Oleh: Renville Almatsier*
Saya berjalan agak tergesa, turun dari stasiun KRL Palmerah, Jakarta Barat — ketika tiba-tiba mata saya tertumbuk pada sesuatu yang menarik. Bersandar pada dinding di sisi trotoar, terlihat seseorang berselonjor di lantai sedang membaca koran yang tampak sudah lusuh. Dia harus meratakan dulu kertas koran yang remoh itu agar matanya tidak terganggu. Cuek pada yang lalu lalang, asyik sekali orang itu tampaknya. Di depannya ada setumpuk lagi koran dalam keadaan remuk-lecek. Agaknya orang itu adalah pemulung.
Dari pembahasan di berbagai media, kita harus mengakui bahwa minat baca bangsa kita sangat ketinggalan. Menurut Catatan Iptek, tulisan Ahmad Arif (Kompas, 18/9/16), data UNESCO 2012 menunjukkan bahwa index minat baca di Indonesia 0,001. Artinya setiap 1.000 penduduk hanya satu yang memiliki minat baca. Dalam World’s Most Literate Nations, yang dikutip penulisnya, Indonesia berada pada urutan ke-60 dari 61 negara yang disurvei. Hanya di atas Botswana, negara kecil di Afrika.
Tulisan lain dari Idi Subandy Ibrahim (Kompas, 14/5/22) mengutip Prof Denys Lombard, seorang pakar sejarah Indonesia asal Perancis yang mencatat, secara umum orang Indonesia sedikit sekali membaca. Sebaliknya, data dari tulisan yang sama juga menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara pengguna aktif Facebook nomor 4 dunia (60,3 juta pengguna), nomor 3 untuk Twitter (50 juta), dan minimal 4,1 juta tweet per hari. Internet sebagai ujung tombak dari teknologi digital memang menyediakan kemudahan mengakses informasi dan pengetahuan. Tetapi menurut peneliti sosial Sherry Turkle (2011), teknologi ini juga melahirkan pendangkalan kemampuan bernalar.
Rendahnya minat baca jelas mempengaruhi kemampuan literasi. Literasi adalah kemampuan memahami, mengevaluasi, dan menggunakan teks tertulis sebagai medium komunikasi di masyarakat dan mengembangkan pengetahuan. Sayang saya tidak memiliki data mutakhir. Tetapi informasi catatan Iptek lainnya, tulisan Zaid Wahyudi (Kompas, 24/7/2024), merujuk bahwa mulai tahun ajaran 2024/2025 ada program baru Sastra Masuk Kurikulum yang diharapkan mendorong minat baca dan literasi siswa SD hingga SMA/SMK. Progam ini diharapkan bisa mendorong kemampuan siswa berpikir kritis dan kreatif, berkomunikasi dan berempati.
Tidak bisa dipungkiri, rendahnya kemampuan membaca menimbulkan banyak masalah, mulai rentan menimbulkan kesalahpahaman sederhana, munculnya tindak kekerasan dan konflik, hingga salah memilih pemimpin. Memang tidak mudah mendorong orangtua dan anak untuk menumbuhkan minat baca dan mencintai buku. Orang-orang di negeri ini tampaknya jauh lebih gandrung dengan kisah-kisah mistis, gosip, desas-desus, guyon, dan ngerumpi sehingga mitos dan berbagai simbolismenya berkembang biak di era kejayaan media sosial kini. Sekalipun angka melek huruf relatif meningkat dalam dua dekade terakhir, dominasi budaya visual (televisi) dan budaya digital (internet) relatif kurang menggerakkan budaya baca.
Kembali kepada pengalaman di kaki-lima tadi, sebelumnya di atas KRL saya melihat para penumpang lain sibuk menatap (atau bolehkah disebut membaca?) telepon-genggam. Begitu juga di atas MRT saya selalu menemukan orang yang mengisi waktu dengan alat canggih itu.
Zaman memang sudah berubah. Beda dengan apa yang saya lihat beberapa tahun lalu di atas Kereta Sobu-lines di Tokyo. Di tengah kepadatan penumpang, sambil satu tangan bergayut melawan goncangan kereta, orang masih bertahan membaca buku di tangan yang lain. Lain pula di atas commuterline dari Whie Plains, di pinggiran New York, orang sibuk membaca The New York Times. Dan meninggalkan sampahnya yang setebal kamus itu begitu saja di bangku kereta atau tong sampah. Tiba di tujuan, Grand Central Station New York City, saya buru-buru memungut koran sampah itu, memilah halaman-halaman beritanya dan menyisihkan halaman iklannya, sebagai bacaan gratis. Mungkin penumpang kendaraan umum di Tokyo, New York atau di tempat lain kini juga sudah beralih tidak lagi memegang buku atau koran tetapi menatap smartphone. Entah membaca, menonton atau main games?
Mudah-mudahan apa yang saya lihat di pinggir jalan tadi, merupakan cerminan membaiknya minat baca masyarakat kita. Dan ke depan, kita tidak akan lagi disuguhi tontonan video yang menertawakan anak-anak termasuk remaja kita ketika mereka memberi jawaban bodoh atas pertanyaan sederhana — akibat kurang membaca. (*)
*Pengamat Sosial dan Mantan Jurnalis Majalah Berita Tempo
Editor: Jufri Alkatiri