Ilustrasi layar  televisi. Foto Liputan6.com

Oleh: Zahra Sevia Savnifithri*

Analogue Switch-Off (ASO) terjemahan bebasnya berakhir sudah siaran analog lalu  digantikan dengan teknologi digital penyiaran televisi. Puluhan tahun, duduk di depan televisi dengan visual atau gambar buram, suara berisik seperti radio tua dan sinyal hilang-timbul  saat hujan turun – tetap saja dinikmati tanpa protes atau unjuk rasa.  Itulah era penyiaran analog yang telah menemani pemirsa televisi Indonesia puluhan tahun.

Teknologi penyiaran tidak pernah berhenti berinovasi dan berkrativitas, hingga pada akhirnya muncullah revolusi digital yang secara santun mengetuk pintu, membawa janji siaran televisi dengan gambar sejernih kristal, suara tajam, dan akses tidak terbatas ke berbagai konten. Inilah revolusi yang dikenal dengan nama Analogue Switch-Off (ASO). Di Indonesia, perjalanan ini bukanlah proses singkat. Mulai dari penentuan roadmap hingga berbagai kendala regulasi dan infrastruktur, perjalanan menuju siaran digital penuh lika- liku. Meski demikian, dengan berlakunya ASO pada 2022, Indonesia memasuki babak baru dalam dunia penyiaran.

ASO tidak hanya menciptakan perubahan dalam teknologi penyiaran tetapi juga mengubah cara masyarakat mengakses informasi dan hiburan. Siaran digital membuka peluang besar untuk inovasi, termasuk layanan video-on- demand, interaktivitas melalui fitur multiscreen, dan integrasi dengan platform streaming seperti YouTube dan Netflix

Analogue Switch-Off  merupakan langkah transformasional yang membawa penyiaran di Indonesia ke era digital. Dengan tantangan yang dihadapi, seperti keterbatasan akses masyarakat dan resistensi pelaku industri, transisi ini tetap memberikan manfaat sosial dan ekonomi yang besar. Digitalisasi tidak hanya menciptakan efisiensi operasional tetapi juga meningkatkan inklusivitas dan kualitas layanan penyiaran.

Terjadinya, perubahan besar ini bukan hanya tentang teknologi tetapi tentang cara menerima informasi, menikmati hiburan, dan terhubung dengan dunia. Revolusi digital ini tidak hanya menawarkan gambar yang lebih tajam dan suara lebih jernih, tetapi juga membawa peluang ekonomi, sosial, dan budaya (ekososbud) yang luar biasa.

Penyiaran analog yang telah menjadi tulang punggung penyiaran selama beberapa dekade, memiliki banyak keterbatasan. Salah satu kelemahannya adalah efisiensi penggunaan spektrum frekuensi. Teknologi analog hanya memungkinkan satu kanal frekuensi untuk menayangkan satu saluran televisi, sedangkan teknologi digital dapat memuat hingga 12 saluran dalam satu kanal frekuensi Selain efisiensi, teknologi digital juga menghadirkan kualitas visual dan audio yang jauh lebih baik, memberikan pengalaman menonton yang lebih memuaskan bagi masyarakat.

Selain sebagi peningkatan teknis, digitalisasi juga menghasilkan digital dividend-spektrum frekuensi yang sebelumnya digunakan untuk siaran analog dapat dialokasikan untuk layanan lain seperti jaringan broadband. Hal ini penting untuk mendukung pengembangan infrastruktur telekomunikasi dan mempercepat penetrasi internet, yang menjadi kebutuhan utama di era ekonomi digital

Proses ASO di Indonesia sempat menghadapi berbagai kendala, termasuk resistensi regulasi. UU Penyiaran yang ada tidak secara spesifik mengatur tentang siaran digital, sehingga tenggat waktu implementasi sering tertunda. Namun, dengan adanya UU Cipta Kerja 2020, pemerintah mempercepat transisi ini, menetapkan target penyelesaian pada 2022.

Menurut teori Adopsi Inovasi dari Everett Rogers, adopsi teknologi baru membutuhkan persiapan infrastruktur dan edukasi masyarakat. Dalam konteks ASO, penyediaan set-top box (STB) yang memungkinkan televisi analog menerima siaran digital menjadi tantangan utama. Meski pemerintah menyediakan subsidi untuk STB, distribusinya tidak selalu merata.

Implementasi ASO menawarkan manfaat yang luas, baik secara sosial maupun ekonomi. Dari sisi sosial, digitalisasi memungkinkan diversifikasi konten, memberikan lebih banyak saluran televisi dengan berbagai program yang sesuai kebutuhan masyarakat. Dengan siaran digital, masyarakat di daerah terpencil pun dapat menikmati akses yang lebih baik terhadap informasi dan hiburan

Secara ekonomi, digitalisasi memberikan efisiensi biaya operasional bagi penyedia layanan. Menurut penelitian Gultom (2018), siaran digital dapat mengurangi konsumsi daya listrik hingga 94 persen  dibandingkan siaran analog. Penghematan ini, bersama dengan efisiensi infrastruktur, memberikan insentif bagi penyedia layanan untuk berinvestasi di teknologi ini

Teori Resistance to Change oleh Kurt Lewin menjelaskan bahwa resistensi terhadap perubahan adalah hal yang wajar, terutama ketika melibatkan teknologi baru. Implementasi ASO di Indonesia menghadapi berbagai tantangan. Salah satu hambatan utama adalah keterbatasan akses masyarakat terhadap perangkat penerima siaran digital, seperti set-top box (STB). Pemerintah telah menyediakan subsidi untuk STB bagi masyarakat kurang mampu, tetapi distribusinya tidak selalu merata, terutama di daerah-daerah terpencil

Resistensi dari pelaku industri penyiaran juga menjadi kendala. Beberapa pelaku industri khawatir terhadap biaya investasi infrastruktur baru yang diperlukan untuk mendukung siaran digital. Selain itu, adanya monopoli dalam pengelolaan frekuensi siaran juga menjadi isu yang cukup sensitif.

Siaran digital diharapkan dapat lebih beradaptasi dengan kebiasaan konsumsi audiens yang semakin dinamis. Dengan terus mengembangkan layanan dan memanfaatkan teknologi canggih, seperti AI dan Big Data, penyiaran digital dapat menawarkan pengalaman yang lebih personal dan relevan bagi masyarakat

Keberhasilan ASO adalah awal dari era baru dalam penyiaran. Dengan terus berinovasi dan beradaptasi terhadap kebutuhan masyarakat, teknologi digital dapat memastikan penyiaran tetap relevan dan memberikan dampak positif bagi semua pihak. Revolusi ini, meskipun kompleks, adalah langkah penting menuju masa depan yang lebih terhubung dan canggih.

*Mahasiswi Fakultas Ilmu  Komunikasi Universitas Pancasila Jakarta

Editor: Jufri Alkatiri