Para Angkatan TNI dalam suatu acara  (Foto: TNI)

Oleh: Helmi Hidayat, M.Si*

Sejarah Republik Indonesia adalah sejarah para jenderal, terutama di Era Orde Dasar Bung Karno dan Orde Baru Jenderal Besar Soeharto. Mereka yang mencapai pangkat ini ditaburi bintang di bahu. Itu artinya, untuk mencapai pangkat itu, mereka harus menempuh jalan terjal, ‘’berdarah-darah’’, tidak ubahnya orang naik ke bulan lalu mencapai bintang-bintang.

Sejak muda sekali, para calon jenderal itu digojlok senior mereka di akademi militer, kadang dari pagi sampai pagi lagi. Wisuda bukan kata akhir penderitaan. Banyak perwira muda TNI-AD ditugaskan di puncak Gunung Ngga Pilimsit di jantung Papua, personel TNI-AL disuruh berenang antara Banten sampai Lampung, sedangkan perwira TNI-AU dianggap tidak sah jadi marsekal jika tak pernah loncat dari ketinggian 17.000 kaki dengan jantung berdebar.

Untuk naik pangkat, mereka harus terlatih memimpin unit terkecil dari kompi sampai Koramil, dari Kodim sampai Kodam. Di markas besar, persaingan di antara mereka tidak hanya sebatas kepemimpinan, tapi juga politik. Pendek kata, untuk bisa menjadi dan menjalani pangkat jenderal, mereka dipersiapkan untuk punya integritas tinggi mirip Maximus Decimus Meridius yang tak tunduk begitu saja pada jalan khianat yang ditempuh Commodus!

Demikian sulitnya jalan karir yang ditempuh para jenderal itu, bisa dipahami jika ada 103 jenderal angkatan darat, 73 perwira tinggi angkatan laut (laksamana), 65 perwira tinggi angkatan udara (marsekal), serta 91 perwira menengah berpangkat kolonel gelisah melihat anak muda bernama Gibran Rakabuming Raka meloncat tiba-tiba, dan begitu saja, menjadi orang nomor dua di Indonesia -- negeri besar dengan panjang setara antara London di Inggris sampai Teheran di Iran.

Usia Gibran baru 37 tahun saat dilantik – sebuah usia yang sesungguhnya tidak dikehendaki oleh seluruh bangsa secara nasional untuk seseorang mencalonkan diri sebagai calon presiden atau calon wakil presiden. Pasal 169 huruf q Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (UU Pemilu) masih mensyaratkan usia untuk calon presiden dan calon wakil presiden paling rendah 40 (empat puluh) tahun!

Bahwa ada kalimat dalam pasal itu yang menyebutkan ‘’ … atau pernah/sedang menduduki jabatan yang dipilih melalui pemilihan umum termasuk pemilihan kepala daerah,’’ inilah yang dipersoalkan jutaan orang. Kalimat tambahan itu lahir dari sebuah konspirasi tingkat tinggi dan pelanggaran etika yang terang-terangan di persidangan Mahkamah Konstitusi saat institusi bergengsi ini membidani kelahiran Putusan Nomor 90/PUU-XXI/2023 yang memuluskan jalan Gibran menuju kontestasi Pilpres 2024.

Itu bukan kata saya. Majelis Kehormatan Mahkamah Konstitusi (MKMK) sendirilah yang menegaskan bahwa Anwar Usman, saudara ipar Presiden Jokowi yang memimpin sidang perubahan Pasal Pemilu, telah melanggar etika, melanggar asas hukum acara, melanggar asas imparsialitas dan melanggar asas bebas konflik kepentingan saat membuat keputusan yang kontroversial itu.

Sekarang, di atas hukum yang cacat sejak lahir akibat dilahirkan di atas pelanggaran etika itulah bangsa ini bergerak saat membiarkan begitu saja anak muda di bawah usia 40 tahun bernama Gibran melenggang jadi calon wakil presiden pada pilpres 2024 lalu. Jika hukum sudah dianggap cacat sejak awal, wajar jika 241 Perwira Tinggi Militer negeri ini, ditambah 91 perwira menengahnya, gusar bukan main.

