Program Ketahanan Pangan Kita : Dimanakah Petani-Nelayan Kecil Berdiri?

Oleh:  Kurniawan Zulkarnain*

Guna mengantisipasi terjadinya krisis pangan dan energi, karena eskalasi politik global, langkah sigap Pemerintah perlu diacungi jempol. Langkah itu adalah membangun ketahanan pangan yang dicanangkan Presiden Prabowo. Program ini dilaksanakan berbarengan dengan ketahahan energi dan ketahanan Ekonomi.Pelaksanaan Program ketahanan pangan dilakukan oleh para pihak yaitu Kementrian/Lembaga,TNI/Polri, dan masyarakat petani dengan Kementrian Pertanian berdiri di depan. Agar program.tersebut berhasil, kita harus mengawal dan mengkritisinya.

Di tengah gelombang dunia yang tidak lagi ramah, Indonesia tidak boleh diam — menyusun ketahanannya: membentengi diri lewat pangan yang ditanam sendiri, energi yang diolah mandiri, dan ekonomi yang dipacu dari dalam negeri. Dari hamparan sawah hingga pipa gas di laut lepas, dari dapur rumah tangga hingga neraca kebijakan fiskal—ini adalah narasi tentang daya tahan dalam rupa kebijakan.

Data menjadi saksi. Pada kuartal awal 2025, produksi beras nasional melonjak 52 persen dibandingkan tahun lalu, menyentuh angka 8,67 juta ton. Harga stabil dikisaran Rp12.800/kg, sementara negara tetangga masih berjuang menekan volatilitas pangan. Pemerintah, melalui Kementerian Keuangan, mengucurkan Rp155,5 triliun untuk sektor ketahanan pangan, naik 36 persen dari 2024. Anggaran itu menjelma menjadi pupuk bersubsidi, intensifikasi sawah, dan lebih dari 77 ribu unit alsintan yang disebar ke penjuru negeri.

Tidak hanya di lahan, ketahanan juga berbicara lewat angka makro. Pertumbuhan ekonomi triwulan I-2025 tercatat 4,87 persen dengan sektor pertanian tumbuh signifikan hingga 10,52 persen. Bank Indonesia memproyeksikan pertumbuhan nasional tahun ini akan berada pada kisaran 4,8–5,6 persen, sementara inflasi dikendalikan di angka 1,7 persen — jauh di bawah rata-rata negara berkembang. Indonesia, setidaknya dalam narasi statistik, menunjukkan bahwa  belajar berdiri ketika dunia terguncang.

Namun, dalam kacamata regional, kisah ini menemui gema dan tantangan. Vietnam, misalnya, membukukan pertumbuhan 7,96 persen  pada kuartal kedua, dengan ekspor melonjak 18  persen dan sektor manufaktur naik 10,3  persen. Dukungan dari perjanjian dagang strategis dengan AS membuat negeri ini menjadi simpul penting dalam rantai pasok global, khususnya di sektor teknologi tinggi. Malaysia tumbuh 4,4  persen  pada kuartal pertama 2025, dengan konsumsi rumah tangga dan sektor konstruksi menjadi motor utama. Kedua negara ini menunjukkan bahwa stabilitas tidak selalu soal pangan—tetapi soal bagaimana merancang struktur dan visi jangka panjang.

Lantas, siapa yang sebenarnya diuntungkan dari bangunan ketahanan pangan  ini?

Petani dan produsen lokal mencicipi manisnya kebijakan: pupuk lebih murah, benih unggul, bantuan alsintan, serta peluang pasar melalui program seperti Food Estate. Tetapi realita di lapangan tidak selalu selaras. Ketimpangan akses sumber daya masih membekas, dan korporasi besar sering kali tampil sebagai penerima utama kue pembangunan. Petani kecil, ironisnya, masih menjadi epilog dalam cerita yang ditulis atas nama mereka.

Konsumen pun turut merasakan hasilnya — dengan inflasi pangan ditekan hingga 0,64 persen  pada April 2025, harga kebutuhan pokok relatif stabil. Ini bukan sekadar pencapaian ekonomi, tetapi juga capaian sosial—ketika ibu rumah tangga bisa berbelanja tanpa perlu khawatir harga melambung, dan dapur-dapur rakyat tetap bisa mengepul di tengah gejolak global.

Pemerintah menikmati legitimasi dari stabilitas yang dijaga. Defisit transaksi berjalan terkendali, ketergantungan impor menurun, dan kepercayaan terhadap kebijakan fiskal relatif kuat. Di saat Malaysia memangkas suku bunga untuk menjaga ritme pertumbuhan, Indonesia masih mampu berdiri tanpa perlu intervensi drastis. Namun tentu saja, fondasi ini belum sepenuhnya kokoh: kerentanan struktural tetap mengintai, terutama dalam hal ketimpangan wilayah dan efisiensi birokrasi.

Sektor swasta besar menggenggam lebih dari sekadar keuntungan—mereka menikmati posisi strategis: dalam kontrak Food Estate, proyek energi bersih, dan pembangunan infrastruktur. Ketahanan nasional pun bersinggungan erat dengan arena kapital. Di ladang-ladang ketahanan, yang ditanam tidak hanya padi, tetapi juga profit dan posisi tawar.

Lembaga keuangan internasional dan donor global turut bermain peran. Hibah, pinjaman, dan skema pembangunan menjadi pintu masuk pengaruh geopolitik. Ketahanan, pada titik ini, bukan lagi sekadar urusan dalam negeri, melainkan arena global yang sarat kepentingan.

Belajar dari Singapura, jiran tanpa lahan

Ketika kita menoleh ke Singapura, ada pelajaran lain yang menanti — negeri kecil ini tidak punya sawah, bahkan 90 persen pangannya diimpor. Tetapi justru di situlah kekuatannya. Singapura menata ketahanannya lewat diversifikasi rantai pasok, teknologi urban farming, sistem cadangan strategis, dan logistik yang presisi. Ketahanan di sana bukan tentang swasembada, tetapi tentang kontrol dan efisiensi. Mereka tidak menanam beras, tetapi menanam kalkulasi dan strategi jangka panjang.

Kontras pun muncul dengan jelas. Indonesia—dengan tanah luas dan tanah subur—masih membiarkan petani kecil berjalan sendiri, tanpa banyak pelindung dari gejolak pasar dan cuaca. Korporasi disambut dengan fasilitas, sementara petani lokal seringkali hanya disambut janji. Di Singapura, korporasi bergerak dalam kerangka visi nasional. Di sini, kadang visi nasional justru bergerak mengikuti arus kepentingan korporasi.

Dan di sinilah titik refleksi itu berada: bahwa ketahanan sejati bukan tentang siapa yang paling banyak memanen, tetapi siapa yang paling adil membagikan hasilnya. Bahwa bukan hanya soal bertahan dari krisis, tetapi juga memastikan tak ada yang dikorbankan dalam nama stabilitas.

Ketahanan pangan bukan sekadar slogan yang menghiasi slide rapat kabinet. – melainkan  urat nadi rakyat. Maka, ketika negara bicara tentang ketahanan, kita harus bertanya kembali: siapa yang benar-benar dilindungi? Dan siapa yang dibiarkan bertahan sendiri? Walahu ‘Alam Bi Sowab.

*Konsultan Pemberdayaan Masyarakat dan Dewan Pembina Yayasan Pembangunan Mahasiswa Islam Insan Cita (YAPMIC) Ciputat

Editor: Jufri Alkatiri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *