Foto: IDN Time Kaltim

Oleh : Anwar Rosyid Soediro 

  Dari sudut pandang kosmologi (alam), Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa dalam struktur tajalli al-?aqq atau alam (makrokosmos) terdapat alam tengah yang statusnya imajinatif. Dia disebut alam imajinasi dikarenakan status keberadaanya yang mewakili dua karakter alam yang berbeda.

Di satu sisi dia mempunyai karakter spiritual yang mewakili alam atas dan di sisi lain dia juga material mewakili alam bawah. Karena keberadaanya di tengah, dia bukan murni spiritual dan juga bukan murni material, seperti keberadaan alam mimpi yang merupakan pertengahan antara keadaan sadar dan fana’. Alam Malakut yang merupakan pertengahan antara alam Jabarut dan alam Mulk, dan keberadaan Jiwa yang merupakan pertengahan antara ruh dan jasad. Sebagaimana status keberadaan Tajalli / manifestasi al- ?aqq yang ambigu (Dia dan bukan Dia), status alam tengah juga demikian. Kita tidak bisa mengatakan alam tengah ini alam spiritual sebab disitu kita menemukan karakter materi di dalamnya yaitu berupa form materi, tetapi kita juga tidak bisa mengatakan bahwa alam tengah itu material sebab kita juga menemukan karakter spiritual di dalamnya.

Status ambigu ini menjadi ciri bagi keberadaan imajinatif. Alam imajinasi ini juga bisa disebut sebagai barzakh karena dia memisahkan dua hal yang saling bertentangan. Ia juga bisa disebut sebagai alam mitsâl karena keberadaannya hanya berupa gambar pola atau model bukan keberadaan yang sesungguhnya.

Dari sudut pandang epistemologi (ilmu), Ibn ‘Arabî menjelaskan bahwa keberadaan imajinatif juga kita temukan dalam diri manusia sebagai mikrokosmos yakni berupa sebuah kemampuan atau daya yang kita sebut sebagai fakultas imajinasi. Sebagaimana ciri khas keberadaan imajinasi yang ambigu, fakultas imajinasi yang berada dalam diri manusia juga statusnya ambigu. Dia berada di tengah antara fakultas intelektual (akal) yang immateri (mujarrad) dan fakultas sensorial (indra). Oleh karenanya dia mempunyai dua karakter yang mewakili dua fakultas tersebut sekaligus menjadi jembatan bagi keduanya. Karena berada di tengah, dia menjadi wasilah bagi semua data indera yang kita cerap untuk diolah dan disampaikan kepada akal untuk dianalisis. Dia juga menjadi wasilah bagi makna-makna yang diperoleh akal untuk diolah dan diimplementasikan dalam keberadaan material. Karena fungsinya sebagai wasilah inilah Ibn ‘Arabî menyebut imajinasi sebagai tempat turunnya ilham dan wahyu sebelum disampaikan kepada orang banyak. Imajinasi juga dikatakan sebagai daya kreatif karena kemampuannya memberi bentuk dan menerjemahkan makna-makna yang berasal dari alam akal ataupun spiritual dan kemampuannya mengombinasikan objek- objek serapan indra menjadi sebuah objek baru nan unik.

Sedangkan titik temu pandangan Ibn ‘Arabî dengan para pemikir lain terkait dengan konsep imajinasi adalah imajinasi sebagai daya atau fakultas dalam diri manusia yang dengannya manusia bisa mengkreasi objek baru atas kemampuannya mengombinasikan, membandingkan dan mengimitasi antar-objek.  Konsep kreativitas imajinatif antara psiko-sufistik dan psikoanalitik pada konsep hasrat, akal, dan orisinalitas. “Proses pemapanan kekuasaan kreativitas” merupakan bentuk lain dari imajinasi kreatif selain fisik (tubuh) dan imajinasi kreatif yang “berideologi”. Jika disimpulkan dalam bahasa matetatis, orisinalitas nalar (ON) merupakan fungsi psikologis fundamental purifikatif (PFP). Dalam persamaan psikometrik formula psikologis: ON = f [PFP]. Sehingga imajinasi kreatif semestinya dapat dilakukan semua orang pada semua level kemampuan, namun mengharuskan karakteristik khusus bagi pemenuhan standar orisinalitas dan genuine (keaslian). Ini membuktikan konsepsi kreativitas memiliki value (nilai) seluruhnya diterima. Begitu pentingnya imajinasi karena kemampuannya menjadi jembatan antara indra dan akal, alam jasmani dan alam ruhani dan sebaliknya.

Pemerhati  Filsafat dan Pengamat Sosial

   Editor: Jufri Alkatiri