
Joko Widodo mantan Presiden RI bersama Presiden RI Prabowo Subianto (Foto: Trotoar.id)
Oleh : Renville Almatsier*
Tepat sepuluh hari yang lalu, bangsa Indonesia, berganti pimpinan. Presiden Joko Widodo yang sudah menjabat selama sepuluh tahun digantikan oleh Jenderal TNI (Purn) Prabowo Subianto, melalui Pemilu yang demokratis. Saya, generasi baby boomers yang lahir sesudah proklamasi, patut bersyukur bisa mengalami pemerintahan semua, tujuh presiden kita.
Karena cuma rakyat biasa, rerata “perkenalan” saya dengan para pemimpin negara itu cuma dari rekam-jejaknya, melalui referensi dari buku atau surat kabar. Umumnya mereka tidak saya kenal sebelum masing-masing muncul di blantika nasional.
Keterlibatan saya, kalau boleh disebut begitu, dalam masa pemerintahan masing-masing, paling-paling dalam bentuk diskusi atau rapat, atau…ikut demonstrasi. Ada yang saya kagumi, pernah saya sentuh tangannya, pernah berfoto bersama. Ada yang saya bantu ikut mendukungnya naik, dan ada juga yang saya ikut aksi menurunkannya.
Saya tidak pernah mendukung dengan alasan-alasan primordial, tetapi lebih karena kepribadian dan kebijakan yang bersangkutan. Sejak mengenal politik di jaman mahasiswa sampai sekarang, saya tetap merasa beraliran independen. Acuan saya, selain dia harus Pancasilais, adalah tetap, kejujuran, dan visinya dalam memajukan bangsa. Tidak peduli apapun partainya. Setelah kemudian mengikuti perjalanan pemerintah masing-masing presiden, wajar kalau ada yang terus saya dukung, ada pula yang membuat saya kecewa.
Nah, sepuluh tahun telah berlalu. Presiden Joko Widodo yang saya kagumi pribadinya sejak dia masih pejabat daerah, sudah selesai masa baktinya. Dia punya riwayat yang baik. Berasal dari keluarga sederhana dari desa, setelah jadi insinyur dia memilih jadi pebisnis mebel. Dia terpilih menjadi Wali Kota Solo. Keberhasilannya sebagai wali kota menggiring orang untuk mencalonkannya menjadi Gubernur DKI Jakarta. Dia pun terpilih dengan cara fenomenal, mencengangkan sehingga membuat para analis politik mengungkap teori-teori baru. Tertarik pada sikap dan gebrakannya, saya kemudian secara sukarela ikut mengkampanyekannya jadi presiden di tahun 2014.
Alhamdulillah dia mewarisi kebajikan (virtue) seorang pahlawan, seperti menurut penulis asal Inggris Simon Sebag Montefiore, yaitu memiliki keberanian, toleransi, sifat sepi ing pamrih, dan tidak mementingkan diri sendiri.
Dalam kepemimpinannya Jokowi selama sepuluh tahun telah banyak berbuat. Pantaslah dia mendapat penilaian positif dari kalangan kelas sosial menengah bawah. Bahkan menurut survey litbang Kompas, kelas menengah- atas menilai positif citra Jokowi (Kompas, 20 Juni 2024). Gaya politiknya sederhana dan tidak berjarak dengan rakyat kecil. Kita masih ingat gaya blusukannya. Tingginya citra positif berkat konsistensinya dalam hal ini.
Jasa Jokowi yang fenomenal adalah pembangunan infrastruktur yang dilakukannya secara masif di seluruh pelosok negeri. Pembangunan sampai hingga daerah terpencil, terluar, terdepan, dan perbatasan mendapat perhatian khusus. Ikut merasakan beratnya kehidupan selama tahun-tahun sebelumnya, harus saya akui, saya -- menikmati perbaikan kondisi lingkungan dalam sepuluh tahun terakhir ini.
