
Laku Suluk Mendaki Tangga Langit. (Foto: semuanyajdt.com)
Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Sidratul Muntaha dan Suara Pena
Masing-masing Rasul atau pun Nabi mengambil bagian derajatnya dengan cara menerima nilai-nilai ajaran Islam. Meskipun tidak membeda-bedakan masing-masing utusan Allah, karena mereka semua berasal dari sisi Tuhan Yang Maha Mulia dan Bijaksana, namun Allah Ta’ala mengutamakan sebagian Nabi di atas sebagian yang lain. Ada Nabi yang dijadikan sebagai Khalilullah (Kekasih Allah), ada Nabi yang di anugerahi kekuasaan besar, ada Nabi yang diberi kemampuan untuk melunakkan besi, menundukkan gunung-gunung, dan mengendalikan Jin, manusia dan angin, ada pula Nabi yang diberi kesaktian untuk menyembuhkan orang buta, penderita kusta, dan menghidupkan orang mati, dan ada pula Nabi yang diberi keistimewaan bisa berbicara langsung dengan Allah.
Isra’ Mj’raj mempertegas kedudukan Rasulullah saw. Dialah yang menjadi imam shalat bagi seluruh para Nabi. Dia pula yang melampaui langit ketujuh: Maqam dan kedudukannya Ibrahim as sampai tiba di Sidratul Muntaha, lalu dilanjutkan ke suatu tempat dimana Dia bisa mendengar suara pena takdir yang menuliskan takdir segala sesuatu.
Banyak sekali riwayat-riwayat yang kontradiktif dalam menceritakan perjalanan Rasulullah saw -- setelah melewati Sidratul Muntaha -- namun yang terpenting dalam tema pembahasan ini, semua itu adalah pengertian dan makna-makna Mi’raj -- karena itulah setiap kali riwayat-riwayat itu mengalami kontradiksi -- namun masing-masing tetap berbicara tentang Rasulullah saw sebagai satu-satunya pemilik kedudukan yang tidak dimiliki oleh Nabi atau Rasul bahkan Malaikat sekalipun.
Jibril as -- Malaikat yang bertugas menyampaikan Wahyu kepada para Nabi, tidak memiliki kedudukan tersebut, sehingga dia terpaksa berhenti di Sidratul Muntaha seraya membaca firman Allah Ta’ala: “Tiada seorangpun di antara kami (Malaikat) melainkan mempunyai kedudukan yang tertentu.” (QS. Ash-Shaffat [37]: 164)
Ayat di atas mengisyaratkan bahwa ketika Rasulullah saw. mendaki dan terus naik ke atas, Beliau meninggalkan seluruh makhluk, baik dari golongan manusia, Jin, bahkan Malaikat. Beliau terus naik untuk menyandang sebuah maqam spesial. Dalam menjelaskan Maqam Rasulullah saw tersebut, dengan cara membandingkan isyarat-isyarat rangkaian kata-kata indahnya Al-Qur’an: “Mana yang lebih tinggi derajatnya antara orang yang berkata: Ajiltu ilaika Robbi litardho. Oh Tuhan, aku berlari menuju-Mu -- agar Engkau ridha” dibandingkan dengan orang yang mendapat penghargaan: Walasaufa yu’thiika Robbuka fatardho ”Dan sungguh Tuhanmu akan menganugerahi kamu, sehingga engkau rida.”
Dan mana pula yang lebih mulia derajatnya antara orang yang berkata: Robbighfirlii khothii’atii yawmaddiini Tuhan, ampuni dosa-dosaku pada hari pembalasan dibandingkan dengan orang yang mendapat penghargaan: Liyaghfirolakallaahu maa taqoddama min dzanbika wamaa ta’akhhoro -- Agar Allah mengampuni dosa-dosa mu yang terdahulu maupun yang akan datang.
Semua yang dicari dan yang dicapai oleh para Nabi terdahulu, ada dan dapat dilihat pada diri manusia mulia dan agung Rasulullah saw. Sebab Maqam dan bagian Beliau adalah kesempurnaan. Isra’ Mi’raj ini -- adalah teks mitsali (metafora) yang membuktikan kedudukan Rasulullah saw. dan status kepemimpinannya. (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri