Nurcholish Madjid (Foto: wikipedia)
Pemikiran filsuf besar Yunani, Plato (427-347 SM)-- sebagai salah seorang dari tiga pendekar filsuf Barat; Socrates dan Aristoteles -- masih relevan dengan pemikiran Nurcholish Madjid atau Cak Nur yakni gagasan idealisnya mengenai tujuan pendidikan untuk membentuk karakter dan membimbing jiwa menuju kebajikan -- bukan untuk mengisi jiwa dengan pengetahuan.
Cak Nur, dalam pola fikir kritisnya sangat memahami benar apa yang telah digagas oleh Plato tersebut. Ada satu dari sekian banyak pola fikir Cak Nur dalam membentuk karakter --yang merupakan daya kritisnya yakni Psychological Striking Force atau Cak Nur sering menyebutnya dengan narasi daya tonjok psikologis. Pertanyaan yang muncul, apakah keinginan atau dobrakan pemikiran untuk kalangan milenial dan gensi masih relevan atau ditinggalkan oleh dua generasi tersebut. Sebagai seorang tokoh pembaharu, dia mengajak umat Islam untuk mulai melihat kemerdekaan-kemerdekaan berpikir dan kreativitas yang telah terpasung. Dia menyarankan suatu kebebasan berpikir dan sikap terbuka.
Nurcholish Madjid adalah ikon cendekiawan Islam yang dianggap paling kontroversi sekaligus paling kontibutif. Dia membangun nalar inklusivisme menggunakan pendekatan dan metodologi modern tanpa menafikan; argumensi doktrin-doktrin otentik Islam itu sendiri, yaitu al-Qur'an dan hadis -- plus pendapat para ulama-ulama terdahulu. Meski sejak dia mempublikasikan pemikiran-pemikirannya dan mengundang kontroversi yang hebat bahkan sampai saat ini, dia tetaplah dianggap sebagai salah seorang tokoh pemikir yang paling memiliki kontribusi yang cemerlang bagi dinamika pemikiran Indonesia.
Apa yang disinyalir dari pernyataan Cak Nur itu, penulis yakin akan mampu dilanjutkan generasi milenial dan gensi -- jika menerapkan pola berfikir kritis hibriditas yakni cara menerobos pola berfikir melalui kombinasi yang disengaja antara tradisi berfikr kritis dengan inovasi yang disempurnakan melalui kreatifitas untuk menghasilkan struktur atau praktik organisasi alternatif.
Dalam ilmu filsafat -- untuk membedah kekuatiran Cak Nur terhadap apakah pemikirannnya itu masih relavan untuk generasi milenial dan genzi -- ada beberapa pisau analisis yang bisa digunakan yaitu, rasional, kritis, radikal, deskriptif, analisis, sistematis, dan holistik. Satu persatu pisau analisis tersebut dapat dijabarkan berikut ini:
Rasional dalam menilai atau menyimpulkan sesuatu persoalan yang timbul di masyarakat harus dilihat secara akal sehat atau common sense. Apakah keinginan Cak Nur, misalnya -- terhadap milenial dan genzi bisa dibedah dengan akal sehat. Begitu juga, dalam hal memilah dan membedah sesuai dalam pemikiran milenial itu secara kritis -- melalui pertanyaan-pertanyaan yang tidak hanya menyimpulkan salah atau benar. Rasional merupakan sesuatu yang sangat penting dalam melakukan sebuah ijtihad, dimana ijtihad (usaha yang sunggug-sungguh) adalah kunci bagi umat untuk menata diri dan berkembang lebih maju dalam menjawab persoalan dinamika zaman. Fokus ijtihad lebih diarahkan dan diterapkan dalam pola pembaharuan pemikiran umat.
Semua itu tentu dapat dipecahkan melalui pemikiran yang radikal atau mendalam dengan melihat problema generasi milenial atau gensi, dari sisi pisau filsafat yakni Ontologi, Epistemologi, atau Aksiologi. Jika hal tersebut mampu menemukan sisi positif maka penjabarannya dilakukan dari sudut deskriptif -- rinci dan tegas dengan melengkapinya secara analisis. Jika sisi ini masih belum mencerahkan dari sisi filsafat ilmu, maka bisa dijabarkan secara sistematis dengan menggunakan Taksonomi Bloom --- yakni struktur hierarki yang mengidentifikasi keterampilan berpikir mulai dari jenjang yang rendah hingga jenjang yang tinggi. Dimulai dari menganalisis, evaluasi, hingga kreatif. Pada akhirnya akan muncul analisis yang holistik.
Kerangka filosofis pemikiran Cak Nur adalah membuka pandangannya terhadap Kitab Suci al-Qur’an dari sisi inspirasi, sifat, dan tujuannya. Hal ini karena karakteristik khas pandangan Cak Nur terhadap kitab suci al-Qur’an, dan sifat totalitas. pemikirannya yang dibentuk dan diarahkan oleh filsafat tersebut. Cak Nur dalam membedah suatu persoalan real yang dihadapi umat Islam berdasar atas keyakinan yang kukuh bahwa al-Qur’an adalah dokumen wahyu yang rasional dan dapat dipahami secara rasional, serta logis.
Modernisasi merupakan suatu keharusan dan bukan bisa disebut kewajiban mutlak sebab modernisasi dalam pengertian ini berarti bekerja dan berpikir menurut aturan sunatullah (hukum alam). Menjadi moderen berarti mengembangkan kemampuan berpikir secara ilmiah serta bersikap dinamis dan progresif dalam mendekati kebenaran universal.
Di sisi lain, kelebihan cara berfikir Cak Nur selalu menerapkan aliran fisafat Stoikisme yaitu salah satu aliran yang mengajarkan mengenai kendali diri. Melalui pemahaman prinsip ini, seseorang dapat mengubah perspektif tentang hidup dan menjadi lebih mampu menghadapi tantangan dengan sikap yang lebih bijaksana (wisdom) dan tenang.
Menurut A. Setyo Wibowo dalam bukunya Ataraxia: Bahagia Menurut Stoikisme, bagaimana dalam kehidupan sehari-hari, banyak orang -- cenderung lebih fokus pada aspek-aspek yang berada di luar jangkauan atau kendali mereka.
Setyo menambahkan, padahal, kunci untuk mencapai kebahagiaan, kekuatan diri, dan kebijaksanaan sebenarnya terletak pada kemampuan manusia untuk memusatkan perhatian pada hal-hal yang berada di dalam kendali diri, bukannya terjebak dalam kecemasan terhadap hal-hal yang tidak dapat dikendalikan.
Dalam pandangan Stoikisme, pentingnya fokus pada apa yang dapat dikontrol adalah fondasi dari kebijaksanaan dan ketenangan batin. Sebab, meskipun tidak dapat mengendalikan peristiwa eksternal atau menghindari ketidakpastian, manusia memiliki kendali penuh atas bagaimana cara meresponsnya.
Cak Nur mengkritisi dengan mencoba menerapkan prinsip-prinsip Stoikisme -- dapat menemukan ketenangan batin dalam menghadapi tantangan hidup dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna, secara khusus bagi kamu para pejuang mental health di manapun berada. Aliran filsafat Soikisme sudah dikenal luas dan menjelma jadi mantra untuk hidup bahagia. Di kalangan milenial dan gensi -- aliran ini sudah mencerahkan. Pasalnya, Stoikisme mampu meredam gejolak emosi yang mengharus untik berfikir rasional dan konstruktif.
Stoikisme dapat menjadi pencerahan dalam dunia yang tidak pernah berhenti berputar, menawarkan landasan yang kuat untuk mencapai kesejahteraan dan kedamaian dalam kehidupan yang tunggang langgang. Dengan mencoba menerapkan prinsip-prinsip Stoikisme, seseorang dapat menemukan ketenangan batin dalam menghadapi tantangan hidup dan menjalani kehidupan yang lebih bermakna, secara khusus bagi para pejuang mental health di manapun berada.
Manfaat lain berfikir Stoikisme – seseorang akan mampu mengelola reaksi emosional terhadap peristiwa-peristiwa yang berada di luar kendali manusia. Sebagai contoh, ketika seseorang menerima berita buruk atau menghadapi situasi sulit, maka alam fikir diajak untuk mengendalikan respons emosional, sehingga dapat menjaga ketenangan dan menghindari terjerumus dalam perasaan negatif yang dapat berdampak pada kesejahteraan mental dan fisik.
Stoikisme juga mengajarkan seseorang untuk berfikir rasional dalam membedakan antara hal-hal yang berada dalam kendali sikap dan tindakan, serta hal-hal yang berada di luar kendali diri. Niscaya, prinsip ini dapat membantu seseorang untuk tidak terlalu terbebani oleh kekhawatiran terhadap hal-hal yang tidak dapat kontrol, sehingga lebih fokus dan efektif dalam mengelola aspek-aspek yang dapat dipengaruhi.
Jufri Alkatiri/Dosen, Periset, dan Penguji Kompetensi Wartawan di Lembaga Pers Dokter Soetomo
Editor: Jufri Alkatiri