Telah dibangun 61 bendungan, 51 ruas jalan tol, 25.000 hektar daerah irigasi, 9705 unit rumah susun, rehabilitasi sekolah, dan pengadaan fasilitas olahraga. Dia membangun DPSP (destinasi pariwisata super prioritas) Danau Toba, Borobodur, Labuan Bajo, Mandalika, dan Likupang. Kelima DPSP tersebut kini menjadi magnet pariwisata yang mengagumkan (Kompas, 31 Agustus 2024). Dia meneruskan pembangunan Trans Papua yang membawa dampak besar bagi kemajuan daerah itu. Berkat diplomasinya, nama Indonesia berkibar dalam percaturan dunia. Idenya membangun IKN, lepas dari soal biaya dan timing, boleh dinilai cemerlang.
Sepanjang tahun-tahun pemerintahannya, sepak terjang Jokowi memang membawa optimisme. Sampai di sini, no doubt tentang tekad dan niat Joko Widodo membangun Indonesia seperti yang dicanangkannya pada masa kampanye. Namun kita sering mendengar komentar miring tentang pembangunan infrastruktur yang bagi sebagian orang dianggap tidak ada gunanya karena tidak juga mensejahterakan rakyat. “Makan tuh infrastruktur”, kata mereka yang sinis.
Harus diakui bahwa pembangunan infrastruktur belum menciptakan efisiensi distribusi. Tetapi kita juga harus jujur, dengan tol Trans Jawa banyak perjalanan distribusi logistik bisa bertambah. Konsep pembangunan tol laut untuk menghidupkan sumber ekonomi di kawasan Indonesia Timur mulai terasa meski belum sepenuhnya berjalan. Pembangunan bendungan atau waduk, paling tidak telah membantu irigasi bagi pertanian rakyat di NTT. Sekalipun kita tidak boleh menutup mata pada dampak lain yang ditimbulkannya. Kalau kita membayangkan ke depan, pembangunan infrastruktur ini sejalan dengan impian menjadi negara industri sebagai cara untuk menjadi negara maju.
Tapi, naah ini... menjelang tahun terakhir pemerintahannya, tokoh yang dulu jadi pujaan saya ini, kok berubah. Apa boleh buat, apa yang terungkap belakangan ini sangat bertolak-belakang dengan citranya selama ini yang jujur, sederhana, andap asor, dan anti nepotisme. Sayang sekali jejaknya dalam isu sosial dan politik tidak dijaganya. Dia banyak melakukan maneuver menjelang pilpres, termasuk akrobat Mahkamah Konstitusi. Bahkan beberapa langkahnya dituduh merusak tatanan demokrasi. Anehnya, lembaga-lembaga yang seharusnya jadi pengontrol, terkesan membiarkan, kalau tidak ikut berkolaborasi melicinkan "penyelewengan” itu.
Agaknya dia tidak bisa mengelak. Pepatah lama, honores mutant mores, saat manusia berkuasa, berubahlah pula tingkah lakunya, juga menjangkitinya. Kini muncul berbagai cerita bahwa ternyata dia "tidak seistimewa seperti yang kita kenal selama ini”. Di media sosial, dibeberkan “dosa-dosa” yang dilakukannya selama memerintah. Sejauh ini, mengenai hal-hal di belakang layar yang tidak kasat mata itu, wallahualam, saya masih ragu untuk memercayainya begitu saja.
Tapi kalau harus memilah mana yang baik dan mana yang buruk, mana jasa dan mana dosa, yang dia lakukan, saya harus jujur. Apa yang telah dilakukannya untuk bangsa ini patut dicatat dengan tinta emas dalam sejarah. Bahwa dia kemudian tergelincir berbuat curang, waktu yang akan membuktikannya. Mengenai kesalahan-kesalahannya itu, biarkan saja waktu berjalan. Toh, bangsa ini, khususnya MPR kita, adalah lembaga pemaaf seperti yang dilakukan lembaga perwakilan rakyat tertinggi itu baru-baru ini terhadap pemimpin terdahulu.
*Pengamat Sosial dan Dosen di salah satu Perguruan Tinggi Swasta
Editor: Jufri Alkatiri