Komunikasi Sambung Nalar dalam Perspektif Pemikiran Kritis Generasi Milenial (1)

Komunikasi Sambung Nalar dalam Perspektif Pemikiran Kritis Generasi Milenial (Foto: kukangmerah76)

Oleh: Jufri Alkatiri *

Media film sebagai salah satu sarana komunikasi massa arus utama atau mainstream menggunakan  medium  audio visual untuk menyampaikan suatu pesan kepada sekelompok orang yang berkumpul di suatu tempat tertentu. Memiliki kelebihan dalam menyampaikan isi pesan ke penonton. Film — bahkan sering kali digunakan sebagai media yang menggambarkan kehidupan sosial dalam masyarakat. (Díaz-González & González-Del-Valle, 2021). Film hidup dari bentukan teknologi rekaman visual dan suara, termasuk unsur kesenian seperti sastra, teater, seni rupa, dan musik. Film, saat ini menjadi salah satu pilihan hiburan bagi masyarakat berbagai generasi.

Filsuf terkemuka dari abad ke-18, Immanuel Kant dalam kontribusinya di bidang epistemologi dan metafisika mengatakan, salah satu konsep utama dalam film adalah kritisisme, yang mengajak manusia untuk mempertanyakan asumsi dan pengetahuan yang mendasari pengalaman yang dialaminya. (The Philosophy of Immanuel Kant-1949)

Film mampu bercerita banyak dalam waktu  singkat. Ketika menonton film, penonton seakan-akan dapat menembus ruang dan waktu yang dapat menceritakan kehidupan dan bahkan dapat memengaruhi khalayak. Sebelum mengkritisi teori konstruksi realitas sosial dan perspektif komunikasi sambung nalar – perlu pemahaman pokok-pokok pemikiran teori tersebut. Ilmu komunikasi sebagai science mengenal berbagai macam paradigma metodologi selain mengenal pula paradigma teori.

Denzin menyebut, paradigma penelitian komunikasi ada lima: positivis, postpositivis, konstruktivis, kritis, dan partisipatoris (Denzin, 2005; Guba 2005; S.L.T., 2010). Perspektif atau paradigma ini penting sebagai salah satu sudut pandang dalam melihat gejala sosial atau realitas sosial maupun Komunikasi Sambung Nalar. (Hjelm, 2019) Konstruktivisme sebagai teori diungkapkan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann—dituangkan dalam buku the social construction of reality, the treatise in the sociology of reality, yaitu sejumlah asumsi antara lain communicative action is voluntary (tindakan komunikatif bersifat sukarela).

Kebanyakan konstruksionis memandang komunikator yang membuat pilihan — ini tidak berarti orang memiliki pilihan bebas. Lingkungan sosial memang membatasi apa yang dapat dilakukan melalui moral, peran, dan aturan kebanyakan situasi. Selain itu, knowledge is a social product (pengetahuan itu produk sosial) — bukan sesuatu yang ditemukan secara objektif, tetapi diperoleh melalui interaksi di dalam kelompok sosial. Knowledge is contextual (pengetahuan bersifat kontekstual) — terhadap peristiwa dihasilkan dari interaksi pada tempat dan waktu tertentu, pada lingkungan sosial tertentu. Pemahaman terhadap suatu hal berubah seiring berjalannya waktu. Theories creates worlds — teori  menciptakan dunia.

