
Isra’ Mi’raj -- Laku Suluk Mendaki Tangga Langit. (Foto: GettyImages/iStockphoto)
Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Mengimami Shalat dan Kesaksian Para Nabi
Diriwayatkan bahwa setelah Rasulullah tiba di pintu Masjidil Aqsha, beliau menambatkan hewan kendaraannya di dekat pintu masjid, lalu memasukinya dimana para Nabi duduk melingkar di sana. Kemudian Beliau masuk ke dalam Masjidil Aqsha.
Di dalam masjid -- Beliau berjumpa dengan Nabi Ibrahim, Nabi Musa, dan Nabi Isa as yang berada di tengah-tengah lingkaran para Nabi lainnya. Rasulullah saw., mengerjakan shalat sebanyak 2 raka’at dengan menjadi imam bagi mereka semua.
Allah Ta’ala mengambil sumpah dari para Nabi tersebut, supaya mereka mau mengimani dan mendukung Rasulullah saw. Allah Ta’ala berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Allah mengambil perjanjian dari para Nabi: “Sungguh, apa saja yang Aku berikan kepadamu berupa kitab dan hikmah kemudian datang kepadamu seorang Rasul yang membenarkan apa yang ada padamu, niscaya kamu akan sungguh-sungguh beriman kepadanya dan menolongnya”. Allah berfirman: “Apakah kamu mengakui dan menerima perjanjian-Ku terhadap yang demikian itu?” Mereka menjawab: “Kami mengakui.” Allah berfirman: “Kalau begitu saksikanlah (hai para Nabi) dan Aku menjadi saksi (pula) bersama kamu.” (QS. Ali ‘Imran [3]: 81)
Mengerjakan shalat dan menjadi imam shalat bagi para Nabi lainnya -- adalah bukti nyata bahwa para Nabi tersebut mengimani Rasulullah saw. sebagai pernyataan tegas bahwa mereka membenarkan Nabi Muhammad adalah Rasul (sayidul mursalin) yang menyempurnakan dan membenarkan (mengoreksi) risalah-risalah para nabi, serta bukti bahwa mereka telah menepati perjanjian yang Allah ambil dari mereka.
Peristiwa ini menjadikan motifasi bahwa umat Nabi sepatutnya dengan Isra’ Mi’raj dapat menjadi pemimpin dalam segala bidang profesi, pemimpin segala zaman, dan pemimpin dunia akhirat. Seorang Muslim harus dapat membuktikan dirinya lebih baik dan lebih cemerlang dari yang lain, baik dalam bidang spiritual, pemimpin dalam ekonomi, pemimpin dalam ilmu pengetahuan, pemimpin dalam teknologi, dan pemimpin dalam seluruh bidang kehidupan, sebab seorang muslim adalah imam (pemimpin ) bagi masyarakat dunia.
Teladan Nabi Memilih Kebaikan
Rasulullah juga memberi teladan manusia telah diberi iman, dibersihkan hatinya, maka dia akan memilih sesuatu yang baik untuk keperluan hidupnya, baik makanan, minuman, pakaian, dan lain sebaginya. Setelah selesai aku terus ke luar Rasulullah saw. Didatangi Jibril disuguhi dua gelas: satu yang berisi susu, dan satu lagi berisi arak (khamar). Beliau mengambil dan meminum isi gelas yang berisi susu, dengan membiarkan gelas berisi arak. Jibril as. berkata kepadanya: “Engkau membimbing kepada fitrah, dan engkau menjadi pembimbing pula bagi umatmu.” Inilah dia Rasulullah saw., pemilik fitrah yang lurus di atas jalan syariat yang diwahyukan Tuhan.
Tetapi jika tidak ada ilmu, dan tiada iman maka manusia akan memilih yang enak bukan yang fithrah (suci), sebab dia akan memilih karena hawa nafsu, karena kesenangan bukan karena iman. Seperti dalam perjalanan menuju Baitul Maqdis, Nabi diperlihatkan -- dalam riwayat Baihaqi dari Ibnu Hurairah ra., bahwa Rasulullah saw. pernah melihat (amal) para Mujahidin fi sabilillah sebagai suatu golongan yang menanam benih pada suatu hari dan di panen pada hari itu juga. Setiap kali mereka memanen maka tanamannya segera kembali ke bentuk semula.
Rasulullah saw melihat orang yang suka menebar fitnah sebagai orang yang bibir dan lidahnya dipotong menggunakan gunting dari api. Orang yang meninggalkan shalat ditampakkan seperti orang yang kepalanya dipecah dengan menggunakan batu besar. Setiap kali kepala itu dipecahkan maka ia segera kembali ke bentuk semula.
Rasulullah saw juga melihat orang yang berzina seperti orang yang meninggalkan daging baik dan lezat demi memakan daging busuk dan berulat, dan masih banyak pemandangan lain yang merepresentasikan amal baik dan amal buruk manusia.
Penggambaran semacam ini bertujuan untuk memperlihatkan kebaikan dan keburukan kepada jiwa manusia, supaya mereka terpancing mengerjakan kebaikan dan menghindari keburukan. Ketika angin Surga berhembus dari suatu arah dengan sejuknya dan sangat memikat hati, sementara angin Neraka berhembus dari arah lain dengan bau busuk dan menyengat, maka jiwa manusia akan tahu bahwa Surga adalah suatu tempat yang menunggu para pemilik amal kebaikan, dan Neraka adalah suatu tempat yang menanti kedatangan para pemilik amal buruk.
Pemandangan-pemandangan semacam ini secara simbolik ingin mengatakan bahwa, “Beginilah perbuatan kalian, dan begini pula hasilnya. (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri