Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Berlaku Bodoh atau Dzalim
Kebalikan dari al-Hakim (arif-bijakasana) adalah dzalim atau dalam teori barat disebut bertindak bodoh (foolish). Secara bahasa, dzalim atau adz-dzulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Disebutkan dalam Lisaanul Arab: Adz-dzulmu artinya meletakkan sesuatu bukan pada tempatnya. Secara istilah, zalim artinya melakukan sesuatu yang keluar dari koridor kebenaran, baik karena kurang atau melebih batas.
Al Asfahani mengatakan; Dzalim adalah meletakkan sesuatu bukan pada posisinya yang tepat baginya, baik karena kurang maupun karena adanya tambahan, baik karena tidak sesuai dari segi waktunya ataupun dari segi tempatnya” (Mufradat Allafzhil Qur’an Al Asfahani 537, dinukil dari Mausu’ah Akhlaq Durarus Saniyyah).
Ibnu ‘Arabi menjelaskan bahwa hikmah itu adalah amanat, sedangkan mengkhianati hikmah itu artinya memberi hikmah kepada yang tidak pantas menerinnmya atau bukan ahlinya sementara dia tahu bahwa orang itu bukan ahlinya, hal ini disebut dengan berkhianat. Bahkan lbnu ‘Arabi menjelaskan babwa orang alim yang memberikan hikmah kepada yang bukan ahlinya maka dia telah mendzaliminya. lni ditegaskan dengan hadits Rasulullah Saw, “Janganlah kamu memberikan hikmah pada yang bukan ahlinya maka kamu mendzaliminya, dan janganlah kamu ridak memberikannya pada yang pantas menerimanya”
Sementara wisdom dari barat menjelaskan ada beberapa hal yang menyebabkan orang cerdas bertindak bodoh karena optimisme yang tidak realistis (unrealistic optimism), atau merasa paling tahu (omniscience). atau merasa paling berkuasa (omnipotence), atau merasa kebal hukum (invulnerability), atau sifat egosentris (egocentrism), atau ke kelima hal tersebut ada menyatu dalam diri manusia.
Timur dan Barat saling melengkapi; Orang disebut dzalim yang foolish (bodoh) karena dia memberikan hikmah kepada orang yang bukan ahlinya atau tidak pantas menerimanya sementara dia tahu bahwa orang itu tidak pantas menerimanya. Tindakan ini disebabkan karena dia memiliki sifat egosentris atau dia merasa bahwa dirinya lebih tahu segala hal akan akibat yang terjadi, atau dia merasa tidak akan terjadi sesuatu apapun disebabkan kekuasaan berada dalam genggamannya, atau dia merasa kebal karena tidak ada yang bisa menjatuhkannya atau merasa optimis bahwa kejadian buruk tidak akan terjadi.
Meraih Hikmah, Mengembangkan Wisdom
Wawasan yang luas berupa Hikmah dapat diraih melelui olah suluk (olah spitual), meskipun belum tentu membuat seseorang dapat berkaku bijak dalam berinteraksi dengan orang lain, meskipun dia bisa membuat keputusan yang bijaksana dengan ilikmah yang didapatkannya. Oleh karena itu, diperlukan adanya proses pematangan diri lewat pembelajaran bagaimana mengenal pandangan orang lain dan bagaimana bersikap dengan perbedaan pandangan hingga menghasilkan kebaikan atau kesejahteraan bersama.
Dengan laku suluk hati seseorang akan memancarknn Hkkmah. Hikmah yang didapatkan di sini mengandung makna pemahaman, makrifat (ilmu laduni), pemahaman akan rahasia-rahasia ibadah dan lain-lain. Proses suluk ini juga akan membentuk kepribadian yang arif dan bijaksana.
Adapun yang dimaksud dengan proses suluk adalah melaksanakan perintah Allah dan meninggalkan larangan-Nya. Meskipun dari satu sisi. sikap yang arif dan bijaksana kadang tidak tampak bagi orang yang melaksanakan syariat. lni disebabkan karena dia lebih mengedepankan nilai-nilai lahiriah dari syariah itu sendiri dan mengabaikan sisi batiniah atau rnhasia-rahasia syariah itu. Di sinilah murysid (guru spirirual) sangat berperan dalam mendidik murid-muridnya — namun, proses ini juga bisa dilakukan tanpa guru mursyid jika pesuluk itu senruri menriliki tekad yang sangat kuat dam istiqamah.
Bagaimana mengembangkan Wisdom, yakni nilai-nilai universal dalam diri manusia, kbususnya sikap yang arif dan bijaksana. Pengembangan Wisdom dari The Balance Theory of Wisdom (Teori Keseimbangan Kearifan) ada enam belas prinsip yang digunakan dalam belajar mengajar dilakukan dalarn bentuk dialektis hingga peserta didik dapat mengembangkan pemikirannya dam bisa menerima pandangan yang berbeda.
Teori Sternberg ini tidak menyentuh masalah-masalah rutinitas keagarnaan dalam mengembangkan kearifan, tetapi dia mengajarkan hagaimana seseorang bersikap toleran dam arif dalam melihat perbedaan yang terjadu dalam keyakinan beragama. Proses kolaborasi menapaki laku suluk meraih hikmah didekati dengan teori mengembangkan wisdom dalam pribadi seseorang adalah:
a. Menapaki laku suluk (olah spiritual) dengan menghadiri majelis ahli hikmah; b.melatih diri dengan berusaha agar tetap ikhlas dalam berbuat; c. melakukan hal-hal yang meningkatkan ketakwaan; d. mawas-diri dengan memperhatikan aib sendiri daripada aib orang lain; e. senantia bersyukur; f. tidak terlalu terpengaruh dengan pujian dari pandangan umum terhadap prestasi yang telah dicapai; g. memahami bahwa sikap arif itu penting bagi kehidupan; h. belajar untuk saling bergotong royong dan bahu-membahu sesama yang lain; i.berupaya melaksanakan sikap-sikap yang bijak daripada hanya membicarakannya; j. mengembangkan diri dengan memperluas wawasan lewat bacaan tentang tema-tema yang berkaitan dengan keputusan yang bijak; k. melatih diri untuk mengenal kepentingan sendiri dan kepentingan orang lain, dan kepentingan orang-orang yang berada dalam lembaga atau lingkungan;
l. Melatih diri untuk menyeimbangkan kepentingan mereka sendiri, kepentingan orang lain, dan orang-orang yang bernda dalam lembaga-lembaga; m. menyakini bahwa materi bukanlah tujuan akhir; n.melatih diri beradaptasi, membentuk., dan menyeleksi serta bagaimana menyeimbangkan hal tersebut; o. melatih diri membentuk, mengkritik dan mengintegrasikan nilai-nilai mereka sendiri dalam pemikiran mereka; p.melatih diri berpikir secara dialektik, menyadari bahwa pertanyaan dan jawaban mereka berkembang dari waktu ke waktu; q. melatih diri bagaimana meraih kebaikan bersama; r. melatih diri memantau peristiwa-peristiwa dalam kehidupan serta proses berpikir terbadap peristiwa-peristiwa tersebut; s. melatih diri memahami pentingnya mengenal diri sendiri terhadap tekanan dari ketidak seimbangan kepentingan sendiri dan kepentingan kelompok kecil. (bersambung)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri