Isthitha’ah — Kemampuan untuk Melaksanakan Ibadah Haji

Melaksanakan Ibadah Haji (Foto: Kementrian Agama RI)

Oleh: Prof. Dr. Murodi al-Batawi, MA*

Menunaikan salah satu dari lima Rukun Islam yaitu ibadah haji merupakan impian semua umat Islam. Keinginan muslim tersebut muncul hampir setiap saat musim haji — karena berhaji merupakan salah satu rukun Islam yang wajib sekali seumur hidup. Tidak semua muslim bisa melakukan ibadah haji — karena ibadah haji memerlukan persyaratan yang mesti dipenuhi, yaitu Istitha’ah, kemampuan untuk melaksanakan badah haji.  Istitha’ah pertama:  Istitha’ah Maliyah_Istitha’ah. Kedua, istitha’ah Jismiyah atau Badaniyah, dan Istitha’ah  ketiga, Istitha’ah Amniyah

1.Istitha’ah Maliyah

Istitha’ah pertama, Istitha’ah Maliyah, yaitu kemampuan materi atau uang. Hal ini diperlukan untuk memenuhi berbagai kebutuhan untuk keperluan perbekalan ibadah haji, baik sebelum berangkat haji, saat berhaji dan saat tiba dari berhaji. Perbekalan materi sebelum berhaji untuk keperluan belanja kebutuhan pakaian, penukran uang dari rupiah ke riyal. Selain itu, uang yang ada diberikan pada keluarga yang ditinggalkan sebagai bekal keperluan sehari-hari keluarga. Untuk makan, minum dan keperluan lainnya. Terlebih jika ads tradisi Selametan yang diselenggarakan setiap malam Jum’at berdo’a bersama dengan mengundang tetangga dan para dahabat lainnya. Acara tersebut sudah pasti memerlukan anggaran yang tidak sedikit. Apalagi acara tersebut dilakukan selama jama’ah calon haji berhaji selama 40 hari lebih.

2.Istitha’ah Jasmaniyah atau Badaniyah

Ibadah haji merupakan ibadah yang memerlukan kesiapan fisik yang kuat. Karena itu, sebelum pergi berangkat haji, ada pengecekan kesehatan fisik secara keseluruhan. Mulai dari pengecekan jantung, tensi darah, dan sebagainya. Jika hasil semua tes bagus, maka ada rekomenadasi dari dinas kesehatan haji atau Puskesmas atau Rumah Sakit Umum,bahwa jama’ah calon haji diperbolehkan berangkat haji. Jika semua hasil sebaliknya, maka direkomendasikan untuk istirahat penyembuhan hingga batas waktu pemberangkatan. Meski banyak juga para jama’ah calon haji yang kurang sehat memaksa untuk diperbolehkan berangkat haji.

Istitha’ah Jamasmaniyah atau Badaniyah, sangat diperlukan karena semua rangkaian ibadah haji merupakan ibadah fisik; mulai dari proses keberangkatan dari tanah air menuju Haramain menggunakan pesawat terbang. Jika ada yang berpenyakit jantung, dikhawatirkan saat penerbangan mengalami turbulensi, akan terganggu kesehatan jantungnya. Kemudian, saat pendaratan, menanti antrean turun dan masuk ke bus pengangkut dari bandara ke Maktab atau hotel tempat penginapan para jama’ah calon haji.

3.Isthitha’ah Amniyah

Isthitha’ah ini juga tidak kalah pentingnya — karena merupakan syarat yang mesti diperhitungkan dengan cermat. Faktor keamanan, baik dalam negeri, dalam perjalanan, maupun kamanaan saat melaksanakan prosesi ibadah haji.  Keamanan dalam negeri menjadi salah satu faktor penentu keberangkatan para jama’ah calon haji. Jika dalam negeri tidak aman, maka sangat sulit untuk melaksanakan segala persiapan di dalam negeri. Apalagi ibadah haji merupakan proses kerjasama dengan luar negeri, Saudi Arabia. Hubungan bilateral ini memerlukan keamanan di dua negara. Oleh karena itu, isthitha’ah Amniyyah ini juga merupakan faktor penentu dilaksanakan ibadah haji atau tidak.

Bagi  jama’ah calon haji Tamattu’ biasanya masuk ke kota Madinah dan mengikuti kegiatan Shalat Arbai’in. Jam 2 sudah harus bangun dan mengantre untuk mandi dan persiapan Shalat Arba’in. Usai shalat Subuh berjama’ah, mereka kembali ke Maktab sambil berjalan kaki. Selama seminggu di Madinah, memerlukan ketahanan fisik yang prima.

Selesai seminggu atau delapan hari berada di Madinah,  jama’ah calon haji semua berangkat ke Mekkah al-Mukarramah. Perjalanan dari Madinah ke Mekkah memakan waktu sekitar 4-5 jam. Itu juga memerlukan energi dan kesiapan fisik, terlebih jika berangkat pada pukul 2.00 pagi, waktu yang enak untuk tidur. Setibanya di Maktab  Mekkah al-Mukarramah, mereka pun harus antre dan menunggu kopor mereka untuk di bawa ke kamar. Jika sudah menemukan kopornya masing-masing, baru istirahat sebelum melakukan Thawaf Qudum. Jika sudah siap semua, mereka secara bersama di bawah pimpinan Kepala rombongan melakukan Thawaf  Qudum. Semua proses tersebut merupakan ibadah fisik.

Proses tersebut berlanjut hingga saat pelaksanaan ibadah haji, wukuf di Arafah, Mabit di Muzdalifah, melempar jumrah di Mina. Usai semua itu, jama’ah haji kembali ke Mekkah untuk Thawaf, Sa’i, dan Tahallul.  Jika itu semua selesai dilakukan, selesailah proses pelaksanaan ibadah haji. Dan para jama’ah yang dahulunya hanya disebut jama’ah calon haji, setelah prosesi dilakansakan semuanya, mereka behak mendapat gelar haji. (*)

*Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengamat Sosial Keagamaan

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *