Renungan Dino Jemuwah (Foto: sesawi.net)

Oleh: Anwar Rosyid  Soediro*

Dari manakah (Minuman Cinta) itu Berasal?

Jawabannya adalah bahwa minuman itu berasal dari manifestasi Diri-Nya (tajall?hi) dalam nama-Nya “Yang Maha Indah”. (Nabi) berkata: “Sesungguhnya Allah itu Maha Indah, dan Dia mencintai keindahan”. Dan ini adalah hadits yang mashur.  Maka Dia menggambarkan Diri-Nya sebagai Allah yang mencintai keindahan dan Dia mencintai dunia  -- yang merujuk semua dimensi ciptaan dan keberadaan yang dapat diketahui, bukan hanya alam material atau alam inderawi.

Karena tidak ada yang lebih indah dari pada dunia: dunia itu indah, dan keindahan dicintai oleh hakikatnya. Maka seluruh dunia mencintai Allah, dan keindahan dari apa yang telah Dia ciptakan mengalir ke dalam melalui ciptaan-Nya, dan dunia adalah manifestasi-Nya.  Oleh karena itu, cinta sebagian (bagian) dunia kepada sebagian yang lain berasal dari Cinta Allah kepada Diri-Nya.

Karena Cinta adalah atribut dari wujud yakni penemuan atau pengalaman mistis dari laku/ibadah  atau realisasi dari keberadaan dan sumber sejati dari diri sendiri,  dan tidak ada sesuatu pun dalam wujud kecuali Allah.  Adapun Keagungan dan Keindahan, bagi Allah, merupakan gambaran dari Hakikat-Nya dalam Diri-Nya dan dari apa yang telah Dia ciptakan (dalam ciptaan).

Mewujudkan nama-nama ilahi yang tidak terbatas (baik dari Esensi maupun Tindakan Tuhan yang nyata dalam seluruh ciptaan), antara Nama-Nama dan Sifat-Sifat yang tampak bagi manusia sebagai sesuatu yang indah dan menyenangkan secara hakiki atau sebaliknya sebagai sesuatu yang mengagumkan dan menakutkan.

Maka rasa kagum (hayba) yang merupakan akibat dari Keagungan (Nya) dan kasih sayang yang mendalam (uns) yang merupakan akibat dari Keindahan keduanya adalah kualitas dari apa yang diciptakan, bukan dari Sang Pencipta, dan Dia tidak dijelaskan oleh keduanya.

Karena hanya apa yang ada (mawj?d) yang dapat mengalami rasa kagum dan merasakan kasih sayang yang mendalam, padahal tidak ada yang ada kecuali Tuhan! Maka akibatnya (pada akhirnya) identik dengan Sifat (ilahi), dan Sifat tersebut tidak dapat dipisahkan dari apa pun yang dijelaskan olehnya, pada saat itu dijelaskan olehnya. Sesungguhnya Sifat tersebut identik dengan apa pun yang dijelaskan (olehnya) -- jadi jika manusia memikirkannya lebih dalam, tidak ada Pencinta dan Kekasih selain Tuhan. Maka tidak ada apa pun dalam wujud kecuali Kehadiran ilahi, yang merupakan Esensi-Nya, Sifat-sifat-Nya, dan Tindakan-tindakan-Nya.

Maka sebagian dari pengetahuan-Nya tentang Esensi-Nya) dianugerahkan kepada  Para Alim/Wali Allah, untuk mengetahui tentang/dari Tuhan apa yang tidak dapat diketahui oleh akal budi melalui (bahkan) pemikiran mereka yang beralasan. Pengetahuan ini adalah sering diungkapkan  sebagai “di luar jangkauan akal”. Allah berfirman tentang hamba-Nya Khidir: “dan Kami jadikan dia mengetahui suatu pengetahuan dari sisi Kami” (Q. 18:65). Dan Dia berfirman: [Dia menciptakan manusia (ins?n).] Dia jadikan dia mengetahui Komunikasi (al-bay?n) (Q. 5:44).

Jadi Dia merujuk penyebab-Nya (manusia) untuk dapat mengetahui (ilham-Nya kepada hati), bukan melalui (pikiran) (mereka). Maka Dia jadikan kita mengetahui bahwa ada maqam lain di atas pikiran yang memberi hamba pengetahuan tentang berbagai hal. Di antara hal-hal ini adalah apa yang dapat (juga) dirasakan melalui pikiran.

Dan di antara hal-hal itu adalah hal-hal yang dinyatakan pikiran sebagai hal yang dapat dipahami, meskipun pikiran tidak dapat memperolehnya melalui pikiran. Dan juga hal-hal lain yang dinyatakan pikiran sebagai hal yang dapat dipahami, meskipun pikiran tidak dapat mendefinisikan atau menentukannya.

Di antara semuanya itu ada yang mustahil menurut akal, sehingga akal menerimanya dari akal (kita) sebagai sesuatu yang mustahil ada, sehingga tidak dapat dimasukkan ke dalam apa yang terbukti mungkin. Padahal akal ini mengetahuinya dari Tuhan sebagai sesuatu yang benar-benar ada dan sama sekali bukan sesuatu yang mustahil, meskipun (orang itu) tidak henti-hentinya menyebutnya mustahil  dan menganggapnya mustahil menurut akal!

Nabi bersabda bahwa di antara (jenis) ilmu yang bersifat ghaib, yang hanya diketahui oleh para kekasih Allah . Maka ketika mereka (waliyu-Allah) mengungkapkan pengalaman spiritualnya, tidak ada yang mengingkarinya kecuali orang-orang yang lalai kepada Allah. Di samping itu, ada ilmu yang berada di bawahnya (yakni, tidak mampu) diutarakan dengan lisan. Maka ”ada hal yang membuatmu curiga” akan ilmu yang dimiliki (waliyu-Allah) itu, yang berada di luar apa yang dapat diutarakan dengan lisan? Karena tidak semua jenis pengetahuan dapat diartikulasikan atau dirumuskan secara verbal seperti segala sesuatu yang diketahui melalui “pengecapan” pengalaman.

Jadi tidak ada yang lebih mengetahui dari pada intelek, dan tidak ada yang lebih bodoh daripada intelek -- karena intelek selalu merupakan sesuatu yang ”diperoleh” (namun tidak menyadari bahwa dia sendiri bukanlah sumber dari semua yang diketahuinya);  jadi orang yang mengetahui adalah orang yang tidak mengetahui apa yang (sebenarnya) diketahuinya, dan orang yang bodoh adalah orang yang ketidaktahuannya tidak ada habisnya. (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM  Yogyakarta

 Editor: Jufri Alkatiri