Belajar Cepat tentang Cinta Menjelang Idul Fitri (Foto: umsida.ac.id)

Oleh: Anwar Rosyid  Soediro*

Sentralitas tema cinta --  dalam semua dimensinya dapat dilihat dari banyak lirik dan renungan puisinya  para tokoh sufi, yang membantu membentuk humaniora Islam yang lebih luas dan kehidupan keagamaan dan budaya Muslim, yakni; ilmu pengetahuan yang mempelajari dan menafsirkan (rekonstruksi) simbol-simbol yang diciptakan (konstruksi) manusia secara perorangan dan masyarakat.

Peran sentral tema cinta dalam keberadaan manusia dan ilahi, sebagai kekuatan yang mencakup semua dari “keinginan” kosmik (haw?). Ungkapkan cinta dari beberapa kisah dan ajaran yang paling mengungkap secara manusiawi dan sering kali sangat provokatif tentang kekuatan cinta dan hasrat yang memotivasi.

Puisi adalah bahasa perasaan, yang dapat memadukan suatu respon yang mendalam dalam beberapa kata. Kehadiran puisi merupakan pernyataan seorang penyair, pernyataan itu berisi pengalaman batinnya sebagai hasil proses kreatif terhadap objek seni. Objek seni ini berupa masalah-masalah kehidupan dan alam sekitar ataupun segala kerahasiaan (misteri) dibalik alam realitas, dunia metafisis (Sulkifli dan Marwati, Jurnal Bastra Vol.1, Maret 2016).

Melalui puisi para penulis menggunakan tulisan mereka selain untuk mengungkapkan ide juga untuk menyampaikan perasaan mereka, membuat pembaca mengerti dan merasakan perasaan mereka serta untuk menimbulkan rasa ketertarikan pembaca, mereka seringkali menggunakan gaya bahasa kiasan dalam karya mereka. Puisi cinta biasanya banyak menggambarkan wanita-wanita cantik yang diimajinasikan atau dimetaforakan sebagai kekasihnya yang sangat dicintainya. Puisi-puisi dengan tema cinta dan kasih sayang yang penuh dengan imagery gurun banyak disukai oleh sebagian besar penyair

Kata Kunci dalam Cinta; natural, spritual-psikologis,  dan divine love:

Cinta Alamiah (Natural), yaitu cinta orang-orang biasa (al-aw?mm). Tujuannya adalah penyatuan ruh hewani, sehingga ruh masing-masing dari mereka menjadi ruh bagi yang lain melalui kenikmatan dan pengaruh hasrat yang menggebu-gebu. Puncaknya dalam tindakan adalah penyatuan seksual (nik?h), ketika gairah cinta mengalir ke dalam melalui seluruh konstitusi (jasmani) seperti air yang diserap dalam sepotong wol, atau lebih tepatnya seperti mengalirnya pewarna melalui sesuatu yang diwarnai.

Pada dasarnya jika cinta alamiah telah dialami oleh pencinta, maka dia tidak akan mencintai kekasih kecuali karena adanya manfaat yang bisa dipetik dari kekasih tersebut, seperti kenikmatan dan kelezatan. Adapun cinta organik adalah cinta yang terbatasi oleh sosok  biologis semata, seperti Qais-Laila, Qais-Lubna, Katsir-Izzah dan Jamil-Butsainah.

Hal ini tidak terjadi selain karena generalitas hubungan antara mereka berdua, seperti magnet besi. Cinta spiritual, psikis (r?h?n? nafs?), yang bertujuan untuk menyerupai yang dicintai, sambil menegakkan apa yang menjadi hak yang dicintai dan benar-benar memahami nilai sejati yang dicintai. Tujuan dari cinta ruhaniah-nafsiyah (spiritual-psikologis) adalah tasyabbuh (penyerupaan) dengan kekasih, dengan menunaikan hak dan mengetahui derajat kekasih. Cinta spiritual-psikis tidaklah bisa dibatasi, jauh dari ukuran dan bentuk. Hal itu karena energi rohaniah mengalami ketertarikan yang bersifat nisbi. Ketika nisbah menggejala pada ketertarikan antara pencinta dan kekasih, karena melihat, mendengar atau mengetahui, maka itulah yang disebut cinta.

Cinta ilahi, yang merupakan cinta Tuhan bagi hamba dan cinta hamba kepada Tuhannya, sebagaimana Dia berfirman: “Dia mencintai mereka, dan mereka mencintai-Nya” (QS. al-Maidah/5:54). Puncaknya dari kedua sisi adalah bahwa hamba secara langsung menyaksikan keberadaannya sebagai manifestasi dari Yang Nyata/Tuhan (madzhar li-l-Haqq), sementara dia bagi Yang Nyata itu muncul (melalui dirinya) sebagaimana roh bagi tubuh: tersembunyi di dalamnya dan tidak pernah (secara langsung) dirasakan.

Karena tidak ada yang menyaksikan-Nya kecuali seorang pecinta. Dan (puncaknya dari sisi lain) adalah bahwa Yang Hakiki itulah yang merupakan manifestasi bagi hamba itu, sehingga Yang Hakiki itu dikualifikasikan oleh definisi, proporsi, dan kualitas aksidental yang sama seperti hamba itu. Dia secara langsung menyaksikan hamba ini, dan pada saat itu hamba itu menjadi kekasih Yang Hakiki (mahb?b al-Haqq).

Sesungguhnya, tidak ada definisi hakiki untuk cinta yang dengannya dia benar-benar dapat diketahui, meskipun dia dapat didefinisikan oleh definisi verbal deskriptif, dan tidak lebih. Jadi siapa pun yang “mendefinisikan” cinta tidak benar-benar mengetahuinya; siapa pun yang belum mencicipinya dengan “meminum” langsung tidak benar-benar mengetahuinya; dan siapa pun yang mengatakan “Aku telah meminumnya sampai kenyang” tidak mengetahuinya sama sekali, karena cinta adalah minum tanpa pernah merasa kenyang! (bersambung)

*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni Fakultas Teknologi Pertanian UGM

  Yogyakarta

  Editor: Jufri Alkatiri