Tahilan dan Selamatan Keliling (Foto: bkkbn.go.id)

Oleh: Prof. Dr. Murodi al-Batawi, MA*

Dahulu, kisaran tahun 1970-an, ada satu tradisi Betawi yang saya alami dan lakukan sendiri; yaitu Tahlilan dan Selametan Keliling  dari satu ke rumah tetangga lainnya. Tradisi itu dilakukan oleh masyarakat di bawah pimpinan tokoh agama dan tetua kampung, pada malam Takbiran. Kegiatan tersebut dilakukan hanya pada masyarakat satu atau dua rukun tetangga saja, tidak secara keseluruhan satu kelurahan, karena terlalu luas. Hal yang sama juga dilakukan oleh masyarakat Betawi lain rukun tetangga. Jadi, kalau boleh dibilang, hampir semua masyarakat Betawi melakukan tradisi  Tahlilan dan Selametan Keliling ini pada malam takbiran, dipimpin oleh tokoh agama masing-masing dan tetua masyarakatnya.

Tradisi Tahlilan dan Selametan Malam Takbiran

Tradisi Tahlilan ini tidak ada hubungannya dengan acara kematian.Tapi acara dzikir dan do’a bersama pada malam Takbiran menjelang Iedul Fitri 1 Syawwal. Acara ini dilakukan pada mulanya di Masjid atau Mushalla setelah Shalat Isya. Kemudian diikuti oleh anggota masyarakat kampung itu yang ikut  Shalat Isya. Selesai Tahlilan di Masjid atau Mushalla mereka menyambangi satu persatu rumah penduduk.

Ketika mereka mendatangi dan memasuki rumah salah seorang anggota masyarakat, hal yang sudah pasti tersaji di dalam acara tahlilan tersebut adalah panganan dan kuliner khas Betawi; mulai dari Ketupat, Sayur Godog, Dodol, Uli, Nasi, Lauk Pauk, seperti Semur Daging Kebo, Bekakak Ayam, Opor Ayam, Ikan Bandeng, dan Serundeng.

Panganan dan Menu yang sama juga terdapat pada rumah selanjutnya. Paling ada tambahannya sedikit, seperti Rengginang, buah pisang.  Panganan dan menu tersebut tidak dimakan di lokasi, semua dicicipi dan sebagian besar dibawa pulang. Hampir sebagian besar mereka membawa kantong terigu bekas, karena saat itu belum tersedia kantung plastik kresek. Jadi, semua makanan yang diambil dan dibawa pulang, dimasukkan ke kantong terigu dan hanya dipisahkan oleh daun pisang agar tidak tercampur antara satu makanan dengan yang lainnya.

Acara Tahlilan dan Selametan Keliling ini dilakukan sampai larut malam. Terkadang sampai jam 01 malam. Usai itu, mereka kembali lagi ke Masjid atau Mushalla untuk mengikuti kegiatan Takbiran hingga menjelang Shalat Subuh. Selesai Shalat Subuh, mereka pulang ke rumah dan mempersiapkan diri untuk melakukan Shalat Iedul Fitri berjama’ah di Masjid. Jika Masjid dianggap tidak dapat menampung para jama’ah, karena jama’ah yang akan melakukan Shalat Iedul Fitri tidak hanya jana’ah tetap Masjid tersebut, juga diikuti oleh ibu-ibu dan anak-anak, maka panitia sudah mempersiapkan lapangan untuk dijadikan tempat pelaksanaan Shalat Iedul Fitri. 

Makna Tahlilan dan Selametan Keliling

Banyak makna yang terdapat dari acara Tahlilan dan Selametan Keliling ini antara lain; Solidaritas Sosial dan kebersamaan. Perasaan kebersamaan timbul karena hati esok adalah hari kemenangan mat Islam setelah selama satu bulan berpuasa. Mereka ingin mengucapkan rasa syukur atas anugerah yang telah diberikan oleh Allah, sehingga mereka bisa bertemu kembali dengan Ramadhan dan Iedul Fitri. Selain itu, kegiatan tersebut juga untuk mengingat nilai-nilai kebaikan yang terdapat pada bulan penuh ampunan tersebut. Mereka berharap dapat berjumpa kembali dengan Ramdhan di tahun betikutnya.

Makna lain dari Tahlilan dan Selametan Malam Takbiran adalah Makna Filosofis.

Makna Filosofis

1. Refleksi Diri: Tahlilan malam takbiran menjelang 1 Syawal merupakan momentum untuk melakukan refleksi diri. Dengan berdzikir dan Tahlil, masyarakat diingatkan tentang pentingnya merefleksikan diri dan memperbaiki kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan.

2. Pengembangan Diri: Tahlilan malam takbiran menjelang 1 Syawwal juga mengajarkan masyarakat tentang pentingnya pengembangan diri. Dengan membaca dzikir dan Tahlil, masyarakat diingatkan tentang pentingnya meningkatkan kualitas diri dan menjadi pribadi yang lebih baik.

3. Kesadaran Spiritual: Tahlilan malam takbiran menjelang 1 Syawwal juga mengingatkan masyarakat tentang kesadaran spiritual. Dengan membaca surat Yasin dan Tahlil, masyarakat diingatkan tentang pentingnya meningkatkan kesadaran spiritual dan menjaga hubungan yang harmonis dengan Allah Swt.

4. Penghargaan terhadap Waktu: Tahlilan malam takbiran menjelang 1 Syawwal juga mengajarkan masyarakat tentang pentingnya menghargai waktu. Dengan melakukan Tahlilan pada malam takbiran, masyarakat diingatkan tentang pentingnya menghargai waktu dan menggunakan waktu dengan bijak.

Untuk itu dapat disimpulkan bahwa acara Tradisi Tahlilan dan Selametan Malam Takbiran menjelang 1 Syawwal sangatlah mendalam dan memiliki beberapa aspek yang penting dalam kehidupan masyarakat Muslim.  Dengan memahami dan menjalankan Tahlilan dan Selametan malam takbiran, masyarakat dapat lebih taat dalam menjalankan ibadah, dan lebih peduli dalam menjalankan kehidupan sosial. (*)

*Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN Syarif  Hidayatullah Jakarta dan Pengamat Sosial Kemasyarakatan

Editor: Jufri Allkatiri