Budaya Korupsi dan Masa Depan Indonesia: Sebuah Renungan

Oleh: Kurniawan Zulkarnain*

Pada tanggal 26 Juni 2025 Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) melakukan Operasi Tangkap Tangan (OTT) terhadap Tofan Ginting yang merupakan Kepala Dinas Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Provinsi Sumatera Utara karena praktek suap pembangunan jalan. Dikabarkan Topan ini merupakan orang dekat Bobby Nasution — Gubernur Sumatra Utara yang notabene menantu Presiden RI ke-7 Joko Widodo.Peristiwa. OTT ini merupakan cerita bersambung dari OTT-OTT sebelumnya atas  tindakan korupsi para oknum pejabat NKRI.

Perbuatan korupsi  dilakukan oleh sejumlah oknum pejabat negara dengan spektrum yang luas dari  mulai  Legislatif (DPR dan DPRD), hingga Yudikatif (Mahkamah Agung dan Pengadilan), serta Eksekutif (Kementrian/lembaga, Pemerintah Daerah dan Kepala Desa). Perbuatan Korupsi juga dilakukan oleh pejabat BUMN. Menurut Kepala PPATK Ivan Yustianvandana, total transaksi aliran dana pada kasus dugaan korupsi selama tahun 2024 mencapai Rp.984 Trilyun — hampir sepertiga anggaran negara.

Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia menurut Transparancy Indonesia pada tahun 2024 menempati urutan 99 dari 180 negara, dengan skor 37.  Skor IPK berkisar antara 0 (sangat korup ) sampai 100 (sangat bersih dari Korupsi). IPK Indonesia terburuk di Asia Tenggara, sementara dengan IPK terbaiknya adalah Singapura dengan skor 85  yang berada pada urutan 5 dari 180 negara. Negara paling bersih dari korupsi adalah Denmark,sementara yang paling korup adalah Somalia.

Budaya Korupsi

Undang-undang (UU) nomor 31 Tahun 1999 jo UU 2001 menyatakan bahwa korupsi adalah setiap perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh siapa saja dengan menyalahgunakan kewenangan, kesempatan atau sarana yang ada padanya karena jabatan atau kedudukan,dengan tujuan untuk memperkaya diri sendiri atau orang lain atau suatu korporasi yang merugikan keuangan negara atau perekonomian negara.

Dalam pandangan Syed Husein Nasr Alatas — Sosiolog Malaysia dalam bukunya Sosiology of Coruption menyatakan bahwa korupsi adalah penyalahgunaan kepercayaan untuk keuntungan pribadi,yang melibatkan tindakan seperti suap, pemerasan, nepotisme, dan penipuan dalam jabatan publik. Sementara menurut Gunnar Myrdal (Ekonom Pemenang Nobel) dalam bukunya Asian Drama menyebutkan bahwa korupsi adalah hambatan pembangunan karena merusak efisiensi birokrasi,memperlambat pertumbuhan ekonomi dan merusak legitimasi negara.

Perbuatan korupsi yang dilakukan oleh oknum pejabat dari tingkat pusat hingga daerah bahkan tingkat desa terjadi dalam kurun waktu yang cukup lama dan berulang-ulang seolah menjadi budaya. Perbuatan tersebut dilakukan tanpa malu dan rasa bersalah dan menyesal. Tampaknya budaya korupsi tengah menggatikah budaya malu.

Tindakan perbuatan korupsi menurut para ahli, terjadi karena  gaya hidup konsumtif dan hidonis yang mendorong seorang pejabat menyalahgunakan wewenang dan kekuasaanya. Lemahnya nilai kejujuran, tanggung jawab, rendahnya rasa malu dan takut pada hukuman.Tindakan korupsi terjadi karena lemahnya penegakan hukum pelaku korupsi sering lolos atau dihukum terlalu ringan.Rendahnya transparansi dan akuntabilitas birokrasi, sistem rekrutmen politik yang mahal (politik biaya tinggi) memicu praktek “balik modal” saat menjabat. Partai politik menjadi alat mencari dana bukan perjuangan ideologi.

Rendahnya gaji ASN atau pejabat yang rendah mendorongngnya untuk mencari pemasukan secara ilegal. Ketimpangan ekonomi telah menciptakan rasa ketidakadilan dan menjadi dorongan untuk memperkaya diri. Dari sisi budaya yaitu patronase dan nepotisme berupa “asal bapak senang” balas budi dan kolusi sangat kuat. Adanya sikap permisif masyarakat terhadap suap dan gratikasi serta korupsi dianggap lumrah atau risiko jabatan.

Korupsi telah merajalela pada semula lini kehidupan mulai mengurus KTP, surat-surat perizinan, mark-up biaya proyek dan lainnya serta yang lebih tragis lagi korupsi terjadi di dunia pendidikan. Praktek korupsi telah terjadi dalam kurun waktu lama dan terjadi ber-ulang-ulang,maka korupsi dipandang sebagai bagian hidup sehari-hari dan seolah telah  menjadi budaya.

Korupsi dan Budaya Jawa

Relasi praktek korupsi   sangat erat kaitannya dengan kekuasaan  dan berkelindan membentuk kebiasaan. Kekuasaan,dalam pandangan Benedict Anderson– pengarang Buku The Ideas Power in Javanese Culture— dalam budaya Jawa kekuasaan dianggap sebagai subtansi atau energi metafisik, bukan hasil dari legitimasi rakyat atau konsensus sosial, melainkan sebagai daya (kesaktian) yang melekat pada individu tertentu.

Selanjutnya  masih menurut Benedict, kekuasaan diekspresikan lewat simbol dan ritus, bukan melalui ideologi politik atau pernyataan kebijakan. Seorang raja atau pemimpin menunjukkan kekuasaannya melalui keraton, pakaian, pusaka, gamelan, upacara, dan bukan melalui perdebatan politik. Bahasa keraton yang halus dan berlapis-lapis menjadi bagian dari kekusaan simbolik ini.

Lebih jauh Benedict menjelaskan bahwa dalam  budaya Jawa ini, oposi tidak dianggap sah karena kekuasaan dianggap sebagai sebagai yang tunggal dan tidak terbagi. Oposisi dianggap sebagai gangguan kosmis atau sebagai tanda kekacauan. Dalam sejarah Jawa pergantian kekuasaan sering kali bermuara pada perebutan atau kudeta bukan transisi yang terstruktur.

Kuncaraningrat — seorang Antropolog dan pengarang Buku Manusia Indonesia dan Kebudayaan berpandangan bahwa budaya tradisional melihat kekuasaan sebagai sesuatu yang sakral dan absolut, kekuasaan cenderung dipusatkan dan didekati dengan sikap feodal — yaitu menghormati pemimpin secara mutlak dan menghindari kritik.

Dua pandangan di atas mengkonfirmasi bahwa masyarakat dengan struktur hirarkis dan patron-klien, kekuasaan sering dipandang sebagai alat untuk memperkaya diri dan kelompok. Dalam struktur demikian, korupsi dianggap wajar atau bahkan “berhak” dilakukan oleh mereka yang sudah berjuang meraih kekuasaan. Selanjutnya, korupsi terjadi karena loyalitas lebih kuat kepada kelompok (keluarga, suku, dan teman dekat) dibanding hukum.dan negara.

Upaya Pemberantasan Korupsi di Indonesia

Perbuatan  korupsi sangat merusak masa depan bangsa. Tindakan tersebut berdampak secara luas dan merugikan diberbagai sektor. Korupsi menghambat pertumbuhan ekonomi karena investasi menurun. Korupsi juga menyebabkan in-efisiensi anggaran negara yang seharusnya digunakan untuk pembangunan digunakan ke kantong pribadi oknum,sehingga proyek vital tertunda. Proyek pembangunan jalan, jembatan, sekolah, dan rumah sakit seringkali dikorupsi sehingga hasilnya rapuh dan cepat rusak.

Tindak pidana korupsi berdampak pada terjadinya ketimpangan sosial dan kimiskinan,karena bantuan sosial dan program bantuan untuk warga miskin disalahgunakan. Penyalahgunaan dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS), Bansos, dan fasilitas publik dikorupsi mengakibatkan fasilitas dan layanan kesehatan jadi buruk. Tenaga profesional frustasi, guru, dokter, dan pekerja publik lainnya menjadi kehilangan semangat karena sistemnya bobrok dan tidak adil.

Akibat penyalahgunaan kekuasaan membuat pejabat lebih mementingkan kepentingan pribadi/kelompok daripada kepentingan rakyat. Korupsi juga menyebabkan publik kehilangan kepercayaan, masyarakat menjadi apatis terhadap pemerintah dan politik karena merasa tidak didengar dan dikhianati.

Untuk menuju  Indonesia  yang lebih baik  dan bebas korupsi, perlu ada upaya untuk mendorong pemberantasan korupsi yang dilakukan secara   sungguh-sungguh dan  ekstra keras. Upaya itu antara lain dapat dilakukan dengan — Pertama melakukan penguatan lembaga antikorupsi seperti KPK, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian. Penguatan dapat dilakukan dengan membangun indepensi KPK dan menerapkan meritokrasi pada Lembaga antikorupsi tersebut. Kedua, penerapan hukuman maksimal dan efek jera termasuk pencabutan hak politik,dan denda besar dan mendorong para pihak untuk menyusun dan mengesahkan Undang-Undang Perampasan Aset.

Upaya pencegahan perlu dipastikan dengan sistem pelayanan publik yang lebih transparan dan digitalisasi guna mengurangi kontak langsung yang rawan suap. Pendidikan antikorupsi sejak dini perlu digalakan lagi dengan memasukan dalam kurikulum sekolah dan pendidikan karakter. Partisipasi masyarakat dengan membangun keterbukaan informasi publik, memungkinkannya untuk mengakses anggaran, laporan keuangan dan kegiatan pemerintahan. Kolaborasi dengan mass-media perlu digalakan,  dibangun, dan dijaga kebebasannya.

Dengan memahami akar masalah korupsi dan mendorong upaya pemberantasannya lebih keras,kita berharap dapat membangun Negara Indonesia yang kaya sumber daya alamnya, tetapi sebagian besarnya masyarakatnya  terjerat  lingkaran kemiskinan. Bagai Ayam mati di lumbung padi — sebuah paradoks. Wallahu ‘Alam Bisowab.

*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *