
Guru Dulu Mulia, Kini Tidak Berdaya (Foto: Okezone.Edukasi)
Oleh: Marchelia*
Terpujilah wahai engkau, Ibu Bapak Guru
Namamu akan selalu hidup dalam sanubariku
Penggalan lagu beraroma Hymne Guru ini – menggetarkan nurani. Sedih, bangga, dan sekaligus menantang -- bahwa profsi guru itu kadangkala tidak menarik tetapi sangat dibutuhkan masyarakat. Itulah profesi seorang guru. Lagu bakti dan pujian atas jasa para guru baris demi baris mengharukan. Pepatah mengatakan, Guru Sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa -- bukan sekedar basa-basi, tetapi kenyataan.
Bait lagu di atas menjadi pengingat dan penghormatan terhadap jasa dan perjuangan seorang anak manusia yang berprofesi sebagai guru dalam upaya mendidik dan mencerdaskan anak bangsa. Populer dengan sebutan, Guru Sebagai Pahlawan Tanpa Tanda Jasa -- guru bukan hanya sekadar profesi, melainkan pilar utama di dalam dunia pendidikan, pembangun karakter, serta pemimpin intelektual di masyarakat.
Sejak dahulu, kedudukan guru memiliki posisi yang penting dan sangat dihormati di mata masyarakat. Masyarakat Jawa misalnya-- memiliki ungkapan istilah yang berbunyi Guru, Ratu, Wong Tuo karo -- yang berarti taatilah gurumu, lalu rajamu, setelah itu orang tuamu. Ungkapan ini menjadi simbol penghormatan dan penghargaan terhadap peran guru.
Lain lagi kelompok masyarakat, Hindu-Budha sangat mengagungkan profesi guru --khususnya para Begawan yang berasal dari Kasta Brahmana -- menjadi profesi yang sangat dihormati karena dianggap sebagai simbol dari kehidupan spiritual dan kebenaran.
Sementara di era Kolonialisme -- guru dipandang sebagai profesi yang terhormat. Guru dianggap sebagai panutan masyarakat, pemimpin masyarakat, dan dipanggil dengan istilah ndoro guru, simbol penghormatan dari masyarakat, dan dianggap memiliki status ekonomi cukup tinggi pada massanya. Namun, seiring berjalannya waktu, kemuliaan profesi guru memudar dan menempatkan guru pada profesi yang jauh dari kesejahteraan dan penghargaan yang layak.
Ketidakpastian
Data statistik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi menyebutkan, jumlah guru di Indonesia pada tahun ajaran 2023/2024 nyaris menyentuh angka 3,37 juta. Dibalik jumlah guru yang terus meningkat setiap tahunnya -- ada fakta memprihatinkan yang mempertanyakan keadilan. Dari jumlah data tersebut, banyak dari mereka merupakan guru honorer, dan berada dalam kondisi yang jauh dari kata sejahtera. Guru honorer merupakan guru tidak tetap, yang tidak memiliki status kepegawaian, serta akan diberhentikan saat kontrak berakhir. Perbedaan eksplisit diantara keduanya adalah pada status kepegawaian, dan juga gaji. Sedangkan, berdasarkan tugas dan pekerjaannya, keduanya memiliki tugas serta tanggung jawab yang hampir serupa.
Ironis
Tanggung jawab yang nyaris sama, serta jam kerja yang tidak jauh berbeda, pegawai honorer harus menerima nasib mendapat gaji yang tidak sesuai, serta kerentanan posisi sebagai pegawai kontrak. Tidak hanya rentan diberhentikan, guru honorer juga rentan terhadap perlindungan hukum.
Akhir-akhir ini, cukup santer terdengar kabar yang menyorot ketidakberdayaan guru honorer. Mulai dari diskursus hangat di twitter dan beberapa media sosial lain tentang gaji guru yang berada jauh dari kata layak, bahkan tidak menyentuh angka 500 ribu perbulan. Kenyataan ini semakin menyedihkan apabila mengingat banyak dari guru honorer yang merupakan kepala keluarga yang juga berjuang untuk menghidupi keluarganya.
Sejumlah data kuantitatif menyebutkan, kondisi guru semakin memprihatinkan ketika melihat guru honorer sangat rentan terhadap ketidakadilan, dan kesejahteraannya terabaikan. Seperti kasus pidana terhadap guru honorer di Sulawesi Selatan yang tidak cukup bukti, namun sempat berakhir di bui (di penjarakan). Masih menurut data, nasib banyak guru honorer yang bekerja hingga berpuluh-puluh tahun namun berakhir tidak menerima kompensasi berupa kenaikan pangkat, ataupun yang berakhir dengan dipecat secara tiba-tiba.
Menempatkan guru honorer pada posisi yang lemah, dengan tanggung jawab dan tugas yang tidak mudah. Sebagai pilar pendidikan, guru tentu memiliki peranan vital terhadap keberhasilan penyelenggaraan pendidikan. Guru yang baik dan memiliki kualitas, tentu akan mampu mencetak sumber daya manusia yang unggul, serta memiliki daya saing yang tinggi. Impian ini tentu akan menjadi angan-angan semata -- jika pemerintah abai terhadap keadilan bagi guru honorer.
Sikap negara terhadap tenaga pendidik, menjadi cerminan dari sikap negara terhadap pendidikan dan masa depan bangsa. Pendidikan yang berkualitas, tentu akan sulit dicapai tanpa adanya kesejahteraan, serta penghargaan yang layak bagi pengajar. Jika guru -- termasuk guru honorer tetap berada pada posisi yang kurang sejahtera, maka kualitas pendidikan di masa depan akan menjadi ancaman. Lalu? Apakah kita akan terus berdiam? Bersikap bungkam terhadap ketidakberdayaan dan nasib masa depan pendidikan?
Engkau bagai pelita dalam kegelapan
Engkau laksana embun penyejuk dalam kehausan
Engkau patriot pahlawan bangsa
Pembangun insan cendekia
Lalu muncul pertanyaan filosofis, apakah kita akan membiarkan guru sebagai Pelita meredup -- atau membiarkan Pahlawan Tanpa Tanda Jasa itu – berganti menjadi Pahlawan Tanpa Asa?
*Mahasiswi Jurusan Arkeologi Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gajah Mada Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri