Upaya Mengubah Sikap Mental Manusia (Foto: Renville Almatsier)

Oleh: Renville Almatsier*

Bukan apa-apa, ini “cuma” soal sampah. Sampah selalu dianggap barang remeh yang harus dicampakkan. Tetapi nyatanya sampah terus  pelik jadi urusan yang  tidak terpecahkan. Sudah umum diketahui bahwa sampah -- terutama plastik bekas pakai yang tiap hari kita buang itu merupakan musuh lingkungan nomor satu. Agar mudah difahami oleh semua golongan masyarakat, sudah banyak  diberikan contoh yang terkait dengan kehidupan langsung kita sehari-hari.

Dampak yang paling dekat dan jelas terlihat di sekitar kita adalah banyaknya selokan yang mampet akibat aliran tersangkut sampah plastik. Di musim hujan seperti sekarang, got bisa melimpah menguar bau busuk dan mengakibatkan banjir.  Tetapi dampak yang bisa langsung dirasakan setiap orang ini pun, tetap  membuat mereka bergeming. Tetap saja kita lihat sampah  berceceran di mana-mana.

Tidak saja di kota yang rata-rata orangnya terpelajar,  di desa yang lebih sederhana pun, orang tidak pernah sadar. Trend yang paling anyar adalah menggantung kresek plastik berisi sampah sepanjang jalan. Bisa digantung di ranting pohon, bisa juga disangkutkan pada tiang listrik atau tiang rambu-rambu lalin. Akibatnya jalan jadi berhias sampah.  Lebih dari itu, ini sebenarnya perbuatan licik. Lempar batu sembunyi tangan.

Terus terang saya masih kesulitan mengajak lingkungan saya untuk sadar lingkungan. Gemes rasanya. Hampir setiap kali jalan-jalan sambil belanja, kita pulang menenteng barang belanjaan berbungkus  plastik dalam berbagai bentuk. Bisa dalam kresek jajan-pasar, aneka cemilan, bungkus eskrim, croissant atau Sate Padang. Sampah bisa juga harum, misalnya bungkusan belanjaan dari mall-mall berlantai licin mengkilat.

Limbah plastik yang dibuang sembarangan sangat berbahaya karena tidak dapat terurai secara alami oleh alam. Tidak terurai akan menimbulkan polusi dan justru merusak alam, seperti mencemari tanah, air dan udara. Dibutuhkan waktu lamaa sekali bagi plastik untuk bisa hancur. Plastik yang terbawa arus sungai ke laut akan menjadi penghancur satwa yang memakannya. Kerusakan ekosistem laut akibat sampah plastik yang tersebar di laut dapat merusak ekosistem biota laut.

Kalau diberi contoh bahwa plastik bisa merusak biota laut yang berbahaya buat kehidupan manusia. Wah, makin nggak mudeng,  mana (mau) mengerti mereka ?  Beberapa kali ditayangkan video bagaimana warga Jepang mengumpulkan sampah di Stadion GBK, tetap saja warga tidak tergugah. Tidak faham, tidak mau faham, atau memang ndableg ? Wallahu alam.

Di setiap rumah tangga terdapat beragam sampah tetapi nyaris tidak dilakukan pemilahan sampah organik dan anorganik dan pengurangan penggunaan bahan yang tidak dapat didaur ulang.  Di rumah, saya sudah lama mengajak keluarga untuk mengatur pembuangan sampah.

Guna bisa menerapkan pola reduce, reuse,  dan recycle, secara sederhana saya sediakan kardus bekas untuk menampung sampah plastik mulai dari keresek, botol air mineral, styrofoam, kotak, botol obat dan lain-lain. Kalau sudah penuh, kardus itu  saya angkut dan sumbangkan bukan ke pemulung, tetapi ke pabrik bahan bangunan. Di situ sampah-sampah tadi didaur-ulang menjadi batu bata. Itu yang saya lakukan.  Kalau bingung mengelola sampah plastik, cara saya ikut menunjang ekonomi sirkular ini, boleh dicoba.

Sebenarnya, yang diperlukan untuk mengatasi pencemaran selain penegakan hukum adalah perubahan perilaku. Kuncinya memang belum dipegang, yaitu mengubah sikap manusianya. Wow, it’s still a long way to Tipperary. (*)

*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo

Editor: Jufri Alkatiri