Oleh: Anwar Rosyid Soediro*
Hikmah; Ilmu dan Pemahaman, Wisdom; Tacit Knowlegde
Dalam tradisi intelektual (tasawuf) dijelaskan babwa Allah menurunkan hikmah kepada para nabinya melalui hati-hati mereka. Beherapa catatan ‘ulama sufi menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan hikmah adalah ilmu terhadap hakikat sebagaimana realitasnya dan mengamalkannya sesuai dengan tuntunannya.
Di satu sisi, ilmu juga bermakna pemahaman terhadap Al-Qur’an, pemahaman terhadap rahasia-rahasia ibadah, pengaturan (hukum) dan hikmah ilahiyah. Semua ilmu dan pemahaman inilah yang menjadi dasar agar seseorang bisa bersikap arif dalam berinteraksi dengan orong lain dan lingkungan sosialnya.
Jadi Hikmah berarti ilmu terhadap segala hakikat sebagaimana realitas dan mengamalkan ilmu tersebut sesuai dengan tuntunannya, juga berarti pemahaman terhadap Al-Qur’an, pemahaman rahasia-rahasia ibadah, makrifat, dan hal-hal yang berkaitan dengan ilmu — dengan hikmah seseorang bisa bertindak dan berperilaku secara bijak.
Dalam Wisdom mengakui adanya yang disebut dengan tacit knowledge (pengetahuan yang tidak diungkapkan) yaitu ilmu yang berorientasi pada aksi, diperoleh tanpa bantuan langsung dari orang lain, dan memungkinkan individu untuk mencapai tujuan yang mereka nilai secara pribadi.
Tacit Knowledge memiliki tiga fitur utama, yaitu: (a) prosedural; (b) relevan dengan pencapaian tujuan yang dinilai orang dan (c) biasanya diperoleh dengan bantuan dari orang lain. Tacit knowledge dijadikan landasan dalam mendefinisikan wisdom. Wisdom didefinisikan sebagai penerapan tacit knowledge yang dimediasi oleh nilai-nilai menuju tujuan mencapai kebaikan bersama melalui keseimbangan antara berbagai kepentingan intrapersonal, interpersonal, dan ekstrapersonal, dalam rangka mencapai keseimbangan antara tanggapan terhadap konteks lingkungan, berupa adaptasi terhadap konteks lingkungan yang ada, membentuk konteks lingkungan yang ada, dan memilih konteks lingkungan yang baru.
Lebih dalam Robert Sternberg menjelaskan bahwa tacit knowledge yang menjadi dasar seseorang bisa bertindak untuk mencapai kebaikan bersama dengan menyeimbangkan kepentingan intrapersonal, kepentingan interpersonal, dan kepentingan ekstrapersonal. Tacit knowledge biasanya diperoleh tanpa bantuan langsung dari orang lain yang membimbing seseorang untuk memperoleh pengetahuan ini. Dukungan lingkungan untuk memperoleh pengetahuan ini adalah minim, dan kadang-kadang organisasi secara aktual menekankan untuk meraih tacit knowledge.
Komparasi pandangan dari timur dan barat, adalah sebagai berikut:
Dalam pandangan yang sama, Ilmu Hikmah dan Pemahaman bisa diperoleh dari Allah tanpa bantuan orang lain, begitu halnya tacit knowledge juga diperoleh tanpa bantuan langsung dari orang lain. Bedanya, Hikmah dalam pandangan tradisi intelektual sufi didapatkan melalui pemberian Allah, atau proses suluk (olah spiritual), atau menghadiri majelis ahli hikmah.
Sementara tacit knowledge didapatkan berdasarkan pengalaman pribadi secara langsung meskipun orang dapat membimbing hingga memperoleh pengetabuan ini. Pengalaman pribadi yang dimakusd adalah pengalaman keseharian terhadap masalah-masalah yang silih berganti. Hikmah yang didapatkan bisa dijadikan landasan untuk memutuskan sesuatu atau bertindak sebagaimana tacit knowledge juga digunakan untuk aksi (bertindak).
Hasil komparasi menunjukkan adanya paralelisasi konsep tentang hikmah dianggap paralel dengan kossep dari sains karena adanya kemiripan konotasinya, tanpa menyamakan (mengidentikkan) keduanya.
Konsep Pemimpin yang Arif Bijaksana
Tujuan penciptaan manusia sebagai khalifah di muka bumi, menunjukkan arti bahwa manusia sebagai pemimpin (wakil Allah) secara inheren memiliki kemampuan untuk menampilkan potensi dirinya yang sesuai dengan akhlak-akhlak Allah. Semua sifat Allah termanifestasi dalam diri khalifah atau insan kamil (manusia sempuma), seperti pada pribadi para nabi-Nya. Para nabi dijadikan teladan bagi orang-orang supaya perilaku mereka bisa dilihat dan diteladani karena mereka adalah wadah yang memanifestasikan seluruh nama-Nya.
Nama-nama tersebut juga termanifestasikan dalam pribadi setiap manusia biasa meskipun tidak semuanya. Mufasir menjelaskan bahwa nama-nama disebutkan dalam Al-Qur’an supaya seorang hamha-Nya bisa berperilaku dengan nama-nama itu. Allah berfirman, Dan sesungguhnya kmu berbudi pekerti yang agung (QS. AI-Qalam [6S]: 4). Kemudian Dia sifatkan budi pekertinya dengan menggunakan nama-Nya, dan Dia sangat pengasih dan penyayang terhadap orang-orang mukmin. (QS. At-Tawbah [9]: 128).
Dengan nama-nama tersebut, kita dapat mengetahui bahwa orang berperilaku dengan salah satu nama tersebut. Ditegaskan dengan Teori ta’alluq (kebergantungan), tahaqquq (kenyataan), dan takhaluqq (berperilaku) konsep manifestasi nama-nama Tuhan dalam pribadi mauusia.
Jika seseorang mengatakan bahwa Dia itu Maha hidup, Maha Berbicara, Mahakuasa, Maha Berkeinginan, Maha Mendengar, dan Maha Melihat, maka orang itu pun memiliki potensi demikian.
Jika Dia Mahakasih lagi Maha Menghancurkan hingga menyebut semua nama-Nya maka manusia juga memiliki nama-nama itu. Sifat apapun yang disifatkan pada diri-Nya maka dalam diri makhluk-Nya telah tersifati dengan sifat itu. Nama apapun yang dinamakan pada diri-Nya melainkan hal itu telah terdapat pada sifat dan kedudukan makhluk-Nya dalam bentuk perilaku dan realitas.
Sebaliknya apa pun yang dibuktikan bagi-Nya yang tidak ada diri makhluk-Nya berarti dia telah menegasikan sifat-sifat kekurangan yang ada pada alam ini dari diri-Nya. Jadi dapat di nisbahkan nama-Nya pada orang tersebut dan kita katakan bahwa si Fulan sedang berperilaku dengan ”nama perbuatan” Tuhan jika perilakunya sesuai dengan “nama perbuatan”.
Teori seorang pemimpin dari barat WICS (Wisdom, Intelligence, Creativity, Synthesized) dalam model kepemimpinan; Seseorang yang bisa dikatakan berhasil jika dia bisa mensintesiskan antara kearifan, kecerdasan, dan kreativitas dalam pribadinya.
Seorang pemimpin yang efektif membutuhkan keterampilan dan sikap kreatif untuk memunculkan ide-ide membutuhkan keterampilan akademik dan sikap untuk memutuskan apakah itu merupakan ide yang baik, membutuhkan keterampilan praktikal dan sikap untuk membuat ide-ide pekerjaan dan meyakinkan orang lain dari nilai dari ide-ide tersebut, dan mnembutuhkan wisdom yang berbasis keterampilan dan sikap untuk memastikan bahwa ide-ide itu dalam melayani kepentingan umum bukan hanya untuk kebaikan bagi pemimpin atau mungkin bagi beberapa orang dan anggota keluarga atau para pengikut.
Penelitian secara empiris membuktikan bahwa kearifan, kecerdasan, dan kreativitas ada dalam pribadi manusia. Hal ini adalah sosok pemimpin yang ideal yakni seorang pemimpin yang bisa mensintesiskan ketiga komponen itu dalam parilakunya.
Seorang pemimpin yang kurang kreatif tidak akan mampu menghadapi situasi baru dan sulit seperti timbulnya permusuhan yang tidak terduga.
Seorang pemimpin yang tidak memiliki kecerdasan akademis tidak akan dapat memutuskan apakah ide-idenya itu layak dan seorang pemimpin yang tidak memiliki kecerdasan praktis tidak akan mampu menerapkan ide-idenya secara efektif.
Seorang pemimpin yang tidak arif mungkin berhasil dalam menerapkan ide-idenya tetapi mungkin ide-ide yang diterapkan itu bertentangan dengan kepentingan yang terbaik bagi orang-orang yang dia pimpin.
Penelitian Sternberg (2005) menjelaskan bahwa model WICS itu terkait dengan beberapa model kepemimpinan yang lain. WICS menggabungkan elemen-elemen kepemimpinan transformasional dalam domain kreativitas seperti “kepemimpinan transaksional” (pandangan Bass, 1998; Bass & Avolio, 1994; Bass, Avolio, & Atwa!er, 1996 dalam Sternberg, 2005) dalam domain intelektual praktis.
WICS juga mencakup aspek-aspek “kepemimpinan yang cerdas secara emosional” pandangan Goleman, 1998) dalam domain intelektual-praktis dan wisdom. WICS juga mencakup kepemimpinan visioner (pandangan Saahkin, 1988, 2004 dalam Sternberg, 2005) dan kepemimpinan karismatik (pandangan Conger & Kanugo, 1998; Webnr, 1968 dalam Sternberg, 2005) dalarn domain kreativitas. WICS mengintegrasikan beberpa model-model kepemimpinan sebelumnya dan mengkonseptualisasikannya dalam naungan theoretical umbrella (teori payung).
Analisis komparatif pemimpin arif bijaksana dari pandangan timur dan barat adalah sebagai berikut:
Jauh sebelum Robert Sternberg membuktikan bahwa kreativitas, inteligensi, dan wisdom (kearifan) itu ada dalam pribadi manusia melalui pembuktian empirisnya, tradisi intelektual atau pandangan tasawuf telah menjelaskan hal tersebut bahwa parilaku manusia itu adalah manifestasi nama-nama Allah pada diri-Nya.
Jika Allah itu Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana maka dalam pribadi manusia terwujudkan sebagai makhluk yang memiliki inteligensi tinggi dan penuh kearifan atau bijaksana. Jika Allah itu Maha Mencipta lagi Maha Mengetahui maka dalam pribadi manusia terwujudkan sebagai makhluk yang kreatif dan memiliki inteligensi tinggi. Begitu juga nama- nama (asmaul husna) yang lain.
Dengan demikian, pendekatan empiris telah menverifikasi pernyataan al-Qur’an bahwa manusia sebagai khalifah (pemimpin) yang mewakili Tuhan melalui hasil penelilian empiris dengan model WICS. WaAllahu a’lam. (habis)
*Pemerhati Keagamaan, Filsafat, dan Alumni UGM Yogyakarta
Editor: Jufri Alkatiri