Teori dan penelitian di lapangan adalah cara  yang objektif untuk mengungkapkan kebenaran, namun berkontribusi lebih dalam menciptakan pengetahuan. Jadi, aktivitas penelitian ilmiah adalah dampak dari apa yang sedang diamati dan cara pengalaman dipahami.  Scholarship is values laden — kegiatan keilmuan itu sarat nilai. Pengamatan suatu penelitian atau apa yang dijelaskan dalam suatu teori komunikasi selalu dipengaruhi oleh nilai-nilai yang tertanam di dalam pendekatan yang dipakai. Salah satu model teori yang banyak dikutip adalah model teori yang diperkenalkan oleh Peter L. Berger Di sisi lain, Komunikasi Sambung Nalar — merupakan pola komunikasi yang mempertimbangkan perasaan manusia sebagai aspek yang pertama-tama dan terutama tersentuh dalam proses komunikasi. (Hoagland et al., 2020)

Pola Komunikasi Sambung Nalar tidak lain hanyalah bagian dari pola komunikasi persuasif — tepatnya pola komunikasi persuasif kultural. (Sarwono: 16: 1989). Pola Komunikasi Sambung Nalar dapat dikategorikan sebagai pola komunikasi didaktif yang bersifat mendidik sekaligus menyadarkan. Dalam praktik Komunikasi Sambung Nalar — isi dan jenis pesan yang dikomunikasikan dituntut untuk dapat meningkatkan penghayatan dalam  bidang  ilmu pengetahuan dan teknologi. Selain itu persuasif, Komunikasi Sambung Nalar tidak beraroma instruksi. (Geurts, 2018)

Hermeneutika Media Film

Film masuk dalam ranah komunikasi massa  — merupakan media yang berpengaruh bagi manusia. Dapat dimetaforakan sebagai tindakan menyuntikkan obat yang dapat langsung merasuk ke dalam jiwa si penerima pesan (Morrisan, 2005: 12). Salah satu media komunikasi massa   yang paling kuat adalah film. (Lin & Whitson, 2017) Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (2011: 125) film adalah selaput tipis yang dibuat dari seluloid untuk tempat gambar negatif (yang akan dibuat potret) atau untuk tempat gambar positif (yang akan dimainkan dalam bioskop) yang kedua film tersebut diartikan sebagai lakon (cerita) visual. (Orellana et al., 2020)

Fenomena media arus utama yang mengalami perubahan — dapat dipahami — bahwa film merupakan salah satu media komunikasi massa yang memiliki makna pesan tertentu.(Emeka et al., 2020)  Penulis tertarik melihat lebih jauh bagaimana pesan yang ingin disampaikan film. Pisau analisis yang digunakan yakni teori Konstruksi Realitas Sosial karena lebih kritis dari beberapa teori ilmu komunikasi lainnya. Peter L Berger dan Thomas Luckmann, mendefinisikan teori konstruksi realitas sosial sebagai teori yang menggambarkan proses sosial melalui tindakan dan interaksinya, yang mana individu menciptakan secara terus menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif (Liechty, 2020). Contohnya adalah ketika masyarakat menonton film – masyarakat akan mengkonstruksikan apa yang mereka lihat dari tayangan tersebut menjadi realitas. Berger dan Luckmann mengatakan terjadi dialektika antara individu menciptakan masyarakat dan masyarakat menciptakan individu.(Hjelm, 2019)

Teori yang digunakan  untuk membedah isi pesan  yakni konstruksi realitas sosial, komunikasi sambung nalar, dan teori perspektif — bagaimana proses individu dalam mengkonstruksikan realitas sosial dengan melihat dunia realitasnya yang terjadi secara subjektif (Hjelm, 2019). Menggunakan paradigma konstruktivis dengan metode interpretasi teks, dan menggunakan pendekatan kualitatif, serta memberikan sejumlah saran yang berguna untuk Generasi Milenial maupun Genarasi Z.(Yan & Lv, 2020)

Konstruksi Realitas Sosial

Konstruksi Reality Sosial   (Social Construction of Reality) didefinisikan sebagai proses sosial melalui tindakan dan interaksi dimana individu atau sekelompok individu, menciptakan secara terus-menerus suatu realitas yang dimiliki dan dialami bersama secara subjektif. (Ali & Salim, 2019). Teori ini berakar pada paradigma konstruktivis yang melihat realitas sosial sebagai konstruksi sosial yang diciptakan oleh individu – sebagai manusia bebas. Individu menjadi penentu dalam dunia sosial yang dikonstruksi berdasarkan kehendaknya, yang dalam banyak hal memiliki kebebasan untuk bertindak di luar batas kontrol struktur dan pranata sosialnya. Dalam proses sosial, manusia dipandang sebagai pencipta realitas sosial yang relatif bebas di dalam dunia sosialnya. (Chung et al., 20)

