Bledugan dan Petasan: Tradisi Mainan Anak Betawi Zaman Dahulu (Foto: Merdeka.com)

Oleh : Prof. Dr. Murodi al-Batawi, MA*

Petasan atau Mercon, merupakan bahan mesiu yang dapat diledakkan setelah disulut. Petasan sering dimainkan oleh anak-anak dan orang dewasa pada saat tertentu, terutama bulan Ramdhan dan menjelang Lebaran. Permainan ini kemudian menjadi salah satu tradisi untuk memperingati suatu acara tertentu, misalnya acara pernikahan, sunatan, bahkan dahulu petasan dijadikan media komunikasi, sebagai pemberitahuan bagi seseorang yang punya hajat, pernikahan, sunatan, atau akan pergi dan pulang haji.

Kemudian, ketika kedatangan bangsa Tiongkok, China, pada abad ke-15 M, untuk berdagang, petasan dan sejarahnya mulai terbentuk di Indonesia. Bahkan pada zaman Majapahit, penggunaan perasan sebagai pemberitahuan dalam upacara adat.

Kemudian sekarang, petasan atau mercon diperjual belikan dan dijajakan di pasar-pasar tradisional dan di pinggir jalan dan dibeli masyarakat umum untuk jadi bahan mainan bahkan dijadikan alat untuk perang-perangan, terutama petasan jenis janghwe, yang kalau disulut meledaknya jauh ke atas atau jarak datar. Karena itu, di hampir setiap ada acara, entah perkawinan, sunatan dan lain sebagainya, masyarakat, terutama orang tua dan anak-anak di Betawi bermain petasan, terlebih saat malam  Takbiran  menjelang Lebaran. Bahkan ada orang tua yang sengaja membelikan barang tersebut kepada anaknya sebagai hadiah Lebaran. Kelakuan ini, biasanya dahulu orang tuanya juga sangat hobi bermain petasan.

Selain petasan, ada juga permainan sejenis itu, cuma tidak menggunakan  bahan mesiu, tapi bahan karbit dengan bambu sebagai medianya. Ketika disulut baru meledak dan berbunyi, Bledug --makanya permainan jenis ini disebut Bledugan. Hingga kini anak-anak di kampung, masih melakukannya setiap bulan Ramdhan dan pada saat Lebaran. Bahkan, mereka bermain bledugan seminggu sebelum dan sesudah Lebaran, sehingga ada orang yang tidak suka dengan permainan ini, marah pada anak-anak. Barulah permainan ini berhenti.

Petasan: Sejarah, Manfaat, dan Mudharatnya

Bangsa Tiongkok, China, pada abad ke-9 M, telah menemukan mesiu sebagai bahan peledak. Sejak saat itu, penggunaan mesiu sebagai bahan peledak terus mengalami transformasi. Bahan mesiu tersebut kemudian dirancang sebagai bahan peluru untuk senjata yang digunakan saat berperang melawan musuh. Ketika pada abad ke-15 M, para pendatang dan pedagang dari Tiongkok tiba di Nusantara, mulai terbentuk pembuatan dan perdagangan petasan. Petasan kemudian dijadikan  sebagai media informasi kepada masyarakat. Bahkan, pada masa Kerajaan Majapahit, petasan dijadikan, selain sebagai media, juga sebagai alat peringatan dalam sebuah tradisi ritual budaya dan keagamaan. Masyakat sangat antusias menyaksikan atraksi permainan petasan atau mercon ini.

Kemudian pada masa penjajahan Belanda, petasan sering digunakan sebagai alat persenjataan perlawanan. Kemudian setelah kemerdekaan, selain tetap dipergunakan sebagai media komunikasi, juga sebagai sarana hiburan, acara ritual keagamaan dan lain sebagainya. Kini, petasan  atau mercon menjadi sarana hiburan bagi anak-anaak dan orang dewasa pada zaman dahulu saat Lebaran.

Kemudian, selain petasan, di daerah Betawi dan wilayah lainnya di Indonesia, selain permainan petasan, juga ada permainan yang tidak kalah menarik, yaitu permainan Bledugan  -- sebuah permainan berbahan dasar karbit dan bambu besar (Bambu Petung) sebagai medianya. Cara mainnya, setelah di sundut, terbakar, dan berbunyi Bledug.  Bagi kalangan anak-anak dan orang dewasa tertentu, permainan ini sangat mengasyikkan. Tetapi bagi sebagian masyarakat, bermain petasan lebih banyak mudhararatnya ketimbang manfaatnya, karena tidak sedikit orang terluka, bahkan cukup parah. Ada yang jemarinya putus atau bahkan semua jemarinya hilang karena mereka berebut sisa petasan yang selesai dibakar. Dikira sudah mati atau tidak hidup lagi, ternyata masih aktif, seperti yang menimpa teman SD saya. Itulah mudharatnya bermain petasan. (*)

*Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pemerhati Masalah Sosial

Editor: Jufri Alkatiri