwa dia tidak menyadari dirinya sendiri melalui keberadaannya dalam kondisi ini (kehilangan gairah dalam Kekasihnya).
Sehingga dia tidak menyadari bahwa dia -- adalah manifestasi bagi-Nya, dan dia menemukan dalam dirinya sendiri bahwa dia mencintai dirinya sendiri. Karena setiap hal secara konstitusional dikaruniai dengan cinta itu sendiri, dan (sejauh ini) tidak ada (aspek) Tuhan yang yang di luar cinta, kecuali Dia dalam esensi-individu dari hal yang mungkin. Karena itu (pada tahap ini) Tuhan hanya mencintai Tuhan, dan hamba tidak dapat digambarkan sebagai orang yang penuh kasih, karena dia tidak memiliki pengaruh (hukum) dalam masalah tersebut.
Tanda yang khas cinta ilahi adalah cinta untuk semua hal yang ada di setiap (tingkat Kehadiran Tuhan), baik yang spiritual, yang dapat dirasakan, yang bersifat antara/imajinatif, atau imajiner. Dan untuk setiap Kehadiran ada “mata” dari Nama-Nya “Cahaya”, yang melaluinya manusia menatap Nama-Nya Yang Indah. Kemudian Cahaya itu membungkus individu/mata itu dengan pakaian Wujud.
Jadi setiap pecinta tidak mencintai apa pun selain diri-Nya sendiri. Dan inilah mengapa yang Real (Yang Nyata / Maha Hadir) menggambarkan diri-Nya (dalam perkataan ilahi yang terkenal tentang “Khazanah tersembunyi”) dengan mengatakan bahwa Dia mencintai manifestasi-manifestasi-Nya. Demikianlah, meskipun dalam esensinya (yakni, tanpa Cahaya/Wujud Tuhan) tempat-tempat manifestasi itu adalah ketiadaan (?adam), sedangkan hubungan (dasar yang nyata) cinta adalah dengan Apa/Siapa yang muncul, karena Dia adalah Yang Esa yang Hadir (al-dz?hir) dalam manifestasi-manifestasi itu. Oleh karena itu, hubungan antara Yang Maha Hadir (Omni Present) dan manifestasi-manifestasi itu adalah cinta.
Dijelaskan dalam, Firman Allah, lebih dari satu tempat dalam Kitab-Nya, karena kasih sayang-Nya yang penuh rahmat kepada hamba-hamba-Nya: “Kalau bukan karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepadamu, niscaya tidak seorang pun di antara kamu bersih (dari perbuatan keji dan mungkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang Dia kehendaki..” (An-Nur ayat 21).
Demikian Allah menyambut hambanya dengan menurunkan Rahmat dan Kasih Sayang Nya yang tersembunyi. Dan tidak satu pun dari seluruh sambutan ini (yakni; baik kata-kata maupun realitas tersembunyi dari Rahmat-Nya) dapat ditetapkan dengan kuat tentang-Nya tanpa mereka menjadi kekasih-Nya. Dan hal seperti ini juga berasal dari mereka yang mencintai-Nya.
Karena kekasih (sejati) berada di bawah pengaruh/aturan (hukum) Cinta -- bukan dari yang dicinta. Karena bagi seseorang yang atribut khususnya adalah (juga) realitas esensialnya, maka esensinyalah yang mengaturnya, bukan sesuatu yang ditambahkan padanya.
Selanjutnya, dari Kemurahan-Nya-lah Dia membuat realitas (Cinta) ini mengalir secara rahasia melalui setiap individu yang mungkin ada dengan atribut keberadaan dan Dia memasangkan dengan (realitas Cinta) itu kegembiraan yang manis (ladzidz) yang tidak ada kegembiraan lain di atasnya. Kemudian Dia menyebabkan beberapa (makhluk) dunia mencintai yang lain dengan cinta yang terbatas (berakar pada) realitas Cinta yang absolut dan tidak terbatas.
Jadi ketika dikatakan bahwa “si fulan mencintai si fulan”, atau bahwa “si fulan mencintai sesuatu yang khusus”, itu hanya berarti: apa yang tampak dari Yang Nyata dalam individu ini (?ayn) mencintai apa yang tampak dari Yang Nyata dalam individu lain, apa pun (kualitas ilahi yang nyata) itu. Maka, sang pencinta sejati Tuhan (muhibb All?h) tidak mengingkari atau mengkritik mengenai pencinta manapun yang mencintai siapa pun yang dicintainya. Karena dia tidak melihat pencinta selain Tuhan, di tempat manifestasi apa pun (Cinta eksistensi ilahi itu hadir). Akan tetapi, siapa pun yang tidak memiliki Cinta Ilahi ini, berarti mengingkari/mengkritik siapa pun yang mencintai (apa pun yang belum dapat mereka pahami atau alami sendiri).
Maka semua ciptaan dicintai oleh Tuhan, selamanya dan selamanya. Dan karena cinta tidak dapat dipahami bersama dengan keberadaan (yang berdiri sendiri) dari apa yang diciptakan, karena apa yang diciptakan tidak pernah ada (tanpa Tuhan), realitas ini berarti bahwa apa yang diciptakan (hanya) merupakan tempat manifestasi bagi Yang Nyata, bukan Apa yang terwujud.
Oleh karena itu, siapa pun yang mencintai seseorang dengan Cinta Ilahi ini -- cintanya kepada orang itu haruslah seperti dalam uraian di atas. Cinta itu tidak dapat dibatasi oleh imajinasi atau oleh jenis keindahan (khusus) apa pun (tidak seperti “cinta alami” yang dibahas di atas): karena semua hal itu memang ada bagi (kekasih “alami”), Cinta (ilahi) ini tidak bergantung pada hal-hal tersebut.
Dengan demikian, perbedaan mendasar (furq?n) telah menjadi jelas antara tiga tingkatan berkenaan dengan cinta. Maka ketahuilah bahwa Khayal (Ilahi) itu adalah haqq, sedangkan takhayul (khayal) manusia ada yang benar dan ada yang salah.
Cinta Ilahi, merupakan cinta Tuhan kepada hamba-Nya dan cinta hamba kepada Tuhannya, mempunyai makna berserah, im?n dan i?s?n dalam bentuk ibadah yang tujuan akhirnya adalah menyaksikan pancaran nama dan sifat Tuhan (musyadah tajall? Il?hiyah). Gagasan tersebut disari-patikan dari firman Allah dalam Q.S. Al-M?idah [5] ayat 54. ”Hai orang-orang yang beriman, Barangsiapa di antara kamu yang murtad dari agamanya, Maka kelak Allah akan mendatangkan suatu kaum yang Allah mencintai mereka dan merekapun mencintai-Nya, yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir, yang berjihad dijalan Allah, dan yang tidak takut kepada celaan orang yang suka mencela. Itulah karunia Allah, diberikan-Nya kepada siapa yang dikehendaki-Nya, dan Allah Maha Luas (pemberian-Nya), lagi Maha mengetahui”.
Ibn Arab? memaknai ayat yang berbunyi yu?ibbuhum wa yu?ibbunahu adalah sebagai bentuk penisbahan sifat cinta terhadap Allah dan hamba-Nya. Sifat cinta yang dinisbahkan kepada Allah memiliki dua segi, yaitu; cinta Allah terhadap hamba-Nya untuk diri-Nya sendiri, dan cinta Allah terhadap hamba-Nya untuk mereka para hamba.
Cinta Allah terhadap hamba-Nya untuk mereka para hamba adalah dengan mengetahui Allah maka sang hamba akan mengetahui perbuatan-perbuatan yang dapat membawa kepada kebahagiaan dan keselamatan dari perkara-perkara yang menyesatkan .
Adapun cinta Allah terhadap hamba-Nya untuk diri-Nya sendiri disaripatikan dari hadis kasyf (penyingkapan) yang menyatakan bahwa Tuhan adalah harta tersembunyi yang tidak dikenal, karena itu Ia ingin dikenal. Maka Ia menciptakan makhluk dan memperkenalkan diri-Nya kepada mereka. Lalu mereka mengenal-Nya. Dalam memahami hadits tersebut Ibn ‘Arab? berpendapat bahwa Allah menciptakan hamba-Nya semata- mata hanya untuk diri-Nya sendiri, supaya mereka mengenal-Nya.
Atau dengan istilah lain, cinta Allah-lah yang menyebabkan penciptaan makhluk-Nya supaya dia dikenal oleh ciptaan-Nya. Hal ini selaras dengan firman Allah dalam surah Ad?-Dzâriy?t ayat 56 yang menyatakan bahwa diciptaankannya manusia semata-mata hanya untuk beribadah kepada Allah. Dalam perspektif lebih sederhana cinta ilahi menanamkan asma atau sifat-sifatNya pada diri kita. Dengan kata lain, untuk memetakan moralitas kita pada moralitas-Nya.
Dari segi bahasa ada kemiripan antara kata dasar khulq (bentuk tunggal moral) dan kata khalq (penciptaan) menunjukkan bahwa sesungguhnya potensi moral dari Tuhan telah ditanamkan dan telah menjadi bawaan manusia (fitrah / khalq). Oleh karenanya manusia memiliki banyak potensi moral atau menyebutnya ketersediaan (jibillah, akhlak).
Menggali potensi moralitas sakral yang ada pada diri manusia kemudian mewujudkan dalam kehidupan nyata. Konsep moral Allah adalah dengan menanamkan hakikat cinta kepada sesama dan menjadikannya sebagai akar dari setiap tindakan yang kita lakukan, baik itu berinteraksi dengan Allah, manusia, dan bagian lain dari seluruh alam semesta. (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri