Sumber visual: depositphotos.com

Oleh : Anwar Rosyid. Soediro

Merujuk  filsafat iluminasi Suhrawardi, pengetahuan mistik (visi mistik dan intuisi) mempunyai status yang sama dengan pengalaman fisik dan menurutnya lebih jelas/terbukti dengan sendiri, bahkan lebih tinggi tingkat validitasnya.

Pengalaman mistik menjadi sentral bagi Suhrawardi sebagai dasar epistimologinya. Sebab menurut Suhrawardi, seseorang tidak bisa memulai pengetahuannya tentang sesuatu hanya dengan menganalisisnya (menggunakan metode konsepsi konfirmasi). Tetapi seseorang memulai pengetahuannya melalui tangkapan intuitif mengenai keseluruhan realitas yang berasal dari pengalaman visi mistisnya, baru kemudian menganalisis intuisi tersebut.

Tradisi intelektual dengan teori iluminasi menganalogikan Tuhan dengan cahaya. Dimana cahaya adalah wujud yang jelas tidak lagi membutuhkan definisi lagi. Melaui metode intuitif  atau pengalaman batin digunakan untuk memperoleh pengetahuan alam, sedang intuitif termasuk dalam pengetahuan hudhuri (kehadiran), bentuk sederhana hudhuri adalah kesadaran diri.

Sebagaimana dalam penelitian Henry Corbin; melihat bahwa imajinasi kreatif dalam tradisi intelektual berfungi untuk menghadirkan Tuhan dengan segala bentuknya yang diciptakan oleh diri-Nya dengan perantara makhluk yang berakal. Imajinasi tersebut membutuhkan sebuah psikis dan mental yang hadir hanya sebagai “wakil yang logis” dari objek yang diangankan, perangkat tersebut merupakan penentu mengenai keterwujudan objek yang diimajinasikan. Secara sederhana, peran multidimensinya dalam pemenuhan pengalaman mistik, seperti fungsi teogonik dan kosmogoniknya; peran kognitif dan kreatifnya sebagai teofarni, dan mediasinya dalam dialog antara Tuhan dan Manusia.

Dari sudut pandang William Chittick, penelitian berfokus pada hubungan antara metafisika dan imajinasi, menjelaskan sifat metafisika dan ontologis imajinasi dan perannya dalam memahami konsep metafisik dan ontologinya imajinasi merupakan penjelmaan hal-hal yang bersifat immaterial. Imajinasi memungkinkan realitas gaib dapat digambarkan dan memiliki keterkaitan dengan dunia realitas, misalnya para malaikat yang digambarkan memiliki sayap. Penjelasan dan penggambaran seperti itu bukan semata-mata metafora belaka karena makhluk gaib itu sesungguhnya mengambil bentuk yang dapat dilihat di alam imajinal.

Corbin dan Chttick sejatinya meneliti pengalaman mistik Ibn ‘Arabî, yang terjadi dalam dataran imajinasi. Dalam dataran imajinasi inilah sesorang yang telah menapaki perjalanan mistik (spiritual) akan dibukakan (kasf) pengetahuan dari Tuhan. Sebuah pengetahuan yang nilai otentiknya sama jelasnya dengan metode penalaran diskursif, bahkan lebih jelas.

“Ketika seorang salik (pejalan spiritual) meneguhkan cintanya untuk mengasingkan diri dan berdo’a atas nama Tuhan, ketika dia mengosongkan hatinya dan dari berbagai pemikiran reflektif, dan ketika dia berada dalam kefakiran, tidak memiliki apapun di depan Tuhannya, maka Tuhan akan melimpahkan atasnya dan menganugerahinya suatu hal dari pengetahuan tentang-Nya, tentang misteri-misteri Tuhan, dan ilmu pengetahuan yang mulia, itulah mengapa Abu Yazid berkata, Engkau mengambil pengetahuanmu tentang mati dari kematian, namun aku menerima pengetahuanku dari Yang Mahahidup, Yang tak pernah mati.”

Melalui terbukanya pintu pengetahuan dalam dataran imajinasi, Ibn ‘Arabî terwarisi seluruh ilmu pengetahuan para nabi melalui perjalan bathin mi’raj bertemu Muhammad, Isa, Musa, Ibrahim dll. dimana pengalaman mi’rajnya dituliskan dalam karya magnum opusnya kitab “Fush?sh al-?ikam” dan “kitab Fut?h?t al-Makkiyah” menurutnya beliau telah didiktekan secara langsung oleh Rasulullah Saw.  (bersambung)

* Pemerhati  Filsafat dan Pengamat Sosial

   Editor: Jufri Alkatiri