
Isra’ Mi’raj-- Laku Suluk Mendaki Tangga Langit. (Foto: kalam.sindonews.com)
Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Mi’raj Mendaki Tangga Langit ke tujuh
Tidak seperti perjalanan Isra’ yang disebutkan secara jelas dalam QS. al-Isra [17] ayat 1. Peristiwa Mi’raj merujuk dari keterangan Al-Haafizh Ibnu Katsir -- kemudian didatangkanlah Mi’raj, sebuah alat seperti tangga, memiliki anak-tangga untuk naik ke atas. Lalu Nabi Shallallaahu alaihi wasallam menaikinya menuju ke langit yang terdekat, kemudian ke langit-langit yang selanjutnya hingga sampai pada langit ketujuh.
Peristiwa Mi’raj itu sendiri -- Al-Qur’an menyatakannya sebagai sebuah konsekuensi logis (iltizaman). Hal itu dapat diketahui ketika Al-Qur’an berbicara tentang diri Rasulullah saw. yang berjumpa dengan Allah Ta’ala dan Malaikat Jibril as di Sidratul Muntaha. Dari peristiwa perjumpaan tersebut dapat ditarik sebuah konsekuensi logis bahwa Rasulullah saw mendaki sampai ke Sidratul Muntaha yang berada di atas langit ketujuh.
Seperti firman Allah Ta’ala dalam QS. an-Najm [53]: 13-18; Dan sesungguhnya Muhammad saw -- telah melihat Jibril itu (dalam rupanya yang asli) pada waktu yang lain, (yaitu) di Sidratul Muntaha. Di dekatnya ada Surga tempat tinggal, (Muhammad melihat Jibril) ketika Sidratul Muntaha diliputi oleh sesuatu yang meliputinya. Penglihatannya (Muhammad) tidak berpaling dari yang dilihatnya itu dan tidak (pula) melampauinya. Sesungguhnya Dia telah melihat sebahagian tanda-tanda (kekuasaan) Tuhannya yang paling besar.
Di setiap lapisan langit, Nabi disambut oleh penghuni langit yang ada di lapisan langit tersebut. Nabi Shallallahu alaihi wasallam mengucapkan salam kepada Nabi-Nabi yang ada di setiap langit sesuai dengan kedudukan dan tingkatan mereka. Lalu berjumpalah Rasulullah dengan Nabi Musa Alaihissalam yang pernah diajak bicara langsung oleh Allah Ta’ala- di langit keenam, dan beliau berjumpa dengan Khalilullah Nabi Ibrahim Alaihissalam di langit yang ketujuh.
Kemudian sampailah Rasulullah pada tingkatan yang dari tempat itu Beliau dapat mendengar geretan Kalam yakni Kalam yang mencatat Takdir terhadap segala sesuatu. Beliau melihat Sidratul Muntaha yang diliputi oleh perintah Allah Azza wa Jalla yaitu oleh sejumlah yang sangat besar dari Kupu-Kupu Emas dan berbagai macam warna-warni, para Malaikat pun meliputinya pula. Di tempat itulah, Nabi Shallallaahu alaihi wasallam melihat rupa dan bentuk asli dari Malaikat Jibril yang memiliki 600 sayap. Dan Nabi melihat rafraf (bantal-bantal) hijau yang menutupi semua cakrawala pandangan.
Nabi shallallaahu alaihi wasallam melihat Al-Baitul Ma’mur dan Nabi Ibraahim -- pembangun Ka’bah bumi sedang menyandarkan punggungnya ke Baitul Ma’mur karena Baitul Ma’mur adalah Ka’bahnya para penghuni langit. Setiap hari, Dia dimasuki oleh 70.000 Malaikat yang melakukan ibadah didalamnya, kemudian mereka tidak kembali lagi hingga hari Kiamat.
Ditampakkan kepada Nabi Shallallaahu alaihi wasallam, Surga dan Neraka serta keadaan para penghuninya. Kemudian difardhukan atas beliau dan umatnya, Shalat 50 kali, kemudian diberikan keringanan oleh Allah Ta’ala sampai menjadi 5 kali Shalat (Shalat 5 waktu) sebagai rahmat dan kasih sayang Allah kepada hamba-hamba-Nya. Dalam hal ini terkandung faidah yang besar terhadap kemuliaan dan kebesaran Shalat Fardhu yaitu Dia diperintahkan langsung kepada Nabi Muhammad Shallallaahu alaihi wasallam dan tidak melewati Malaikat Jibril. (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri