Penerangan imajinasi kreativitas (Sumber: Google.com)

Allah SWT menciptakan manusia lengkap dengan imaginasi atau khayalannya, laqod kholaqnal insani fii ahsani taqwim  dalam penciptaan manusia ini imaginasi manusia termasuk dalam bentuk ciptaan yang terbaik, oleh karenanya khazanah pemikiran tentang imajinasi (Khay?l) sejatinya sudah dimulai sejak filsafat Yunani maupun Filsafat Islam dan menjadi pembahasan penting terkait pembahasan epistemologi.

Beberapa definisi; Imajinasi sebagai daya yang menyusun, memisahkan serta mengaitkan antara satu gambar/makna dengan gambaran/makna yang lain. Daya inilah yang membantu akal praktis dalam melakukan tugasnya dan memberi daya Khay?l bagi akal untuk menyusun, memisahkan dan mengaitkan sebuah premis sehingga didapatkan sebuah konklusi rasional. Tanpa daya ini, akal tidak bisa bermanuver dan berkreasi pada penggalian objek-objek dan makna baru.

Definisi lain; Imajinasi (Khay?l) tidak hanya dipandang sebagai sebuah daya kreatif dalam diri manusia, lebih jauh lagi, akan membawa kita melihat bahwa imajinasi juga berkenaan dengan masalah ontologi Wujud dan juga kosmologinya. Sebagimana dalam riwayat yang di nisbatkan pada Ali  bin Abi Thalib kehidupan ini adalah mimpi besar (kehidupan imajinasi), jika kita tidak bangun (sadar) maka kita senantiasa berada dalam kehidupan maya (imajinasi). Al-naasu niyaam, idzaa maatuu intabahuu..

“…realitas yang kita sepakati sebagai realitas tak lebih sekedar mitos dari hasil konstruksi sosial-budaya masyarakat komunal. Kita berhalusinasi setiap saat, dan ketika halusinasi tersebut disepakati, dengan segeranya kita menyebutnya sebagai ‘realitas‘…” (Abdul Wahid & Hendrawangsyah, 2021).

Dengan kata lain realitas adalah imaginasi (dunia khayal) yang kita sepakati. Pembuktian dimulai dari contoh yang sederhana, imaginasi warna; merah, hitam, putih, hijau dll. Kesemuanya adalah hasil kesepakatan hasil ineraksi lensa mata dengan wujut benda, lebih naik lagi tentang  imaginasi rasa; asin, manis, pahit dst. Juga merupakan kesepakatan hasil interaksi saraf lidah dengan makanan, lebih dalam lagi imaginasi tentang persaan; sedih, senang, saying, benci semuanya merupakan hasil kesepakatan perasaan dunia batin kita (pikiran, kesadaran diri, kesadaran, dan pemikiran logis).

Merujuk kepada bagaimana kita merasakan suatu fenomena yang memang ada, dan dalam kasus ini pergerakan partikel atomik. Istilah ‘dingin’ dan ‘panas’ adalah imajinasi tentang interaksi antara sistem saraf manusia dengan variasi kecepatan dalam partikel atomik di lingkungan. Jadi apa yang sesungguhnya ada adalah suhu. Istilah ‘panas’ dan ‘dingin’ hanyalah istilah subjektif yang kita gunakan untuk menjelaskan pengalaman kita mengenai suhu. Jadi tidak membuktikan bahwa ‘dingin’ itu tidak ada, atau bahwa ‘dingin’ itu ada tanpa status ontologis, apa yang umum dilakukan adalah menunjukkan bahwa ‘dingin’ adalah istilah imajinasi subjektif.

Fenomena Gelap adalah keadaan di mana tidak ada cahaya. Cahaya bisa kita pelajari, tetapi gelap tidak. Kita bisa menggunakan prisma Newton untuk memecahkan cahaya menjadi beberapa warna dan mempelajari berbagai panjang gelombang setiap warna. Tapi Anda tidak bisa mengukur gelap. Seberapa gelap suatu ruangan diukur dengan berapa intensitas cahaya di ruangan tersebut. Kata gelap dipakai manusia untuk mendeskripsikan ketiadaan cahaya. ”Gelap dan terang” adalah istilah subyektif yang kita gunakan untuk mendeskripsikan bagaimana manusia mengukur foton atau partikel dasar cahaya secara visual. Foton itu memang ada, sementara ‘gelap’ dan ‘terang’ hanyalah penilaian subyektif kita, yang sekali lagi terkait dengan interaksi antara sistem saraf manusia dengan fenomena alam yang lain, yaitu foton.(*)

Insyaa Allah bersambung…

Anwar Rosyid Soediro/ Pemerhati Keagamaan dan Filsafat

Editor: Jufri Alkatiri