Imaginasi Krfeatuf (Visual: Google.com)
Secara antologis, realitas-realitas yang nampak di sekitar kita bersumber dari “Realitas yang tidak nampak”. Oleh karenanya, kita tidak akan pernah bisa melihatnya secara langsung, karena Ia tidak berbentuk dan tidak berkaki, namun kita bisa merasakan kehadirannya melalui pemaknaan.
Dalam keseharian peran imajinasi menjadi sangat terasa ketika kita memilih merek dari produk tertentu, menggunakan aksesoris ala artis dan model tertentu, bergaya meniru aktor tertentu dan pengaruh dari iklan tertentu. Bukankah sebenarnya yang kita pilih baik itu produk, model, perilaku dll. adalah “citra diri” alias imaji yang mengonstruksi imajinasi identitas kita?
Budaya pencitraan yang akhir-akhir ini menjadi trend dan menjadi solusi politik praktis bagi sejumlah politisi kita, tidak ubahnya juga sebuah upaya menanamkan imaji dan imajinasi masyarakat akan sosok atau figur yang seolah-olah layak dipilih dibanding dengan sosok yang lain dikarenakan imaji yang berusaha dibangun dan dikonstruksikan ke dalam imajinasi kita melalui pencitraan tersebut.
Apalagi di era moderen ini -- dimana imajinasi sebagai “citra diri” seseorang betul-betul dimainkan, dimanfaatkan, dan diwadahi oleh raksasa internet melalui media visual, audio visual dan juga media sosial yang dia ciptakan seperti Google, Youtube, Facebook, Twitter, Line, Whatapp, TikTok, IG, dan lain-lain yang semakin mengukuhkan imaji diri seseorang untuk eksis, merayakan narsisme bahkan pembenaran. Saat kita memposting status di media sosial – misalnya disadari maupun tidak sebenarnya apa yang kita posting adalah imajinasi kita tentang sesuatu. Dan anehnya, di dunia maya tersebut kita merasa kedirian kita eksis sebagai manusia ketimbang di dunia nyata. Eksistensi dunia nyata kita kini sudah mulai bergeser dan bermigrasi ke dunia maya, yakni dunia imajinasi.
Dari beberapa contoh kasus di atas memperlihatkan bahwa imajinasi sangat berperan membentuk pengetahuan, perilaku bahkan eksistensi seseorang. Bahkan pengetahuan imajinatif kini menjadi pengetahuan intuitif (pengetahuan segera) yang tidak perlu dipertanyakan lagi kebenarannya sehingga sebagian orang menganggapnya sebagai pengetahuan final yang tidak bisa digugat lagi keabsahannya.
Seseorang yang sudah terjerat dengan kebenaran imajinatif spekulatif tersebut cenderung defensif dengan keyakinannya sehingga seseorang yang berseberangan dengan cara berpikirnya dianggap salah dan sesat.
Dalam salah satu quote-nya, Einstain mengatakan
''Imagination is more important than knowledge, for knowledge is limited to all we know and understand. While imagination embraces the entire world. And all there ever will be to know and understand.'' (Imajinasi lebih penting daripada pengetahuan, karena pengetahuan terbatas pada apa yang kita ketahui dan kita mengerti. Sementara imajinasi dapat mencakup seluruh dunia. Dan dari situlah akan diketahui dan dimengerti.)
Melalui imajinasi seorang Einstain menjadi tersohor dan melampaui para fisikawan sezamannya bahkan fisikawan zaman sekarang. Terbukti penemuan teori relativitas yang dirumuskan E=mc2 menjadi acuan dasar bagi para fisikawan sebagai sebuah cara menghitung persamaan antara energi dan massa dan kemudian dikembangkan untuk menghitung besarnya energi yang dihasilkan dalam reaksi nuklir yang berlaku sampai sekarang dan menjadi acuan.
Melalui imajinasinya pula, Einstein menemukan sebuah kesimpulan terbesar sepanjang sejarah manusia tentang gelombang gravitasi dalam teori relativitas umum yang mana fisikawan pada zaman itu sama sekali belum terbayang dan terpikirkan. Nalar logis fisikawan belum mampu menjangkau kesimpulan-kesimpulan yang dihasilkan oleh imajinasi rumus-rumus fisika yang diracik oleh Einstein yang secara aposteriori sulit dibuktikan kebenarannya.
Anwar Rosyid Soediro/Pemerhati Keagamaan dan Filsafat
Editor: Jufri Alkatiri