
Antara Mudik dan Ketahanan Nasional (Foto: inforadar.id)
Oleh : Renville Almatsier*
Lebaran sudah tinggal hitungan hari. Hari ini diperkirakan menjadi puncak arus orang-orang mudik ke berbagai tujuan. Sebelumnya sebagian masyarakat sibuk dan tapi juga bingung. Mereka ingin mudik agar bisa berlebaran di kampung.
Semua dibikin sibuk. Tidak saja para calon pemudik, tetapi juga Menteri, Menko, Kapolri ikut turun tangan mengecek segala sarana dan fasilitas agar tidak ada yang kurang. Para pejabat top ini ikut memeriksa mulai dari kondisi jalan dan jembatan, memastikan arus lalu lintas lancar, sampai fasilitas di rest area, termasuk peturasannya harus bersih dan kinclong. Bahkan berbagai kebijakan dibuat -- seperti merekayasa arus lalu lintas, memberi diskon tarif tol, serta juga memberlakukan sistem kerja dari manapun atau work from anywhere (WFA) terutama bagi aparatur sipil negara. Semua bertujuan agar para pemudik menikmati perjalanan sampai ke tujuan dengan aman dan nyaman, serta kembali dengan selamat.
Semua sudah siap -- namun apa daya, kondisi ekonomi negara sedang tidak baik-baik saja. “Waspadai Rupiah Anjlok Lebih Dalam”, begitu bunyi headines Kompas, 26 Maret 2025. Nilai tukar rupiah mendekati level terendah. Hal ini tentu berdampak pada daya belanja masyarakat. Buktinya tinggal beberapa hari menjelang hari besar itu penjualan tiket beberapa moda transportasi umum untuk mudik, masih sepi. Kompas beberapa hari lalu pun muncul dengan berita berjudul “Sepekan Jelang Lebaran Penjualan Tiket Masih Lesu”.
Apa yang mendorong orang-orang untuk pulang? Mudik sesungguhnya bukan sekadar arus mobilitas sosial para migran pulang kampung untuk bersilaturahim kembali dengan sanak kerabat dan kenalan. Mudik adalah pulang ke tempat asal. Bagi kebanyakan orang, pulang adalah kembali ke rumah ibu, atau tempat kita dulu dibesarkan. Rindu akan rumah masa kecil, pada suatu entitas tempat kita berasal dan tumbuh menjadi seperti sekarang ini.
Bagi banyak kalangan, pulang saat Lebaran juga menjadi sarana efektif untuk, berlibur sekaligus bertemu keluarga besar di kampung. Begitu pentingnya makna pulang, orang-orang yang sudah menjadi warga di suatu tempat dan tidak punya lagi keluarga atau rumah di kampung, pun masih rindu pulang.
Ternyata keinginan untuk pulang ke tempat asal merupakan fenomena global. Hampir dalam setiap kebudayaan urban terdapat kebiasaan pulang. Kalau kita saat Idul Fitri atau Natal, tradisi serupa juga ada dalam kultur Tionghoa yaitu tradisi Ceng Beng. Rekan saya bule dan keluarganya yang berdarah Irish dan tinggal di California, Amerika Serikat, ternyata juga mempertahankan tradisi mudik yang merupakan dampak go west leluhur mereka doeloe. Biasanya untuk merayakan Thanks giving Day. Jadilah keluarga teman itu mudik ribuan kilometer melintas benua dari kotanya San Franscisco di pantai barat ke tempat asal keluarganya di New England di pantai timur.
Saya juga lahir di kampung -- seperti para pionir yang doeloe datang ke benua baru, Amerika dan rame-rame go west, begitu juga orang tua saya. Di tahun-tahun awal kemerdekaan, kami boyong ke Jakarta. Begitulah kemudian berpuluh tahun saya bertungkus lumus di ibukota negara ini. Bertemu jodoh juga di sini. Orangtua sampai wafat, hidup di Jakarta. Di sini saya berkembang sampai punya cucu. Karena itu tidak ada alasan bagi saya bersama keluarga untuk jua rame-rame boyongan mudik tiap tahun. Saya sudah merasa "sangat Indonesia" yang bisa pulang kampung ke mana saja.
Kita bangga orang Aceh ada di Papua, orang Jawa ada di Maluku atau orang Flores hidup di Riau. Persebaran bangsa kita di seantero negeri dari Sabang smpai Merauke mencerminkan masyarakat bangsa Indonesia yang sudah berbaur, memperkokoh kesatuan mereka sebagai satu bangsa. Setelah nasib membawa mereka berada di berbagai pojok negeri, kembali ke kampung halaman masing-masing tentu keinginan rutin yang wajar namun tidaklah murah. Karena itu saya bisa mengerti kekecewaan para mudikers yang tahun ini, bila karena kendala ekonomi mereka harus batal mudik. Saya juga salut kepada mereka yang berani menempuh ratusan kilometer berboncengan anak beranak.
Pulang kampung adalah perlambang cinta tanah air. Itu adalah juga aspek ideologi dan aspek budaya yang merupakan landasan dari ketahanan nasional. Di saat negara sedang tidak baik-baik saja, ketahanan nasional harus terus dipupuk. Terutama para generasi muda yang mulai terinspirasi oleh trend yang sedang populer: #kaburajadulu.
Mudah-mudahan saudara-saudara saya yang tersebar di seantero negeri, tahun ini bisa melepas rindu pada ibu atau pada suasana kampung halaman. Sekalipun penuh perjuangan perjalanan mudik keberadaan bersama sanak keluarga di tempat asal kita harus betul-betul dinikmati. Cintailah kampung halaman, cintailah tanah air kita. Apa yang kita lakukan itu sangat bermakna untuk terus memupuk persatuan bangsa. Selamat mudik. (*)
*Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo dan Pengamat Sosial
Editor: Jufri Alkatiri