Konstruksi Sosial (social construction) merupakan teori sosiologi kontemporer yang dicetuskan oleh Peter L. Berger dan Thomas Luckmann. Disebutkan, realitas sosial eksis dengan sendirinya dan struktur dunia sosial bergantung pada manusia yang menjadi subjeknya. Kebiasaan ini memungkinkan seseorang mengatasi suatu situasi secara otomatis. Dalam situasi komunikasi interpersonal, partisipan saling mengamati dan merespon kebiasaan orang lain, dengan demikian partisipan saling mengamati dan merespon kebiasaan orang lain tersebut. Dengan kebiasaan — seseorang dapat membangun komunikasi dengan orang lain yang disesuaikan dengan tipe-tipe seseorang yang disebut dengan pengkhasan (typication).

Dalam teori konstruksi sosial Berger — realitas sosial eksis dan struktur dunia sosial bergantung pada manusia yang menjadi subjeknya. Berger memiliki kecenderungan untuk menggabungkan dua perspektif yang berbeda, yaitu perspektif fungsionalis dan interaksi simbolik, dengan mengatakan bahwa realitas sosial secara objektif memang ada (perspektif fungsionalis), namun maknanya berasal dari dan oleh hubungan subjektif individu dengan dunia objektif (perspektif interaksionis simbolik –Hjelm, 2019).

Asal usul kontruksi sosial dari filsafat kontruktivisme, yang dimulai dari gagasan-gagasan konstruktif kognitif. Dalam aliran filsasat, gagasan konstruktivisme telah muncul sejak Socrates menemukan jiwa dalam tubuh manusia, dan Plato menemukan akal budi.  Gagasan tersebut semakin konkret setelah Aristoteles mengenalkan istilah, informasi, relasi, individu, subtansi, materi, dan esensi. Ia mengatakan bahwa manusia adalah makhluk sosial, setiap pernyataan harus dapat dibuktikan kebenarannya, serta kunci pengetahuan adalah fakta. Ungkapan  Aristoteles  cogito ergo sum — saya berfikir maka  saya ada — menjadi dasar yang kuat bagi perkembangan gagasan-gagasan konstruktivisme sampai saat ini. Ada tiga macam konstruktivisme, antara lain: konstruktivisme radikal — hanya dapat mengakui apa yang dibentuk oleh pikiran dan bentuknya tidak selalu representasi di dunia nyata. Kaum konstruktivisme radikal mengesampingkan hubungan antara pengetahuan dan kenyataan sebagai suatu kriteria kebenaran. (Banifatemeh et al., 2018)

Konstruktivisme radikal hanya dapat mengetahui apa yang dibentuk dan dikonstruksikan oleh pikiran manusia. Bentukan itu harus jalan dan tidak harus selalu merupakan representasi dunia nyata. Pengetahuan tumbuh dan berkembang melalui pengalaman. Pemahaman berkembang semakin dalam dan semakin kuat apabila selalu diuji dengan pengalaman baru. Pengetahuan bagi mereka tidak merefleksi suatu realitas ontologis obyektif, namun sebuah realitas yang dibentuk oleh pengalaman seseorang. Pengetahuan selalu merupakan konstruksi dari individu yang mengetahui dan tidak dapat ditransfer kepada individu lain yang pasif  (Miller2019).

*Jurnalis Senior dan Penguji Kompetensi Wartawan (UKW) LPDS dan Kantor Berita ANTARA

Editor: Jufri Alkatiri

2 thoughts on “Komunikasi Sambung Nalar dalam Perspektif Pemikiran Kritis Generasi Milenial (1)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *