Raja Ampat dan Pengalaman dengan Hutan di Riau

Oleh: Renville Almatsier*

Tidak ada yang abadi di dunia. Apalagi bila hal itu berkaitan dengan cuan (uang). Keindahan alam dan keaneka ragaman hayati pulau-pulau kecil di Raja Ampat, Papua Barat Daya yang semula dipuja sebagai surga akhirnya harus menghadapi prahara, diserbu oleh konsesi pertambangan nikel. Rame-rame kegiatan di kawasan Raja Ampat yang sudah ditetapkan sebagai Global Geopark oleh UNESCO ini, mengingatkan saya pada hutan-hutan di pedalaman Riau. Ini pengalaman di era tahun 1970-an.

Hutan Riau adalah secuil hutan tropis yang masih tersisa di negeri ini. Tuhan menakdirkan bahwa bagian tengah Pulau Sumatera itu kaya akan minyak bumi. Jauh sebelum Perang Dunia II — daerah yang kini masuk bagian Provinsi Riau sudah dieksplorasi dan kenyataannya berhasil. Untuk mengeluarkan kandungan yang kaya itu tentu saja dibutuhkan prasarana dan teknologi canggih.

Ketika itulah saya mulai miris melihat pembangunan jalan dan jaringan pipa dibangun melintas hutan dan rawa. Setiap kali terbang dengan helikopter untuk tujuan operasional, saya masih sempat terkagum-kagum pada kepadatan hutan di bawah sana. Ketika itu kesadaran lingkungan saya masih tinggi.

Kenyataannya kemudian, produksi migas daerah ini pernah mencapai separuh produksi nasional yang telah kita nikmati dalam bentuk pembangunan negara. Waktu berjalan — ternyata hasil penelitian menemukan adanya kandungan di lapisan dangkal. Namun dibutuhkan teknologi lebih canggih untuk mengangkat kekayaan mineral yang lebih kental ke atas.

Untuk menghindari kerusakan alam, perusahaan pengelola memilih tidak melakukan open pit atau pertambangan terbuka, melainkan memancing minyak keluar dengan menyuntikkan uap air dan berbagai bahan lain. Diperlukan investasi besar untuk tambahan devisa dan lapangan kerja ribuan orang.  Untuk meyakinkan pemerintah, presentasi dilakukan langsung kepada penguasa tertinggi negeri ini. Singkat cerita, proyek besar itu pun berhasil menaikkan produksi minyak.

Kemajuan teknologi maju terus  ketika dapat dibuktikan bahwa masih banyak  kekayaan alam yang terpendam. Kesulitan tiba ketika endapan emas hitam itu justru berada di tengah hutan yang belum terjamah. Tepatnya di dasar dua danau indah yang belum banyak dikenal orang. Ketika saya ke sana  kondisinya masih perawan. Liar, indah dan belum terjamah. Hutan tropis tumbuh rapat sampai ke tepi danau.

 Beruntung pimpinan perusahaan  memiliki kepekaan pada perlindungan alam. Di saat negara sedang perlu dana untuk pembangunan. Bos yang sangat sadar lingkungan itu menekankan perlunya mengupayakan cara terbaik mengambil kekayaan bumi tanpa merusak lingkungan. Untuk menjaga kelestarian lingkungan, ditemukan cara pengeboran miring atau directionally drilling demi menarik emas hitam dari sarangnya. Minyak didapat, alam tetap terjaga.

Namun apa yang terjadi sesudah itu ? Di luar nalar saya sebagai seorang warga yang tidak kuasa apa-apa, hutan yang semula “kami” jaga betul kelestariannya, ternyata telah  dirambah oleh pengekor lain. Ketika ada kesempatan terbang lagi di akhir 1990-an, keadaan sudah berubah banyak. Hanya tenggang waktu beberapa tahun, semua sudah berubah. Hutan-hutan telah dibabat dan digunduli untuk bebagai kepentingan, mulai  dari industri kayu lapis yang pernah jaya, sampai yang paling mengenaskan perkebunan sawit.

Kini, saya sudah jauh dari Riau. Tidak tau lagi apa yang terjadi di sana. Menurut kabar, hutan-hutan yang doeloe terbentang di bawah, ketika saya melintas dengan helikopter, sudah berubah menjadi perkebunan sawit yang maha luas.

Hutan yang pernah menakutkan saya ketika tersesat saat senja makin pekat dan saya tidak tau arah ketika berlari bersama klub Hash House Harriers, sudah menipis.. Saya pun pernah menyususuri anak-anak sungai bersama keluarga-keluarga bule yang sadar lingkungan. Terdampar di gosong pasir, berani berenang meski konon ada buaya di sana. Entah bagaimana sekarang keadaannya? Sudahkah jadi objek pariwisata juga? Yang lebih penting sudahkah memberi manfaat bagi pembangunan?

Kini, saya mendengar tentang Raja Ampat yang saya kagumi keindahannya namun belum sempat  menyaksikannya  dengan mata langsung. Ternyata sebagian bukit sudah dikeruk, digledor. Buldozer, grader, dan alat-alat berat lainnya sudah merambah hutan-hutan yang indah luar biasa dari udara itu. Tentu ada bedanya antara menambang migas dan menambang nikel. Untuk urusan begini orang kadang sangat sigap dan tangkas.

Hutan, laut, gunung, lembah, sungai, bagian dari alam sebagai sumber ilmu pengetahuan, bisa menghidupkan imajinasi ke mana-mana. Sayangnya daya imajinasi manusia kian hari kian menyempit, sebatas duit. Segala hal melulu dilihat dari aspek techno-economics. Hutan dibabat, laut dipagari, bumi dikeruk, tambang dikuras dibagi-bagi untuk memenuhi haus akan harta dan kekuasaan segelintir kepala, entah siapa. Kabar terakhir, empat surat izin usaha pertambangan (IUP) sudah dicabut. Memang belum terlambat, mudah-mudahan Surga tidak terlanjur jadi Neraka.

*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo

  Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *