Kota Jakarta (Foto: detik.com)
Oleh : Renville Almatsier*
Di antara Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah) yang akan mencari pimpinan daerah, memilih gubernur yang akan memimpin Jakarta tampaknya paling ditunggu-tunggu masyarakat. Tidak mengenai siapa incumbentnya, atau partai dan koalisi apa yang akan berkuasa. Tetapi lebih kepada program apa yang mereka rencanakan untuk Jakarta.
Kita semua tahu Jakarta, lambat atau cepat, akan menanggalkan fungsinya sebagai ibu kota negara. Meskipun keputusan Presiden tentang pemindahan ibukota negara ke IKN masih ditunggu, Jakarta harus bersiap dengan statusnya yang baru itu. Sementara berbagai pihak sibuk dan antusias dengan kemegahan IKN. Mari kita -- juga ikut memikirkan nasib Jakarta dengan segala tantangannya setelah tidak menjadi ibu kota negara.
Saya ingin menyoroti masa depan Jakarta ini. Disebut-sebut Jakarta akan berubah dan berpotensi menjadi kota global, tangguh, dan kota yang layak huni. Tampaknya dunia industri berhasrat untuk membangun kembali Jakarta, menjadikannya penopang ekonomi nasional. Kalangan industri ini lupa bahwa salah satu pertimbangan memindahkan Jakarta adalah karena bebannya sudah terlampau berat.
Semua ada di sini. Macet di Jakarta sudah luar biasa yang membuatnya kian sumpek. Selain itu kita pasti tidak pernah lupa banjir selalu hadir di kota ini. Selalu juga disebut-sebut bahwa Jakarta menghadapi tantangan kondisi geografisnya yang merupakan dataran rendah. Rata-rata ketinggian tujuh meter di atas permukaan laut serta dilintasi 13 sungai yang bermuara di Laut Jawa, wilayah pesisir utara Jakarta relatif lebih rendah sehingga rentan rob. Letak Jakarta yang berada di delta meningkatkan risiko terhadap banjir (Kompas, 4 Juni 2024).
Nah, kalau sudah begini beratnya beban Jakarta, mengapa kenyataan itu tidak ditanggapi atau dijadikan pertimbangan? Saya setuju bila Jakarta dikembalikan sebagai kota yang layak huni, seperti saat saya pindah ke kota ini 75 tahun yang lalu. Pohon rindang dan burung berkicauan. Berjalan kaki atau naik sepeda relatif aman. Saat itu ikatan sosial sesama warga masih kental. Ikatan sosial bisa jadi modal non-ekonomis masyarakat untuk membangun komunitas yang kuat dari terpaan konflik kekerasan horizontal, gangguan kriminalitas, dan mampu memelihara lingkungan secara berkelanjutan.
Karena itu saya lebih mendukung bila Jakarta berkonsentrasi untuk industri pariwisata. Jadikan saja Jakarta sebagai “kota Proklamasi” atau kota dimana sejarah dilestarikan. Dengan kondisinya yang sudah terlanjur besar dan pusat bisnis, paling tepat bila Jakarta dikembalikan dengan pendekatan campuran dari pusat bisnis ke pusat kehidupan yaitu dalam satu kawasan ada perkantoran, area komersial, dan hiburan serta tempat tinggal.
Lebih baik Jakarta berkonsentrasi menjadi hunian yang nyaman. Mari mendidik masyarakat berdisiplin. Tertibkan peraturan yang berlaku bahwa di daerah pemukiman dilarang ada kegiatan usaha dagang atau perkantoran. Tidak ada lagi kemacetan, serobotan lalu lintas melawan arus, asap knalpot mengganggu pernafasan, corat-coret dinding, kabel yang bergantungan, dan trotoar jadi tempat PKL.
Ketimbang membangun lagi, pertahankan saja apa yang ada. Cukuplah mall yang kini ada. Cukuplah tempat-tempat hiburan mempersempit banyak jalan utama. Jangan terlalu serakah mengumpulkan semua fasilitas, mulai dari pusat perdagangan, pusat kesenian, pusat pendidikan, pusat hiburan, dan pusat olahraga. Bagi-bagilah dengan kota-kota lain. Siapapun yang akan terpilih memimpin Jakarta, hendaknya memahami kebutuhan penduduk akan tempat tinggal yang nyaman. Biarkan burung-burung berkicau kembali di taman-taman kota.
*Pengamat Sosial dan Jurnalis Majalah Berita Mingguan Tempo Edisi Perdana hingga Keempat
Editor: Jufri Alkatiri