Timnas Indonesia berpose sebelum melawan Timnas Arab Saudi (Foto: ANTARA)
Oleh : Renville Almatsier*
Alhamdulillah pertarungan Garuda melawan Green Falcons, julukan kebanggaan timnas sepakbola Arab Saudi, akhirnya berubah menjadi Garuda vs Onta. Indonesia menggilas lawannya, 2-0 dan bisa melanjutkan langkahnya dalam Grup C, babak penyisihan menuju Piala Dunia 2026.
Doa saya, dan ribuan pendukung timnas merah-putih, betul-betul dikabulkan-Nya. Betapa tidak, kemarin itu saya bergegas meninggalkan pertemuan di kawasan Menteng, Jakarta Pusat agar bisa menonton duel tersebut sambil nongkrong di depan layar tv di rumah. Tetapi hujan yang lebat membuat jalan menjadi luar biasa macet pada jam orang pulang kantor itu. Mobil merambat tail-to-tail sejak di kawasan Dukuh Atas, Jakarta Pusat. Bayangkan di bunderan Pondok Indah, mobil dan motor awut-awutan, stucked, sekitar setengah jam tidak bergerak. Untung selepas Lebakbulus jalan mulai longgar. Sampai di rumah saya langsung menyalakan tv, pas saat kedua tim baru masuk gelanggang. Sepanjang jalan, saya berdoa semoga tim asuhan Shin Tae Yong (STY) kali ini berhasil mengubah telor yang selama ini belum terpecahkan.
Membaca line-up tim, melegakan. Entah karena doa saya, ternyata STY mengubah taktik. Para pemain langsung menggeber dengan gegenpressing bertubi-tubi. Belum cukup dua menit berlangsung, Marselino sudah mendapat kesempatan mengancam gawang Saudi. Melalui umpan-umpan lambung, berturut-turut Calvin Verdonk dan Ragnar Oratmangoen beberapa kali melakukan solo-run. Bahkan juga Rizky Ridho yang kali ini banyak membantu di depan.
Seolah mendengar kritik saya, beda dengan ketika dikalahkan Jepang, kemarin STY menurunkan tim “lama” yang selama ini saya anggap cukup solid. Mereka sudah cukup lama berlatih bersama. Selain keempat pemain itu, ada Sandy Walsh yang lugas di samping Thom Haye yang tenang, Jay Idzes, Justin Hubner, Rafael Struick, Ivar Jenner, dan Maarten Paes. Sejak awal tim dengan ujung tombak satu-setengah itu, melakukan pressing bertubi-tubi.
Maaf, kalau boleh saya kritik. Selama ini di media sosial, pemain-pemain comotan dari Belanda disebut-sebut hebat karena konon terbiasa dengan turnamen Kelas Eropa. Didengung-dengungkan bahwa mereka, sebutlah Mees Hilgers, Kevin Diks, Eliano Rijnders, dan banyak lagi merupakan pemain yang bisa menakutkan lawan. Bahkan Ole Romeni yang belum diproses, mau segera dipasang untuk pertarungan kemarin. Padahal kehebatan mereka baru kita ketahui dari laporan media.
Baru empat hari mendarat di Bandara Soetta, belum hilang jet-lagnya, dua kali ikut berlatih, Diks langsung diturunkan melawan Jepang. Tentu keterampilannya belum kelihatan.
Tidak semudah itu. Orang-orang sering lupa bahwa sepakbola adalah permainan tim. Selain keterampilan individual, perlu kesuaian taktik. Diperlukan saling kenal, baru bisa terbentuk kerjasama atau samenspel yang ciamik dengan arahan strategi pelatih.
Saya masih ingat, jauh ke belakang, dari jaman Toni Pogacnik, Will Coerver, kemudian Alfred Riedl, kita butuh training center untuk memadukan pemain-pemain dalam satu tim. Memang di era sekarang di mana pemain-pemain dimatangkan oleh klub melalui kompetisi, keadaan sudah berbeda. Dengan skill invidual yang prima, begitu distel, jreng.. mereka diharapkan bisa langsung kompak.Tetapi dua kali berlatih belum cukup. Asal tau saja, sekalipun Messi atau Ronaldo dipasang dalam timnas kita, belum tentu sukses dengan cara ini.
Sebelumnya, di Jeddah, tim asuhan STY bisa menahan imbang asuhan Roberto Mancini, pelatih sekelas Pep Guardiola itu. Kemarin, berkat kejelian STY mengubah taktik, tim asuhan Herve Renard dibuat tak berkutik. Semoga selanjutnya timnas kita terus lancar menuju Piala Dunia 2026. Asal cukup waktu untuk berlatih bersama.
*Pengamat Sepakbola dan Mantan Jurnalis Majalah Tempo
Editor: Jufri Alkatiri