Bagaimana mungkin anak berusia 37 tahun, yang belum banyak pengalaman memimpin, bahkan masih doyan main mobil-mobilan di kantornya, dapat membawahi semua anggota militer di Indonesia sesuai undang-undang? Padahal, di kalangan militer, perwira berusia 37 tahun baru berpangkat kapten atau mayor!

Apakah dengan mengusulkan kepada MPR RI agar Gibran diganti para jenderal itu tidak demokratis? Justru dengan memberi usulan lewat pernyataan terbuka, bukan dengan kudeta, para perwira tinggi militer itu sangat demokratis dan sedang menjalankan demokrasi dalam pengertian harfiah. Mereka hanya sedang menggunakan hak-hak konstitusional mereka untuk  bersuara dan bermufakat di negara demokrasi ini, seperti halnya para mahasiswa yang mengusulkan pengesahan UU TNI dibatalkan, atau para buruh yang menyuarakan hak-hak mereka.

Di sinilah indahnya demokrasi. Ideologi dan sistem politik ini membolehkan orang-orang bersuara dengan pikiran, kecerdasan, akal sehat, tapi tidak menolerasi kekerasan apalagi kudeta. Pikiran dibalas pikiran, ide dilawan ide, gagasan vis a vis gagasan, mazhab dibenturkan dengan mazhab, itulah batas zenit demokrasi yang indah itu.

Jadi, jika kesepakatan kita secara nasional hanya anak bangsa berusia 40 tahun sajalah yang boleh mengikuti kontestasi pilpres dan pilwapres, ayo mari kita ikuti kesepakatan nasional itu, kecuali jika rakyat lewat para wakil mereka di DPR RI menghendaki lain, misalnya 35 tahun atau 30 tahun sekalipun.

Selagi kesepakatan ini ditaati tanpa ada kongkalikong tingkat tinggi, demokrasi mengizinkan anak jin Ifrit atau keponakan Nyri Blorong sekalipun ikut kontestasi Pilpres asalkan mereka punya KTP dan usia mereka sudah mencapai batas minimal kesepakatan nasional. Jokowi boleh saja mengatakan dia tidak cawe-cawe dalam keputusan MK yang dipimpin saudara iparnya, tapi apakah hati nurani Anda percaya?

Hidup demokrasi!

Jika Anda tidak memilih pasangan Anies-Muhaimin lalu mereka terpilih, Anda harus mengakui mereka sebagai presiden dan wakil presiden negeri ini selagi mereka tidak melanggar konstitusi dan kesepakatan nasional. Itulah indah demokrasi.

Jika Anda tidak memilih pasangan Ganjar-Mahfud lalu mereka memenangkan Pilpres, Anda harus mengakui mereka sebagai presiden dan wakil presiden negeri ini selagi mereka tidak melanggar konstitusi dan kesepakatan nasional. Itulah eloknya demokrasi.

Jika Anda tidak memilih pasangan Prabowo-Gibran lalu mereka terpilih, Anda harus mengakui Prabowo sebagai presiden sebab ia tidak melanggar konstitusi dan kesepakatan nasional, tapi Anda berhak tidak mengakui Gibran sebagai wakil presiden sebab ia melanggar kesepakatan nasional itu.

Caranya tentu dengan jalan beradab seperti yang dilalui para jenderal militer Indonsia itu, dengan mengusulkan penggantian Gibran lewat MPR RI. Percayalah, lembaga tinggi negara itu sudah punya mekanisme tersendiri untuk memakzulkan siapa pun yang terbukti melanggar konstitusi, termasuk Gibran saat ini, asalkan mereka mau.  Darah itu merah, jenderal! Kegelisahan Anda semua sudah kami dengar.

*Dosen Ilmu Komunikasi FDIK UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengamat Sosial Keagamaan

Editor : Jufri Alkatiri