
Renungan Malem Jemuwah: Hikmah dari Timur Wisdom dari Barat (melihatindonesia.id)
Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Wisdom dari Barat
Catatan Robinson menjelaskan bahwa studi tentang Wisdom itu memiliki sejarah panjang yang mendahului studi psikologis. Hal ini dapat dilihat dari dialog Platonik yang menjadi analisis Barat terhadap konsep wisdom. Dalam dialog tersebut, ada tiga arti yang herbeda dari Wisdom: wisdom sebagai (a) sophia, yang ditemukan dalarn orang-orang yang mencari kehidupan kontemplatif dalamn meneliti kebenaran; (b) phronesis, yang merupakan jenis wisdom praktis yang tampak pada negarawan dan legislator, dan (c) episteme, yang ditemukan pada orang-orang yang memahami sesuatu dari sudut pandang ilmiah. (Sternberg, 2005, p. 6).
Aristoteles membedakan antara phronesis, atau jenis Wisdom praktis dengan theorelies atau pengetahuan teoritis yang tertumpu pada kebenaran. Robinson mencatat bahwa, menurut Aristoteles, individu yang arif mengetahui lebih banyak daripada sebab materi, sebab efisien, atau sebab formal yang berada di balik beberapa peristiwa. lndividu ini juga mengetahui sebab akhir.
Konsep fllosofis lain dari wisdom ditindaklanjuti oleh beberapa filosof Yunani terdahulu. Sebagai contoh, sebuah pandangan penganut Kristen yang terdahulu menekankan pentingnya kehidupan yang dijalani dalam mecari kebenaran ilahi dan kebenaran mutlak.
Sampai hari ini, sehagian besar agama tertuju pada wisdom melalui pemahaman bukan hanya dari dunia materi, tetapi juga dunia spiritual dan hubungannya dengan dunia mareri. (Sternberg, 1998, Robinson, dalam Hager & Halliday, 2009)
Kajian Wisdom menjadi kajian psikologi berkembang sejak tiga dasawarsa terakhir ini. Para psikolog mengkajinya melalui teori implisit dan teori eksplisit. Rumusannya Wisdom adalah keahlian dalam lingkup kehidupan fundamental yang pragmatis, seperti perencana kehidupan atau pertimbangan kehidupan. Hal ini memerlukan pengetahuan faktual yang kaya masalah kehidupan, pengetahuan prosedural yang kaya dengan problem kehidupan, pengetahuan tentang konteks-konteks, nilai-nilal atau prioritas kehidupan yang berbeda, dan pengetahuan tentang kehidupan yang tidak dapat diprediksi.
Lebih jauh kajian wisdom juga dibahas dalam lintasan budaya. Temuan di lapangan membuktikan babwa setiap budaya memiliki persepsi yang berbeda tentang siapakah itu wise man or wise woman? Oleh karena itu ada yang dikenal dengan kearifan lokal (local wisdom).
Kajian Wisdom dalam lifespan (rentang hidup) juga ikut andil dalam pembahasan. Temyata usia bukan merupukan faktor utama hingga seseorang disebut sebagai orang yang arif atau orang yang bijaksana. Sedangkan definisi Wisdom dari Sternberg diambil dari The Balance Theory of Wisdom, yaitu aplikasi dari kecerdasan, kreativitas, dan pengetahuan yang dimediasi oleh nilai-nilai menuju pencapaian kebaikan bersama melalui keseimbangan antara kepentingan intrapersonal, kepentingan interpersonal, dan kepentingan ekstrapersonal, baik itu jangka pendek maupun jangka panjang, dalam rangka untuk mencapai keseimbangan dalam beradaptasi terhadap lingkungan yang ada, membentuk lingkungan yang ada, dan memilih lingkungan yang baru.
Kebaikan Bukan dari Barat maupun dari Timur (Laa Syarkiyah walaa Gharbiyah)
Yang disebut kebaikan bukan harus berkiblat ke timur maupun ke barat (al-Baqarah ayat 177), akan tetapi menurut Hikmah dari Timur; seseorang disebut bertindak arif atau bijaksana ketika dia menempatkan sesuatu pada tempatnya, atau dengan kata lain dia telah memberikan sesuatu itu kepada yang berhak menerimanya.
Supaya seseorang menempatkan sesuatu atau urusan pada tempatnya diperlukan ilmu atau pengalaman, baik yang berkaitan dengan “sesuatu yang akan ditempatkan" maupun yang berkaitan dengan ''tempat sesuatu itu" atau "pihak yang berhak menerimanya" hingga dia tidak bertindak salah dalam menempatkannya. Jika hal ini dilakukan sesuai dengan ketentuannya maka tidak ada sesuatu/pihak yang dirugikan atau didzalimi.
Menurut Wisdom dari barat mengatakan seseorang disebut bertindak arif atau bijaksana jika dia telah menerapkan kecerdasannya, kreativitasnya, dan pengetahuannya sesuai dengan norma-norma atau tidak bertentangan dengan nilai-nilai universal. Dia melakukan hal tersebut untuk rnencapai kebaikan bersama, baik itu untuk kepentingan pribadinya, kepentingan antara oraug sekitamya atau kepentingan orang yang berurusan dengannya, dan kepentingan negara atau lingkungan di mana dia berada.
Efek yang ditimbulkan, baik itu berjangka pendek maupun berjangka panjang. Semua ini dilakukan dalam rangka untuk mencapai keseimbangan saat dia melakukan adaptasi di mana dia berada, atau dia melakukan sesuatu yang baru saat berada dalam lingkungan yang telah ada, atau mernilih sesuatu yang baru atau lingkungan yang baru.
Definisi hikmah dari timur dan definisi Wisdom dari barat tidak menunjukkan dua hal yang bertentangan. Hal ini dikarenakan dalam definisi Hikmah secara tersirat juga memerlukan suatu ilmu yang diterapkan sesuai dengan tuntutannya. Sebagairnana definisi hikmah yang dimaknakan sebagai ilmu terhadap hakikat segala sesuatu sebagaimana adanya dan mengamalkannya sesuai dengan tuntutannya. Dengan demikian orang yang arif atau al-hakim adalah orang yang mengamalkan ilmunya sesuai dengan tuntutannya.
Begitu halnya dengan Wisdom yang juga memerlukan suatu pengetahuan atau pengalaman yang harus diaplikasikan untuk meraih kebaikan bersama. Adapun perbedaannya terletak pada makna hikmah itu sendiri yang lebih luas. Maksudnya, jika tindakan menempatkan sesuatu pada posisinya dan sesuai aturannya itu bisa dinisbatkan pada Tuhan yang memiliki nama Al-Hakim (Mababijaksana) dan juga bisa dinisbahkan pada makhluk-Nya yang berperilaku sesuai dengan nama al-hakim.
Definisi Wisdom hanya terbatas pada makhluk-Nya saja disebabkan adanya faktor-faktor yang tidak bisa dinisbahkan pada Tuhan seperti mencapai kebaikan bersama. Ini bisa dilihat pada makna hikmah yang berarti memahami rahasia-rahasia ibadah.
Dapat di-garis-bawahi; Wisdom lebih bergantung pada hal-hal yang terlihaat secara labiriah maka definisi ini menjadi lebih sempit dibandingkan definisi Hikmah yang tidak mengharuskan efeknya terlihat secara lahiriah bagi kedua belah pihak (subject dan object).
Seseorang yang bertindak menempatkan sesuatu pada tempatnya atau memberikan sesuatu kepada yang herhak menerimanya, bisa jadi efek kebaikannya hanya terlihat pada pihak yang kedua (object), sementara dalam pandangan lahiriah pihak yang pertama (subject) tidak mendapatkan sesuatu apapun. Namun, jika tidak dibatasi dengan hal-hal yang bernifat lahiriah maka pihak pertama secara batin mendapatkan kebaikan bersama dalam arti kepentingan intrapersonal.
Keterbatasan atau penyempitan makna Wisdom disebabkan oleh penelitian yang bersifat empiris. Meskipun demikian tidak bertentangan dengan makna hikmah sebagai tindakan manusia. The Balance Theory of Wisdom yang diajukan Stenberg bersifat verifikasi -- karena mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah tentang Wisdom yang menunjang dan membuktikan kebenaran definisi al-hikmah.
Jika Memadukan sifat-sifat dari orang arif (al-hakim) dan komponen-komponen Wisdom akan menghasilkan perlikau arif-bijaksana yang ideal, sehingga definisi orang arif yang ideal adalah; "orang yang menempatkan sesuatu pada ternpatnya, yang tidak memposisikan sesuatu melewati batas kedudukannya, memberikan hak kepada yang berhak menerimanya, tidak menetapkan sesuatu karena tujuan pribadinya dan hawa nafsunya, tidak terpengaruh oleh hal-hal yang menyimpang, menatap tempat yang ditempatinya (dunia) berlaku hanya sementara saja, memandang apa yang disyariatkan oleh Allah Swt -- untuk bertindak di bumi tanpa ada penambahan dan pengurangan.
Bertindak sesuai dengan aturan yang telah dijelaskan baginya, tidak menetapkan (memalsukan) timbangan yang telah ditetapkan pada suatu tempat dengan kekuasaannya, dan melakukan apa yang layak sebagaimana yang layak terhadap apa yang selayaknya karena dia memiliki kemampuan penalaran, memiliki sagacity (kemampuan leadership yang bijaksana), memiliki kemampuan belajar dari ide-ide dan lingkungan, memiliki kemarnpuan judgment (penilaian, mengambil keputusan), memiliki kemampuan penggunaan informasi secara tepat, dan memiliki ketajaman pikiran." (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri