
Dominasi Ilmu Pengetahuan pada Umat Masa Depan. (Foto:Kompasiana.com)
Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
C. Distribusi pengetahuan kumulatif dan limpahan pancaran para wali zaman akhir.
Umat Islam zaman sekarang pantas bersyukur kepada Allah s.w.t. yang telah melimpahkan rahmat dan memberikan nikmat yang tiada terhingga bagi kita sehingga dapat mendalami ilmu-ilmu Allah s.w.t. yang berabad-abad lamanya -- yang telah diwariskan melalui para ulama, wali Allah atau ahli tasawuf pewaris tradisi intelektual Nabi dan orang-orang saleh, sehingga, terjadi distribusi pengetahuan di antara kaum arif sampai pada era digital sekarang ini.
Pada masa-masa penyebaran lebih banyak pengetahuan terkumpul, dan menopang kaum arif. Pengetahuan (‘ilm), yang unik dan tersebar, membutuhkan pembawa (gudang pengetahuan yang mengaktualisasikannya, melestarikannya, dan menyebarkannya) sehingga kita dapat mengamalkannya dalam rangka kita meningkatkan tahap pengabdian kita terhadap Allah swt.
Dalam setiap era perjalanan, kehidupan manusia pengetahuan senantiasa berkembang ke arah kesempurnaan, sehingga terwujudlah adat-istiadat, pengetahuan, budaya, moral, kepercayaan, aturan kemasyarakatan, pendidikan, undang-undang dan pemerintahan. Dalam perkembangannya, aturan moral ini tetap mengalami pasang surutnya. Namun, setiap kali mengalami masa surutnya, pasti akan muncul insan-insan yang digelari wali-wali Allah yang sentiasa berjuang untuk mengembalikan nilai moral ke tahap yang tertinggi , sehingga nilai-nilai ini diserapi kembali ke dalam jiwa manusia.
Perkembangan tradisi intelektual dan nilai-nilai akhlak mulia terjadi pula di kalangan dunia Islam sejak Allah swt, telah menjelaskan bahwa Nabi Muhammad saw mempunyai moral yang paling sempurna. Nabi saw pun mengenalkan dirinya sebagai utusan yang akan menyempurnakan keluhuran kepribadian moral dan akhlak manusia dimuka bumi. Oleh karena itu, Allah swt telah menyeru umat Islam untuk menjadikan RasulNya sebagai insan yang sentiasa diteladani.
Nabi Muhammad saw telah berhasil membina sahabat-sahabatnya menjadi manusia-manusia pada tingkat ilmu makrifat yang boleh dibanggakan di hadapan seluruh umat manusia. Padahal pada waktu sebelumnya mereka adalah manusia-manusia jahiliyah yang berada di tepi jurang Neraka. Keberhasilan para sahabat, tabi’n dan tabi’ut tabi’in menjadi golden age (generasi rujukan) karena pertolongan Allah dan berkah mendapat bimbingan Baginda Nabi saw.
Dalam kehidupan kesehariannya Nabi saw menyeru dan mendemontstrasikan cara hidup yang sederhana, selalu prihatin, berharap penuh keridhaan Allah dan kesenangan di Akhirat, dan selalu menjalani kehidupan “tradisi intelektual” (sufi) dalam segala tingkah laku dan tindakannya. Kehidupan tradisi intelektual /logika nubuwat Nabi ini dilanjutkan oleh generasi sahabat, tabi’in, tabi’ut tabi’in dan seterusnya hingga era digital sekarang ini.
Di dalam Al Qur?an Allah Subhanahu wa Ta?ala menyebutkan tentang kewalian, diantaranya: Firman Allah: “Ingatlah Sesungguhnya wali-wali Allah (Awliya) itu tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka tidak bersedih hati. (QS. Yunus [10]: 62)
“Allah adalah penolong atau wali bagi orang-orang beriman” (QS al-Baqarah [2] : 22). Dari Abu Hurairah ra berkata: Rasulullah saw bersabda, Sesungguhnya Allah Ta'ala berfirman “Barangsia memusuhi wali-Ku, Aku umumkan perang kepada-Nya. Tidak seorangpun mendekat kepada-Ku dengan suatu amalan wajib yang Aku senangi dan tidak seorang pun dari hamba-Ku yang mendekat kepada- Ku dengan amalan sunnah sampai Aku sampai Aku mencintainya, maka Aku akan menjadi pendengarnya untuk mendengar, dan Aku akan menjadi pandangannya untuk melihat, dan Aku akan menjadi tangannya yang dipakai untuk memegang, dan Akupun menjadi kakinya untuk berjalan. Jika dia meminta kepada-Ku akan Aku berikan permintaannya dan jika dia meminta perlindungan dari-Ku maka Aku akan melindungi dia." (HR. Bukhari).
Hadits Qudsi tentang keadaan para wali
Auliyaaii tahta qibaabii laa ya’lamuhum ghairii. Artinya : Para wali-Ku berada di bawah kubah-kubah-Ku tidak ada yang mengetahui mereka kecuali Aku. Maka sesungguhnya misi peerjuangan dakwah Rasulullah s.a.w. tidak berhenti pada masa hidupnya saja, akan tetapi seluruh ilmu-ilmu dan nilai-nilai akhlak Islamiyyah telah diwarisi oleh wali-wali yang sentiasa mendukung dan meneruskan perjuangan Rasulullah s.a.w. mereka bertebaran di pelosok penjuru muka bumi.
Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah pernah mengingatkan hakikat wujudnya para wali serta karamah mereka sebagaimana tercatat dalam kitabnya Fatawa Ibnu Taimiyah : “Wali Allah adalah orang-orang mukmin yang bertaqwa kepada Allah Ingatlah sesungguhnya wali-wali Allah itu tidak ada ketakutan pada diri mereka dan mereka tidak merasa khuwatir."
Mereka beriman dan bertaqwa kepada Allah, bertaqwa dalam pengertian mentaati firman-firmanNya, penciptaanNya, izinNya, dan kehendakNya yang termasuk dalam ruang lingkungan agama. Semua itu kadang-kadang menghasilkan berbagai karamah pada diri mereka sebagai hujjah dalam agama dan bagi kaum muslimin, tapi karamah tersebut tidak akan pernah ada kecuali dengan menjalankan syari’at yang dibawa Rasulullah saw.
Distribusi tradisi intelektual/logika nubuwat; petama, Assaabiquun Almuqarrabuun (barisan terdepan dari orang-orang yang dekat dengan Allah). Yaitu mereka yang melakukan hal-hal yang mandub (sunnah) serta menjauhi hal-hal yang makruh di samping melakukan hal-hal yang wajib. Sebagaimana hadits: “Dan senantiasa seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan amalan-amalan sunnah hingga Aku mencintainya”.
Penerus logika nubuwat kedua, Ashaabulyamiin (golongan kanan). Yaitu mereka hanya cukup dengan melaksanakan hal-hal yang wajib saja serta menjauhi hal-hal yang diharamkan, tanpa melakukan hal-hal yang mandub (sunah) atau menjauhi hal-hal yang makruh.
Sebagaimana yang disebutkan dalam potongan hadits diatas: “Dan tidaklah seorang hamba-Ku mendekatkan diri kepada-Ku dengan sesuatu ibadah yang lebih Aku cintai dari apa yang telah Aku wajibkan kepadanya”. Kedua golongan tersebut disebutkan Allah dalam firman-Nya: “Adapun jika ia termasuk golongan yang dekat (kepada Allah). Maka dia memperoleh ketentraman dan rezki serta surga kenikmatan. Dan adapun jika ia termasuk golongan kanan. Maka keselamatan bagimu dari golongan kanan”. (QS. Al Waaqi’ah, ayat: 88-91).
Menurut doktrin kewalian Ibn ‘Arab?, distribusi para wali perwakilan hierarki yang tidak terlihat terdiri dari; Poros Waktu, Empat Kutub (aq??b) dan tujuh Pengganti (abd?l), dan seterusnya, dari berbagai keterangan jumlahnya tetap konstan dalam suksesi yang berkelanjutan setiap zaman (abad), karena, apabila Poros itu lenyap, dunia yang dikenal tidak akan mampu menopang dirinya sendiri, karena amanat (am?na) harus dipertahankan hingga akhir waktu kronologis.
Maka, pada prinsipnya, pengurangan apa pun hanya dapat terjadi pada jumlah orang suci ang bukan menyandang maqam wali, yang menjalankan fungsi dalam tatanan kosmik dalam lingkup hierarki yang tidak kasatmata.
Tasawuf atau tradisi intelektual yang diajarkan Nabi diakui dalam sejarah telah berpengaruh besar atas kehidupan moral dan spiritual Islam sepanjang ribuan tahun yang silam. Selama kurun waktu itu tradisi intelektual (logika nubuwat) begitu lekat dengan dinamika kehidupan masyarakat luas, bukan sebatas kelompok kecil yang eksklusif dan terisolasi dari dunia luar.
Tasawuf dapat menjadi solusi alternatif terhadap kebutuhan spiritual dan pembinaan manusia modern, karena tasawuf merupakan tradisi yang hidup dan kaya dengan doktrin-doktrin metafisis, kosmologis dan psiko terapi relegius yang dapat menghantarkan kita menuju kesempurnaan dan ketenangan hidup yang hampir hilang atau bahkan tidak pernah dipelajari oleh manusia moderen.
Maka kehadiran tradisi intelejtual di dunia modern ini sangat diperlukan, guna membimbing manusia agar tetap merindukan Tuhannya, dan bisa juga untuk orang-orang yang semula hidupnya glamour dan suka hura-hura menjadi orang yang asketis (zuhud pada dunia) atau hidup bersahaja. (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri