Oleh: Prof. Dr. Murodi al-Batawi, MA*
Sekadar berbagi informasi mengenai peristiwa bergejolak antara Aceh dan Sumatera Utara akibat kebijakan Kementrian Dalam Negeri atau Mendagri. Baru-baru ini beredar berita tentang Aceh dan Sumarera Utara, terkait beralihnya empat pulau milik Provinsi Aceh ke wilayah Sumatera Utara.
Protes pun terjadi — Gubernur Muzakir Manaf dan masyarakat Aceh marah besar, karena keempat pulau tersebut memiliki sejarah panjang dan secara administratif sudah menjadi bagian dari wilayah Aceh sejak lama. Tetapi akibat munculnya Surat Keputusan Mendagri, yang memasukan empat pulau itu ke wilayah Sumatera Utara — secara beramai masyarakat dan tokohnya melakukan protes keras. Mereka meminta surat tersebut dibatalkan dan segera dicabut. Pasalnya, secara historis terdapat data menarik untuk dijadikan bahan renungan buat para pembuat kebijakan. Sekadar berbagi informasi sejarah bahwa pada masa lalu ada upaya penggabungan wilayah Aceh ke Sumatera Timur (sekarang Sumateta Utara).
Pada masa Orde Lama dijelaskan bahwa dahulu, ketika ada upaya menggabungkan wilayah Aceh masuk ke Sumatera Timur — muncul berbagai penolakan dari masyarakat Aceh, sehingga melahirkan Gerakan DI/TII oleh Daud Bereuh. Gerakan pemberontakan ini terus mengkristal sampai melahirkan kelompok pembetontak lainnya, yaitu Gerakan Aceh Merdeka (GAM) — Pemerintah Orde Baru mengeluarkan kebijakan politik dengan menjadikan Aceh sebagai Daerah Operasi Militer (DOM). Gerakan penolakan ini baru terselesaikan saat Jusuf Kalla (JK) menjadi Wapres. Dia berusaha dengan kemampuan diplomasi politiknya, untuk mengajak semua pihak menyelesaikan konflik itu secara damai dan membawa persoalan itu pada level internasional, akhirnya terjadi kesepakatan antara pihak RI yang diwakili JK dengan pihak GAM di Jenewa dengan Perjanjian Helsinki.
Perjanjian ini mengakhiri konflik bersenjata tersebut dan GAM mau bergabung kembali ke pangkuan RI. Sekarang, luka lama yang belum sembuh tersebut diberi cuka dan dikorek kembali, sehingga membangkitkan kembali semangat juang dan perlawanan rakyat Aceh. Saya khawatir, akan kemunculan gerakan perlawanan bersenjata kembali yang dilakukan oleh masyarakat Aceh yang menjadi simpatisan GAM sejak lama. Mestinya, sebelum memutuskan kebijakan politik, minta masukan dari masyarakat termasuk kajian historisnya, baik oleh akademisi dan politisi asal Aceh — karena mereka punya data historis penting. Ajak mereka bicara serius. Jangan sampai masyarakat Aceh membangunkan kembali jiwa GAM yang memang akan bangkit jika merasa terusik.
Aceh punya sejarah perlawanan yang panjang dan cukup lama. Mulai dari perang Aceh. Perang Sabi, Perlawanan Cut Nyak, DI/TII dan GAM. Semoga Keputusan Mendagri tersebut segera dicabut dan dibatalkan. Selain itu, secara historis diketahui bahwa para Raja dan Sultan Aceh rela menanggalkan jabatan Kesultanan Aceh demi bersatu dengan NKRI. Mereka juga rela mengumpulkan harta dan emas dari rakyat untuk dijual dan dibelikan Pesawat Garuda 01 dan disumbangkan untuk Pemerintah RI.
Disamping itu — masyarakat Aceh juga mengumpulkan dana dan emas untuk disumbangkan buat pembuatan Api Monumen Nasional (Monas) yang terbuat dari emas. Jika itu semua dijadikan dasar data sejarah sebagai bukti kepatuhan rakyat Aceh terhadap NKRI — maka sewajarnya para pemimpin negeri ini bila ingin membuat kebijakan perhatikan itu semua. Jangan diabaikan kontribusi dan pengorbanan yang mereka berikan untuk NKRI. (*)
*Dosen Tetap Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta dan Pengamat Sosial Keagamaan
Editor: Jufri Alkatiri