Kitab Kunimg (Foto: Alif.id)

Paling tidak, ada empat komponen yang harus diketahui ketika kita berbicara soal pondok pesantren; yaitu, Pondok Pesantren, Kyai, Santri, dan Kitab Kuning.

Pondok Pesantren.

Pondok merupakan tempat para santri menginap dan beristirahat. Di tempat inilah para santri banyak beraktifitas di luar mengaji atau bersekolah. Para santri dari berbagai daerah yang datang ke suatu pesantren berkumpul. Mereka bertemu, berdiskusi, tidur, terkadang para santri salafiyah memasak dan makan di pondok tersebut. Kegiatan rutin yang mereka lakukan ini terjadi setiap saat. Dari mulai bangun tidur hingga tidur kembali. Mereka belajar kelompok dan berdiskusi tentang materi yang baru diterima dari pimpinan pondok (kyai) atau dari para asatidz. Mereka saling memperkenalkan diri, mulai dati nama, asal usul dan lain sebagainya. Pada beberapa Pondok Pesantren tradisional, Salafiyah, mereka tidur dalam barak yang luas. Mereka, dahuli, membeli kasur sendiri atau cukup hanya tikar sebagai alas tidur mereka. Namun sekarang, hampir semua Pondok Pesantren sudah memiliki kamar untuk para santri, sehingga jarang yang tidur di barak. Mereka tidur di kamar dengan tempat tidur bertongkat dua. Dalam satu kamar ada yang diisi maksimal delapan orang.

Kyai atau Ajengan dan Tuan Guru

Sedangkan  Kyai merupakan  ungkapan atau gelar yang diberikan masyarakat Jawa, bagi orang yang dituakan atau berilmu. Sementara Ajengan, merupakan gelar keagamaan yang diberikan oleh masyarakat Jawa Barat. Sedang Guru atau Tuan Guru, gelar yang diberikan oleh masyarakat Betawi dan masyarakat Nusa Tenggara Barat. Dan Buya, merupakan gelar yang diberikan oleh masyarakat Melayu Sumatera. Mereka ini adalah role model bagi masyarakat kebanyakan. Kyai, Ajengan, Guru dan Tuan Guru, merupakan seorang alim pemilik pondok tersebut. Ia memiliki kompetensi keilmuan agama yang mumpuni dan memiliki otoritas keilmuan untuk mengajarkannya pada para santri.

Dahulu, sebelum menjadi Kyai dan pemilik Pondok Pesantren, mereka juga pasti pernah monfok pada pondok pesantren tertentu. Bahkan tidak hanya satu pondok mereka belajar mencari ilmu, selesai menguasai suat bidang ilmu tertentu, mereka pindah ke pondok pesantren lain untuk belajar dan mencari ilmu keagamaan lainnya, seperti usai mondok pada Kyai yang mengusai ilmu hadits, ia belajar pada kyai yang mengajarkan ilmu tafsir dan ilmu hadits. Begitulah tradisi rihlah ilmiah yang dilakukan para santri dahulu dan mungkin juga saat ini. Mereka berpindah dari satu kyai ke kyai lain untuk mempelajari ilmu keagamaan.

Selain mengajar santri, Kyai juga mengajar para asatidz dan santri senior tentang disiplin suatu ilmu agama tertentu, seperti fiqh, tauhid, tafsir, hadits, dan nahwu sharaf.

Santri

Santri merupakan para pelajar yang datang pada suatu lembaga pendidikan Islam, semisal Pondok Pesantren, untuk mempelajari bidang ilmu agama Islam. Mereka sengaja mendatangi dan mondok pada suatu Pondok Pesantren, sesuai dengan keinginan mereka untuk belajar bidang ilmu keagamaan yang menjadi minat besar mereka. Biasanya para santri belajar ilmu dasar terlebih dahulu sebelum melanjutkan ke jenjang lebih tinggi lagi. Seperti belajar ilmu nahwu, dimulai dengan mengkaji Kitab al- Jurumiyah, dilanjutkan dengan belajar kitab Nahwu al-Wadhih, kemudian Kawakib al-Durruyah dan al-Fiyah Ibnu Malik.

Untuk mengkaji kitab fiqh, para santri belajar kitab Safinah al-Najah dan lain sebagainya. Dalam tradidi pesantren, kita yang menjadi bahan belajar dan rujukan  sering disebut dengan istilah Kitab Kuning.

Kitab Kuning: Tradisi Pesantren

Kitab Kuning meripakan sebuah istilah khas Indonesia. Disebut kitab kuning karena hampir sebagian besar kitab tersebut dicetak dengan kertas warna kuning. Dalam Undang-Undang No. 18 tahun 2019 tentang Pesantren telah ditegaskan bahwa kitab kuning adalah kitab keislaman berbahasa Arab atau kitab keislaman berbahasa lainnya yang menjadi rujukan tradisi keilmuan Islam di pesantren.

Sebagai sistem pengetahuan di pesantren, eksistensi Kitab Kuning sudah ada sejak abad 1-2 Hijriyah dan berkembang hingga sekarang. Tradisi literasi keislaman ini mampu tetap bertahan sebab ia memiliki khazanah keilmuan yang sangat luas(Fayumi). Dengan kata lain, Kitab Kuning ini merupakan hasil kreatifitas dan ijtihadi para ulama Pondok Pesantren yang terdiri dari berbagai bidang krilmuan Islam dan mampu bertahan hingga kini karena pesantren telah mengembangkan dan mempertahankan tradisi keilmuan Islam ini dengan baik, sehingga generasi muslim selalu mencarinya dengan mendatangi dan mondok di sebuah pesantren di Indonesia.

Kitab kuning memiliki banyak bidang keilmuan seperti tafsir, hadis, fikih, sejarah, dan lain sebagainya. Dalam bidang fikih saja sangat luas macamnya, misalnya ada fikih umum, fikih ibadah, fikih perkawinan, fikih perdagangan (mu’amalah), fikih perbandingan madzhab, fikih kontemporer, fikih lingkungan hidup, fikih perempuan, fikih politik, dan lain-lain. Selain itu, ada juga macam kitab kuning yang menggunakan model syarakh (penjelasan) sebagai Meski Kitab Kuning menggunakan bahasa Arab sebagai bahasa yang digunakan. Tetapi, ada Kitab Kuning yang ditulis dalam huruf Arab berbahasa Melayu atau seting disebut dengan Arab Pegon atau Arab Jawi.

Tradisi mengaji Kitab Kuning biasanya dilakukan dengan model pengajaran Sorogan, Wtonan dan Bandongan. Model sorogan, santri biasanya mendatangi Kyai ata Ustadz dengan membawa kitab tertentu untuk dipelajari. Sedang Wetonsn, bissanya santri belsjar Kitab Kuning sesuai waktu yang ditentukan oleh Kyai. Sementara Bandongan, para ssntri membentuk lingkaran untuk mengkaji Kitab Kuning bersama para santri lsinnya. Dsn sang Kyai berada di tengah lingkaran menjadi pengajarnya

Prof. Murodi al-Batawi/Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta

Editor: Jufri Alkatiri