Tersebutlah sebuah alkisah mengenai reliogitas, dimana seseorang bercerita, bahwa dirinya  muslim keturunan dari keluarga besar penganut Islam. Sejak lahir sudah dipastikan beragama Islam. Menjadi muslim di negara multi religi seperti Indonesia ini – saling mengenal hari raya banyak agama, seperti yang diakui Undang-Undang Dasar 1945 ada enam keyakinan yang pemeluknya ada di sini maka minimal ada enam tanggal merah dalam satu tahun khusus untuk hari raya enam  agama. Kabar baiknya ada yang hari rayanya lebih dari  satu jadi menambah hari libur. Selama 18 tahun menyambut hari libur itu dengan suka cita. Toleransi umat beragama di negeri ini amat berjalan. Penulis yang muslim,  liburan saat umat Kristiani merayakan Natal, begitu juga sebaliknya. Semoga kerukunan bertoleransi ini tidak pernah goyah. Akhir tahun dikenal holiday season, dimana hari Ibu dan Natal berlanjut tahun baru -- jadi momentum liburan bagi banyak keluarga. Bagaimana tidak, diwaktu ini juga kalau  libur semesteran serentak mulai dari  jenjang pendidikan anak usia dini (PAUD) hingga perguruan tinggi. Cuti bersama jadi agenda yang ditunggu banyak keluarga untuk berlibur bersama orang-orang tercinta dengan versi masing-masing. Dalam keluarga kecil, misalnya sibuk mengajukan usulan liburan, namun tahun ini terasa berbeda, dari subyektifitas euforia suka cita, meredup seiring viralnya Agresi Israel yang sudah masuk hari ke-75.

Media-media besar dunia estafet mengabarkan perang ini dari berbagai sudut kepentingan. Media-media nasional seolah tidak lelah menjadikan isu ini jadi headline news setiap waktu. Tidak ketinggalan media sosial yang dalam 24 jam menyuguhkan content agresi ini detail sesuai keberpihakan pemilik akun. Awalnya, disinyalir hanya bahan baku media untuk bisa terus eksis. Namun ternyata mahasiswa dan pelajar di kafe, kaum pekerja di warung tenda hingga driver ojek online  Warung Tegal memilih topik ini sebagai teman menghabiskan santapan yang mereka dipesan. Jangan kaget saat di mini market anak-anak balita dengan fasih melantunkan lagu-lagu heroik para pejuang Palestina sambil menemani ibunya yang sibuk memilih item belanjaan bebas boycot atas arahan MUI.

Mayoritas warga dunia sepakat ini bukan perang, tapi genosida atau pembantaian untuk guna  melenyapkan etnis Palestina untuk mengukuhkan kekuasaan Israel atas tanah mereka yang sudah 75 tahun dalam penjajahan. Ironisnya Israel  didukung negara adi kuasa Amerika Serikat, Inggris, dan sekutunya bermodalkan semua persenjataan tercanggih yang pernah ada dalam peradaban manusia dari semua sisi penyerangan udara, laut,  dan darat. Sementara Palestina hanya digawangi pasukan pejuang lokal kota Gaza yang dikenal Brigade Izzudin -- mereka adalah sayap militer dari partai politik Hamas yang memenangkan pemilu di Palestina. Pasukan ini hanya bermodalkan peluru rakitan sendiri karena hampir dua dekade kotanya diblokade Israel hingga hanya memiliki pertahanan darat saja.  Penulis tidak akan lanjut membahas ini tetapi sedikit yang penulis ulas di atas sudah cukup menyadarkan masyarakat dunia kalau ada yang tidak beres dengan perang ini. Israel dan sekutunya tidak kunjung tuntas menyudahi Hamas hingga hari ke 75, malah semakin menambah korban sipil yang nyaris menyentuh angka 30 ribu korban jiwa (12 ribu anak-anak, dan seribu wanita) dari serangan membabi buta Israel. Sementara Hamas target utamanya semakin kokoh dalam perlawanan.

Masifnya pergerakan berita media massa dan content media sosial melahirkan hal-hal baru. Definisi teroris yang kental jadi label Hamas berbalik ke Israel yang dicap the real terorism. Para pejuang yang wajahnya tersembunyi dibalik sorbannya jadi idola baru kaum hawa usia dini hingga ibu-ibu hampir bercucu. Sosok-sosok warga Palestina yang tertangkap kamera jadi ikon ketabahan yang sangat religius. Istilah semua bisa dibuat di Cina namun hanya di Gaza keberanian dihasilkan, jadi caption paling viral 2.5 bulan terakhir. Realitas ini menggeser nilai-nilai dan kebiasan banyak -- orang, termasuk penulis dan keluarga. Tidak ada kehikmatan momentum hari Ibu saat ribuan ibu di Gaza kehilangan buah hatinya bahkan wafat bersama dalam serangan brutal saat mereka sedang tertidur. Tidak ada ibu yang tidak terluka menyaksikannya, justru semakin kuat menanamkan makna bersyukur. Teman-teman Kristiani, tidak ada yang hingar bingar merayakan Natal, mereka merenung dalam prihatin negeri kelahiran Yesus dalam suasana genosida disana gereja-gereja dan jamaahnya dibom. Hingga menunggu detik-detik pergantian tahun tidak terlihat spanduk-spanduk besar perayaan di pusat perbelanjaan seperti biasanya.

Penulis tutup tulisan ini dengan mengajak semua untuk terus mendoakan agar genosida di tanah para nabi itu segera berakhir. Umat manusia bisa mengambil hikmah terbaiknya, kuatkan rasa syukur dihati atas banyak kenyamanan hidup yang didapat. Salah satunya hidup di Indonesia dalam keberagaman yang damai, tanpa konflik dan saling bertoleransi satu dengan lain. Doakan para pemimpin Indonesia  agar dapat terus menjaga kedamaian ini. Jangan lupa, damainya negara, sangat dibenci oleh para penjajah.

Alif Pratama Putra/Mahasiswa FIKOM Universitas Pancasila Jakarta

Editor: Jufri Alkatiri